Wednesday, May 14, 2014

Saksi Yehovah Bikin Resah

     Akhir-akhir ini di lingkungan kampus saya banyak orang-orang dari aliran Saksi Yehovah yang menyebarkan majalah mereka (Menara Pengawal/Watchtower dan Sedarlah!/Awake!), mengajak ngobrol dll, yang ujung-ujungnya menawarkan orang untuk ikut ajaran mereka. Biasanya mereka 'mangkal' di depan stasiun di dekat kampus saya, membagikan brosur kepada orang-orang yang mana kondisi stasiun dan sekitarnya itu sedang ramai-ramainya pada pagi hari (sekitar jam 08-10). Bahkan beberapa dari mereka masuk ke lingkungan kampus dan biasanya mereka mendekati orang yang sedang sendiri. Dalam setiap kesempatan biasanya mereka selalu memberikan majalah itu (yang sebetulnya lebih mirip brosur), yang isinya mengenai dalil dan ajaran mereka.

     Seperti yang dialami salah seorang teman saya dua hari lalu. Saat dia sedang duduk sendiri menunggu orang, datanglah seorang perempuan muda dengan pakaian khas anak kuliahan, lalu duduk di dekat teman saya dan mengajak bicara. Dia mengaku sebagai alumni FISIP, lalu setelah berkenalan singkat mulailah sang Saksi Yehovah ini mengajak ngobrol tentang masalah dunia, yang mana teman saya kurang berminat juga karena sama sekali belum kenal. Setelah ditanya teman saya, barulah dia mengaku kalau dia anggota Saksi Yehovah dan memberikan majalahnya kepada teman saya. Setelahnya dia ketemu saya dan memberikan majalah itu ke saya, karena dia seorang Muslim dan sama sekali tidak berminat dengan ajaran Saksi Yehovah. Buat saya ini tidak wajar, dan terbilang gaya baru dalam evangelisasi khas Saksi Yehovah, karena sejak dulu yang menjadi target mereka ya cuma orang-orang Kristen, karena juga ajaran mereka berdasar pada ajaran Kristen. Sekarang target mereka juga meluas ke orang-orang non-Kristen.


Majalah ini berbahasa Inggris, padahal saya punya yang bahasa Indonesia..

     Dalam post saya tentang Saksi Yehovah sebelumnya, sudah saya jelaskan bahwa mereka ini adalah sempalan agama Kristen yang membuat ajaran baru dan menginterpretasikan Alkitab menurut versi mereka. Menurut ajaran Saksi Yehovah, hanya ada satu Tuhan (yang disebut Yahweh/Yehovah, menurut ejaan asli nama Tuhan dalam Perjanjian Lama). Dengan demikian, mereka menolak keilahian Yesus, dan hanya menganggap Yesus adalah Putra Allah yang Tunggal, dalam artian merupakan ciptaan Tuhan yang utama, diatas malaikat, setan dan manusia, dan bukan Tuhan. Maka, setiap ayat yang menyiratkan keilahian Yesus dalam Alkitab, mereka ubah dan Yesus disebut sebagai 'Tuan' dalam Alkitab mereka, yang disebut sebagai Terjemahan Dunia Baru (New World Translation/NWT).

     Secara liturgi (tatacara ibadah), Saksi Yehovah ini tidak jauh berbeda dalam aliran-aliran agama Kristen lainnya, yang dasarnya adalah nyanyian pujian dan pembacaan Firman. Tentunya, dalam pujian yang mereka sembah hanyalah Yahweh, Tuhan yang Esa. Dalam ibadah pun tak ada kolekte amal; segala kegiatan dan ibadah mereka terbuka untuk umum dan ibadah mereka diadakan setiap tiga kali seminggu (biasanya pada Senin, Kamis dan Minggu) dan di jemaat-jemaat yang lebih kecil, dua kali seminggu; di hari-hari itupun ada studi Alkitab yang diselenggarakan oleh pemimpin-pemimpin Jemaat. Di kota tempat tinggal saya pun ada satu tempat ibadah mereka, yang disebut Balai Kerajaan, di bilangan Depok Lama. Setahun sekali mereka mengadakan ibadah distrik, yang tahun lalu diadakan di Istora Senayan dan berlangsung dengan sukses.

     Saksi Yehovah mewajibkan setiap pemeluknya untuk melakukan evangelisasi (mengajak orang-orang untuk mengikuti ajaran mereka) dan biasanya ada jangka waktu tertentu, misalnya 1 atau 2 tahun. Mereka biasanya mencari tempat-tempat keramaian untuk membagikan majalahnya, dan bahkan dalam satu kesempatan saya melihat mereka membuka stand di sebuah mall di bilangan Depok. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam kesempatan sebelumnya, sekte Saksi Yehovah ini sangat unik karena menjadi satu-satunya aliran agama yang 'membuka' kantor dan percetakan mereka untuk umum (bahkan ada program tour). Tujuannya, tentu untuk memperkenalkan ajaran mereka kepada umum dan berharap agar orang tertarik untuk mengikuti ajaran mereka.


Stand mereka ada di belakang stand tempat jual sepatu di latar belakang. Maaf kalau gambarnya sama sekali tidak jelas.

      Posisi saya tidak mendukung atau menolak usaha-usