Sunday, March 18, 2012

Napoleonic Germany and the Revolution of 1848 (translated)

NAPOLEONIC GERMANY AND THE REVOLUTION OF 1848
as edited, reviewed and corrected by
Willy Carolus Wardhana

Revolution of 1848

Revolusi pada bulan Maret 1848 pada intinya adalah pertentangan antara paham absolutisme dengan radikalisme, liberalisme dan nasionalisme, yang menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di banyak kota di JermanEnam dekade sebelumnya, sebuah kejadian penting telah terjadi di Eropa, yang dimulai dengan kekalutan dan teror dalam Revolusi Prancis, semua itu menginspirasikan pencerahan untuk merobohkan monarki Prancis pada tahun 1792.  Semangat revolusi mengubah Prancis, membawa Eropa kedalam perang yang dikobarkan oleh Napoleon, mengguncang kestabilan politik dan sosial di Eropa sampai ke pusatnya dan membangkitkan semangat nasionalisme di Jerman yang terjadi setelah bubarnya Kekaisaran Romawi Suci. Setelah mengalahkan Napoleon (1769-1821) pada tahun 1815, harapan kaum revolusioner Eropa pupus ketika “Great Powers” (Negara-negara yang bersekutu melawan Prancis yang terdiri dari Austria, Prusia, Rusia, Inggris dan Hungaria) bertemu di Vienna dan kemudian dikenal dengan nama Concert of Europe”, yaitu sebuah persekutuan negara-negara monarki yang didirikan untuk menciptakan keseimbangan politik dan menghentikan agitasi politik liberal. Pada musim semi 1848, hasil kongres ini mengakibatkan pecahnya kemarahan rakyat dan pada akhirnya, sebagai bentuk nyata,  masyarakat turun ke jalan, dan mereka menginginkan perubahan sistem politik untuk berubah dari monarki ke sistem politik yang bersifat liberal-radikal. Perubahan politik yang radikal di Eropa mempengaruhi seluruh Eropa, khususnya Jerman, yang pada awalnya terjadi karena pengaruh Revolusi Prancis pada tahun 1789 dan diikuti dengan keruntuhan Kekaisaran Romawi Suci pada tahun 1806.
       Di Dresden (ibukota kerajaan Saxon/Sachsen) revolusi dimulai dengan cukup tenang. Konfederasi Jerman menyetujui pemilihan umum untuk memilih anggota delegasi parlemen (semacam DPR, ed.) yang akan bertemu di Frankfurt untuk merancang sebuah konstitusi, namun demikian suasana berubah seketika. Pada bulan April 1848, sebuah organisasi politik nasional yang dikenal sebagai Asosiasi Patrotik (Patriotic Association, PA) didirikan dan calon dari asosiasi tersebut memenangkan semua kursi, kecuali satu, di parlemen Frankfurt. Asosiasi itu dipimpin oleh kaum intelek yang borjuis, yang merasa tidak puas dengan konstitusi negara monarki, tetapi kebanyakan massa pendukungnya terdiri dari kelompok buruh yang lebih radikal yang ingin mendirikan sebuah republik. Koran radikal seperti Volksblätter yang diterbitkan oleh seorang komponis Dresden, Agustus Röckel (1814-1876), mengobarkan semangat masyarakat dan membantu PA memperoleh anggota baru. Dengan terpilihnya banyak anggota PA menjadi anggota parlemen kerajaan Sachsen, Dresden menjadi pusat kegiatan radikal yang ingin menjatuhkan monarki.
Pada musim dingin tahun 1849, Dresden telah menjadi tempat sempurna bagi perkembangan politik radikal dan kader-kader revolusioner memulai sebuah rencana untuk menumbangkan monarki Sachsen. Para konspirator mencakup seorang tokoh pro-Republik, Samuel Edman Tzschirner (1812-1870), penerbit August Röckel dan Ludwig Wittig (1815-1874) dan juga revolusioner Rusia, Mikhail Bakunin (1814-1876). Khawatir dengan perkembangan politik radikal di Dresden, pada 28 April 1849 raja Friedrich August II (1797-1854) menolak untuk mengesahkan konstitusi liberal yang diajukan Parlemen dan sebaliknya malah membekukan Parlemen. Tindakan ini memicu kemarahan rakyat dan di tengah kekacauan itu, Prussia menawarkan bantuan militer kepada kerajaan Sachsen untuk meredakan kerurusuhan. Sebagai bentuk ketidakpuasan, demonstran yang tumpah ke jalan-jalan Dresden berbaris menuju gudang persenjataan negara, dan pada tanggal 3 Mei mereka menjarah senjata untuk mempertahankan diri mereka dari tentara Prussia yang menuju Dresden. Ketika aparat Sachsen ragu untuk menahan demonstran, kerusuhan mulai terjadi dan barikade mulai dipasang di jalan-jalan kota Dresden. Pemberontakan 1849 telah dimulai. Terdapat dua pihak yang saling bertentangan, yaitu pihak yang ingin mewujudkan sebuah negara republik dan sebaliknya pihak yang menginginkan negara monarki, akan tetapi Raja menolak untuk menerima usulan konstitusi liberal yang diajukan Parlemen.  
Sementara Raja Friedrich August terus menolak, kaum revolusioner membentuk pemerintahan yang demokratis yang sifatnya sementara, yang dipimpin oleh Tzschirner. Para revolusioner berharap bahwa raja akan menyerah terhadap revolusi dan menerima konstitusi liberal, tetapi ia bersembunyi istananya yang terpencil di Königstein. Sementara pemerintah revolusioner mencoba untuk menempuh solusi diplomatik, pemimpin militer Dresden mengerahkan militer Sachsen dan menunggu kedatangan infantri Prussia untuk memadamkan pemberontakan. Karena para revolusioner tidak mampu meyakinkan warga Sachsen untuk memberikan pertolongan atau meyakinkan militer Sachsen untuk mendukung revolusi, kaum revolusioner menyiapkan barikade dan menunggu dengan cemas datangnya tentara penyerbu. Peperangan dimulai pada tengah hari tanggal 5 Mei dan 5.000 prajurit pro-Monarki mengalahkan sekitar 3.000 demonstran dan kaum revolusioner yang kekurangan persenjataan. Paling tidak 250 orang revolusioner tewas dan ratusan lainnya terluka dalam peperangan tersebut. Pada tanggal 9 Mei, pemberontakan secara resmi telah berakhir dan revolusioner yang selamat melarikan diri ke pengasingan di Swiss seperti komposer terkenal Richard Wagner (1813-1883), atau ke Amerika Serikat, sementara yang lainnya tertangkap dan dihukum penjara untuk waktu yang lama.
Pemberontakan Mei di Dresden merupakan episode terdarah dalam gelombang revolusi yang menyapu Jerman pada tahun 1848-1849. Pemberontakan pecah di semua kota besar kekaisaran: Berlin, Vienna, Dresden, Frankfurt, Stuttgart dan semua itu mengubah sejarah Jerman, untuk selamanya.          

The French Revolution and Germany

Revolusi Prancis pada 1789-1799 menghapuskan monarki di Prancis dan mengubah keadaan di sana untuk selamanya. Dipicu oleh ketidakpuasan dengan ketidaksetaraan sosial dan terinspirasi oleh prinsip Aufklärung, semangat revolusi ini tidak hanya mengubah kehidupan di Prancis, namun juga di seluruh Eropa. Revolusi Prancis mengubah Eropa, menghapuskan sisa-sisa sistem feodal dan membawa politik radikal dan juga perubahan sosial dan ekonomi. Didirikan dengan prinsip progresif (mengikuti zaman, ed.), revolusi berubah menjadi kekerasan dan penindasan, yang memicu pertumpahan darah di benua Eropa. Tidak satu daerah pun di Eropa lebih terpengaruh revolusi Prancis dibandingkan Jerman, dimana revolusi yang berkobar mengakhiri sebuah sistem politik yang telah ada sejak 1000 tahun sebelumnya;  Kekaisaran Romawi Suci. Revolusi Prancis menjadi inspirasi bagi banyak negara termasuk Jerman, menyingkirkan segala sesuatu yang bersifat feodal dan membawa perubahan sosial, politik dan ekonomi yang radikal. Terinspirasi oleh semangat Aufklärung, mereka sadar sistem politik yang ada pada masa itu telah menyimpang dan mereka ingin memperbaikinya, lalu kemudian kaum intelek memelopori penyerbuan ke penjara Bastille. Pada awalnya, para revolusioner hanya ingin memperbaiki sistem politik yang ada, namun dibalas dengan kekerasan oleh Monarki yang mengesankan seolah-olah tidak ada hukum di Prancis. Kemudian muncullah Napoleon, yang terkenal akan kejeniusan kemiliteran (strategi perang) yang bisa mengalahkan musuh sangat banyak dengan jumlah pasukan yang lebih sedikit. Kedatangan Napoleon ke Jerman mengubah sejarah Jerman karena dia mendirikan sebuah negara boneka yang tunduk sepenuhnya kepadanya, yang kemudian memicu serangkaian konflik dan peperangan yang dikenal sebagai perang Napoleon” (Napoleonic Wars). Ia menerapkan kebijakan membentuk negara boneka di daerah-daerah yang sudah ia taklukkan, dan salah satunya adalah Jerman.   
Pada awalnya, Revolusi Prancis disebabkan adanya ketidakpuasan rakyat karena raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoitte menggunakan kas negara untuk berfoya-foya (penyalahgunaan kekuasaan). Pada awal revolusi Prancis, negara tetangga Prancis seperti Prussia dan Austria enggan untuk ikut campur. Meskipun secara naluriah seorang aristokrat seperti raja Leopold II tidak senang akan adanya sebuah pemberontakan, beliau melakukan pendekatan secara hati-hati. Leopold II mencoba memanfaatkan kerusuhan politik internal Prancis menjadi keuntungannya dalam kaitannya dengan konflik lama antara Dinasti Habsburg (dinasti yang memerintah Austria serta beberapa negara lainnya, ed.) dan Kerajaan Prancis. Sementara itu, melihat peluang untuk mengambil-alih lebih banyak wilayah Polandia yang tidak berdaya, Prussia pun turut mengamati situasi dalam negeri Prancis dengan baik. Pada tahun 1791, Leopold II semakin berusaha ikut campur dalam kekacauan di Prancis, salah satunya adalah karena ia adalah saudara dari permaisuri Louis XVI, Marie Antoinétte (1775-1793). Pada bulan Agustus tahun yang sama, Leopold meminta musuh Austria, yaitu Prussia, untuk bekerja sama mencanangkan Deklarasi Pilnitz. Dalam deklarasi ini, Leopold II dan Friedrich Wilhelm II (raja Prussia, ed.) memperingatkan para revolusioner di Prancis akan resiko apabila mereka sampai menyakiti keluarga kerajaan. Deklarasi Pillnitz, yang juga didukung oleh sekelompok bangsawan Prancis yang melarikan diri ke Austria dan Prussia setelah Revolusi, memicu ketegangan antara Pemerintah Revolusioner Prancis dan Kerajaan Austria.
Prancis menyerang terlebih dulu, dan pada bulan April 1792, Dewan Revolusioner (Semacam parlemen di Prancis yang didirikan setelah Revolusi, ed.) menyetujui usul pemerintah Prancis untuk menyatakan perang terhadap Austria dan memulai persiapan unuk invasi ke Belanda yang pada saat itu diduduki Austria. Prancis berharap rakyat Belanda untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah Austria dan memegang erat semangat kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Akan tetapi, tentara Prancis gagal melakukan tugasnya, karena para revolusioner Prancis telah menyapu bersih korps perwira yang kebanyakan terdiri dari kaum aristokrat (bangsawan). Disiplin telah hancur di seluruh kesatuan dan dalam semua pangkat ketentaraan. Seringkali, segera setelah sampai di medan perang, tentara Prancis melarikan diri (desersi). Sementara pemerintah Prancis berjuang untuk membangun kembali tentaranya, sebuah pasukan koalisi yang dipimpin oleh Duke of Brunswick, yang terdiri dari tentara Prussia yang meskipun berjumlah sedikit namun profesional, menyerbu Prancis pada bulan Juni 1792. Mereka dengan cepat menduduki sejumlah benteng Prancis, termasuk Verdun (benteng yang terbesar, ed.). Duke of Brunswick menyatakan sebuah deklarasi yang disebut Brunswick Manifesto” yang ditujukan kepada pemerintah Prancis. Bukannya menghancurkan semangat revolusioner, deklarasi ini menyatakan bahwa tentara Koalisi berniat mengembalikan Raja Prancis ke tahtanya dan membunuh setiap pemberontak yang tersisa, yang sebaliknya malah membahayakan keluarga kerajaan dan membawa rakyat Prancis kedalam pemerintahan baru yang sama rapuhnya, jadi deklarasi ini bisa disebut gagal.
Pada tanggal 21 Januari 1793, sebagai respon atas Deklarasi Pilnitz dan Brunswick Manifesto, pemerintah Prancis menghukum mati Louis XVI dan Marie Antoinétte, dan tentara Prancis yang telah diperbarui maju ke medan perang. Pemerintah Prancis yang putus asa bergantung pada wajib militer massal untuk membentuk sebuah tentara yang berjumlah besar yang ditujukan untuk mengalahkan tentara Prussia yang meskipun berjumlah lebih sedikit namun profesional. Eksekusi Louis XVI memaksa Spanyol dan Portugal untk bergabung dalam Koalisi melawan Prancis, dan pada bulan Februari 1793, Prancis menyatakan perang kepada Inggris dan Republik Belanda. Sebuah medan perang telah disiapkan untuk pertempuran berdarah yang akan mengubah Eropa, yang dikenal sebagai Perang Revolusioner Prancis (French Revolutionary Wars).
Tentara Prancis segera menyadari bahwa mereka kalah kelas melawan musuh mereka yang lebih profesional, dan dalam pertempuran-pertempuran awal pada tahun 1793 mereka menderita kekalahan besar, yang memicu pemberontakan menentang pemerintah di pedesaan Prancis. Meskipun begitu, pada akhir tahun itu, belajar dari kekalahan-kekalahan yang penting ini, tentara Prancis yang berjumlah jauh lebih besar mulai membalikkan keadaan, mengalahkan tentara Koalisi, mengusir mereka dari wilayah Prancis dan membebaskan  sejumlah provinsi Prancis yang diduduki Koalisi. Pada tahun 1794, tentara Prancis berbalik menyerang, dan mereka menduduki Italia dan Spanyol dan menaklukkan Belgia dan Rhineland. Pada tahun berikutnya, tentara Prancis mengalahkan Belanda, dan disana Prancis mendirikan sebuah negara boneka yang disebut Republik Batavia, yang menjadi awal keterlibatan Prancis dalam sistem politik Jerman satu dekade kemudian dibawah Napoleon. Menyaksikan kemenangan Prancis yang dramatis, Portugal dan Prussia menarik diri dari Koalisi. Pemerintah revolusioner Prancis telah menghindari kegagalan dan menjaga perbatasan negara baru mereka dengan aman.  
Pada tahun 1796, tentara Prancis melancarkan serangan tiga arah terhadap Austria yang telah diperlemah dengan keluarnya Portugal dan Prussia dari Koalisi. Dua kesatuan tentara Prancis menyeberangi sungai Rhein, dan yang ketiga dibawah seorang perwira muda bernama Napoleon Bonaparté bergerak memasuki Italia. Ketiga kesatuan ini memiliki tujuan yang sama: mereka harus bertemu kembali di tanah Austria dan merebut Vienna, ibukota Austria, tempat kedudukan resmi Dinasti Habsburg. Setalah serangkaian kemenangan di Jerman, dua kesatuan tentara Prancis yang masuk dari arah utara maju ke arah Bavaria dan masuk ke daerah Tyrol, sebelum dikalahkan oleh tentara Austria yang dipimpin oleh Archduke Charles. Ketika dua kesatuan Prancis itu harus mundur ke seberang sungai Rhein, kesatuan ketiga yang dipimpin oleh  Napoleon sendiri bernasib lebih baik di Italia dan mereka berhasil mengalahkan tentara Austria disana dan mengepung kota Mantua. Setelah kota Mantua menyerah dan 18.000 lebih tentara Austria menyerah, daerah Tyrol terbuka untuk tentara Napoleon, dan Austria kemudian memohon perdamaian, dan mereka terpaksa menandatangani perjanjian yang memalukan. Dalam Traktat Campo Formio, yang ditandatangani pada bulan Oktober 1797, Austria harus menyerahkan Belgia kepada Prancis dan mengakui penguasaan Prancis atas Rhineland dan Italia utara. Lebih jauh, Prancis dan Austria membagi wilayah Republik Venesia. Meskipun traktat ini menandai hancurnya Koalisi Pertama melawan Prancis, hal itu tidak mengakhiri permusuhan dalam jangka waktu yang lama, dan Austria bersiap untuk berperang lagi.
Pada tahun 1798, Napoleon meluncurkan ekspedisinya ke Mesir yang jauh dari Eropa, yang melegakan pemerintah Prancis yang senang apabila jenderal (Napoleon) yang ambisius itu jauh dari pusat kekuasaan. Dalam ketidakhadirannya, Prancis ikut campur dalam persoalan dalam negeri Swiss yang memang sudah memburuk sebelumnya, dan mendirikan negara boneka lainnya yang dinamai Republik Helvetica. Prancis menganeksasi (mengakui sebagai wilayah dalam negerinya, ed.) kota Jenewa (Geneva), dan mencoba mengubah keadaan di Roma, dengan mencoba menjatuhkan Paus Pius VI (1717-1799), sebelum mendirikan sebuah republik pro- Prancis di Kota Abadi (The Eternal City, julukan untuk kota Roma, ed.). Resah melihat perkembangan ini, dan khawatir akan campur tangan Prancis terhadap urusan dalam negeri Prussia, Austria membentuk Koalisi Kedua yang lebih kuat melawan Prancis pada bulan Juni 1798. Koalisi Kedua terdiri dari Austria, Prussia dan Inggris, yang diperkuat lagi dengan bergabungnya sekutu baru yaitu Kekaisaran Rusia. Koalisi Kedua ini menyerbu Prancis dari beberapa arah pada tahun 1799.
Di Italia, Rusia memenangkan beberapa pertempuran penting, yang mengusir tentara Prancis kembali ke Pegunungan Alpen. Sementara itu, Prancis juga bertempur melawan Inggris di Belanda dan melawan Rusia di Swiss. Archduke Charles, pemimpin militer Austria yang cemerlang, memaksa tentara Prancis di Jerman untuk mundur kembali ke seberang sungai Rhein. Segala aspek dalam peperangan terlihat suram untuk Prancis, sampai terjadi perselisihan didalam Koalisi Kedua yang terjadi karena Rusia menarik diri dari Koalisi. Sementara itu, pada akhir tahun 1799, Napoleon kembali dari petualangannya yang gagal di Mesir, dan dia mengambil-alih kekuasaan militer, sekaligus merebut kekuasaan di Prancis. Napoleon segera mengangkat dirinya sebagai Konsul Pertama, yaitu pemimpin tertinggi Prancis, dan dia segera kembali ke garis depan pertempuran sebagai komandan militer.
Pada tahun 1800, tentara Prancis yang dipimpin oleh Napoleon sendiri membalikkan peruntungan Austria di Italia, mengalahkan tentara Austria dalam pertempuran Marengo dan mengusir tentara Austria kembali ke Pegunungan Alpen. Setelah kemenangan besar Prancis lainnya di Jerman, di Hohenlinden, dekat München, Napoleon segera berada di gerbang kota Vienna. Keadaan ini mengacaukan Koalisi Kedua dan memaksa Austria untuk menyerah sekali lagi. Dalam Traktat Lunéville, yang ditandatangani pada bulan Februari 1801, Austria harus mengakui pendudukan Prancis terhadap wilayah di sekitar sungai Rhein dan mengakui negara boneka Prancis di Belanda dan Italia. Setelah Austria menyerah, Inggris pun terpaksa menyerah. 

Napoleon and the Dissolution of Holy Roman Empire

Meraih kemenangan demi kemenangan dalam waktu singkat, Napoleon membubarkan Pemerintah Revolusioner pada bulan Mei 1804. Pada bulan Desember tahun yang sama, ia mengangkat dirinya sendiri sebagai Kaisar Prancis, dengan persetujuan Senat. Bukannya mendamaikan Eropa yang sedang “panas” saat itu, ambisi Kaisar Prancis telah menimbulkan kekerasan yang semakin meningkat, yang menghancurkan Eropa pada dekade yang sama. Konflik ini dikenal sebagai Perang Napoleon (Napoleonic Wars), yang mengubah Jerman selamanya.
Pada tahun sebelumnya, 1803, telah terjadi sebuah kejadian penting di Jerman. Sebagai akibat langsung dari pendudukan Napoleon, batas-batas antar negara kecil didalam Kekaisaran Romawi Suci menjadi tidak jelas, dan Kaisar Romawi Suci yang berkuasa (Francis II) mengesahkan salah satu undang-undang resmi terakhir yang diciptakan Kekaisaran Romawi Suci, The Recess of Imperial Delegation. Pembuatan undang-undang ini melambangkan sebuah usaha untuk mengakhiri kekejaman yang diawali oleh Traktat Lunéville pada tahun 1801 yang menyerahkan seluruh daerah Kekaisaran Romawi Suci di sebelah barat sungai Rhein kepada Prancis. Kaisar Francis II (1768-1835), Kaisar Romawi Suci terakhir yang bertahta setelah kematian Joseph II pada tahun 1790, menugaskan sebuah komisi untuk mengatur pemberian kompensasi untuk para bangsawan Rhineland yang kehilangan kekuasaannya ketika Prancis menduduki tanah warisan mereka. Pada bulan Februari 1803, Komisi memberikan kompensasi terhadap pangeran-pangeran sekuler berupa daerah baru yang diambil dari wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah kota-kota kekaisaran dan tanah milik Gereja. Ketika semua kompensasi telah dibayarkan, hanya enam dari 48 kota besar kekaisaran yang tersisa dan semua, kecuali tiga, pemimpin Gereja disingkirkan. Akibatnya, tindakan Komisi tersebut mempengaruhi perubahan batas-batas daerah, perubahan afiliasi politik dan sumber daya ekonomi di dalam kekaisaran. Membatalkan status quo dan menghilangkan kegelisahan, hal itu bahkan mengobarkan semangat para revolusioner untuk membubarkan Kekaisaran Romawi Suci.
Pada tahun sebelumnya (1804), beberapa negara bagian Kekaisaran Romawi Suci, seperti Bavaria, Württemberg dan Baden, bahkan membentuk sebuah aliansi terpisah dengan Prancis. Kekaisaran Romawi Suci runtuh dengan cepat. Merasa terancam oleh situasi ini, Austria, Portugal dan Rusia bergabung dengan Inggris membentuk Koalisi Ketiga melawan Prancis pada tahun 1805. Koalisi ini terbukti tidak lebih sukses dibandingkan dua pendahulunya, terbukti dengan kekalahan besar mereka dalam sejumlah pertempuran di tangan Napoleon dan jenderal-jenderalnya. Sementara Inggris mencegah kemungkinan invasi Prancis dengan kemenangan besar angkatan lautnya di Trafalgar, di Jerman, Prancis mengalahkan mereka dalam pertempuran di daratan. Dalam sebuah serangan kilat di kota Ulm, di Jerman selatan, tentara Prancis yang dipimpin Napoleon mengalahkan tentara Austria sebelum menghancurkan tentara gabungan Rusia-Autria di Austerlitz pada awal bulan Desember. Kekalahan dalam pertempuran di Austerlitz menandai kekalahan Austria yang ketiga. Kemudian, Austria terpaksa untuk sekali lagi menyerah melalui Traktat Pressburg yang pahit yang ditandatangani pada tanggal 26 Desember 1805. Traktat ini menegaskan kembali syarat-syarat Traktat Lunéville, ditambah kewajiban Austria untuk menyerahkan sejumlah daerah di Jerman kepada Prancis dan membayar kerugian yang dialami Prancis akibat peperangan. Pertempuran Austerlitz juga menjadi lonceng kematian bagi Kekaisaran Romawi Suci, sebuah institusi yang telah memerintah Jerman selama 1.000 tahun.
Pukulan pertama bagi eksistensi Kekaisaran Romawi Suci datang pada tanggal 12 Juli 1806, ketika Prancis menyetujui pembentukan sebuah aliansi dengan 16 negara kecil di Jerman, termasuk Baden, Bavaria, Hesse-Darmstadt, Sachsen dan Württemberg. Dengan menyetujui perjanjian ini, 16 negara tersebut secara resmi menarik diri dari aliansi dengan Kekaisaran Romawi Suci dan membentuk koalisi yang dikenal dengan nama Konfederasi Rhein (Rhinebund), sebuah negara penyangga yang didirikan untuk mengamankan perbatasan timur Prancis. Utamanya ditujukan sebagai sebuah aliansi militer, Konfederasi Rhein secara resmi bergabung dengan Kekaisaran Prancis segera setelah pembentukannya. Kemudian, negara-negara yang telah menjadi anggota Rheinbund diperbolehkan untuk menduduki sejumlah daerah yang telah direbut Prancis dengan persetujuan Prancis. Pemimpin-pemimpin dari keenam-belas negara itupun secara resmi disetujui dan diangkat oleh Prancis. Menghadapi situasi yang traumatis ini, dan ditambah lagi dengan ultimatum dari Napoleon, pada tanggal 6 Agustus 1806, Francis II secara resmi turun tahta sebagai Kaisar Romawi Suci dan mengumumkan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci. Dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci dan hilangnya perlindungan bagi sejumlah negara kecil yang masih tetap setia pada Kekaiasaran Romawi Suci, negara-negara kecil yang tersisa itupun segera bergabung dengan Konfederasi Rhein. Pada akhirnya, hanya Rusia, Austria, Prussia, Denmark-Holstein dan Swedia-Pomerania negara yang tersisa di Eropa daratan yang menentang Napoleon.
Prancis mengalahkan Koalisi Keempat yang dibentuk untuk mencegah dominasi Prancis di Eropa pada tahun 1806-1807. Dalam Koalisi Keempat, Prussia bergabung dengan Inggris, Rusia, Sachsen dan Swedia. Dinasti Hohenzollern yang memerintah Prussia khawatir akan Prancis yang semakin ambisius dan menentang pembentukan Konfederasi Rhein yang merupakan ancaman bagi dominasi dan pengaruh mereka di Jerman. Pada akhirnya, bahkan militer Prussia yang diatas kertas lebih kuat hanya berakhir sia-sia, ketika Napoleon memenangkan sebuah pertempuran besar melawan Koalisi Keempat, dengan cara mengalahkan tentara Prussia di Jena-Auerstedt pada bulan Oktober tahun 1806. Prancis berhasil menduduki Berlin dan menguasai Prussia Timur. Dengan meluncurkan sebuah serangan besar terhadap Rusia dari daerah Prussia yang berhasil mereka duduki, Prancis memaksa Rusia dan seluruh Koalisi Keempat untuk menyerah pada bulan Juni 1807. Perjanjian yang diadakan setelahnya, traktat Tilsit, memiliki akibat yang besar untuk jerman. Berdasarkan isi Traktat tersebut, Prancis menerima sebagian wilayah Prussia, yang dibentuk ulang oleh Napoleon sebagai Kerajaan Westphalia. Kerajaan ini adalah sebuah negara boneka Prancis, yang tahtanya diberikan kepada saudara kandung Napoleon, Jerome Bonaparte (1784-1860). Setelah diangkat sebagai raja, ia segera bergabung dengan Konfederasi Rhein dan memberlakukan sejumlah reformasi sosial, ekonomi dan hukum yang didasarkan kepada model Prancis.
Pada tahun 1809, Kekaisaran Austria, yang telah memodernisasi taktik, peralatan dan organisasi militernya yang dipelopori oleh Archduke Charles, bergabung dengan Inggris dan membentuk Koalisi Kelima melawan Prancis. Napoleon menerima bantuan terbesar dari Kerajaan Bavaria, sebelumnya merupakan bagian Kekaisaran Romawi Suci yang bersekutu dengan Prancis. Setelah perang berdarah melawan Austria dan Inggris di Eropa Tengah, Prancis memperoleh kemenangan yang menentukan dalam pertempuran Wagram di luar Vienna, dimana 300.000 tentara dari kedua belah pihak terlibat. Dengan Prancis yang sekali lagi berada di gerbang kota Vienna, Austria untuk kelima kalinya terpaksa menyerah melalui sebuah perjanjian yang memalukan, yaitu Traktat Schönbrunn. Sebagai tebusan atas eksistensi Kekaisaran Austria dan Dinasti Habsburg,  Austria menyerahkan sejumlah daerahnya yang paling bernilai untuk Prancis dan sekutunya, termasuk Carinthia, dan Carniola Singkat kata, Austria kehilangan lebih dari 3 juta rakyat dengan hilangnya daerah-daerah ini. Lebih jauh lagi, Kekaisaran Austria diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas kerugian perang dalam jumlah besar kepada Prancis, mengakui Jerome Bonaparté sebagai Raja Spanyol, dan mengembargo Inggris dalam kaitannya dengan perang melawan Prancis.
Sementara orang-orang Jerman yang bertempur demi Kerajaan Prussia, Austria, Bavaria dan banyak negara-negara kecil lainnya telah bertempur dalam sisi yang berlawanan selama perang Napoleon, masa ini juga menjadi masa yang revolusioner dan memajukan teknik kemiliteran. Disamping runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci, masa ini juga menjadi tonggak kebangkitan nasional Jerman. Meskipun tentara Prancis menang dalam pertempuran di wilayah Jerman, mereka gagal memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah pendudukan, terutama daerah Kerajaan Westphalia dan daerah Austria disekitar Tyrol sebagai akibat rakyat yang kesal akibat dominasi Prancis. Pada tahun 1812, Rakyat Jerman semakin menunjukkan sifatnya yang menentang.           
Pada masa ini, bangsa Jerman belum memiliki kesadaran nasionalisme karena perang masih terjadi sesama orang Jerman (yang berperang atas nama Kerajaan Prussia, Bavaria, Sachsen, dan banyak negara lainnya). Perang Napoleon berakhir pada bulan Oktober 1813 dalam Pertempuran Leipzig, sebuah pertempuran yang dianggap paling besar sebelum Perang Dunia Pertama dan dijuluki Pertempuran Bangsa-Bangsa (Battle of the Nations). Setelah itu, terjadi sebuah usaha untuk merestorasi Eropa untuk mengembalikan keadaan politik, ekonomi dan sosial di Eropa melalui Kongres Vienna yang dipelopori oleh Menlu Austria, Klemens Wenzel yang bertujuan untuk mendefinisikan ulang batas-batas negara Eropa yang telah berubah banyak selama Perang Napoleon, menyelesaikan konflik politis yang muncul akibat perang selama ¼ abad, dan juga mengatasi ketidakstabilan di daerah Eropa Tengah yang disebabkan tidak adanya lagi Kekaisaran Romawi Suci.
Keputusan Kongres Wina terhadap wilayah Jerman adalah terbentuknya Konfederasi Jerman, yaitu konfederasi yang menggabungkan 38 daerah di Jerman yang bertujuan untuk mencegah semangat radikal yang dicetuskan oleh Napoleon, mencegah negara-negara Eropa untuk tidak mengalami revolusi seperti Revolusi Prancis, dan juga mengambil alih pemerintahan yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Romawi Suci. Tindakan awal yang dilakukan Konfederasi Jerman adalah mengupayakan pertumbuhan ekonomi di Jerman dan memperbaiki perekonomian pasca Perang Napoleon, dengan cara mengadopsi mata uang dan sistem ukur yang sama bagi semua anggota konfederasi, dan juga meniadakan pajak retribusi.
Konfederasi Jerman yang baru dibentuk ini mengalami keberhasilan dalam bidang ekonomi, karena Jerman dapat menghasilkan produk-produk yang dapat mensejahterakan rakyatnya, sedangkan masalah yang harus dihadapi oleh Konfederasi juga terjadi pada bidang ekonomi, yaitu pertumbuhan kelas menengah sehingga menghasilkan kesejahteraan sosial yang tidak merata. Apabila dilihat dalam konteks Revolusi Prancis, Konfederasi Jerman tidak sesuai dengan semangat Revolusi karena Konfederasi ini membatasi ruang gerak kaum radikal yang revolusioner dan melindungi kepentingan kaum nasionalis yang konservatif.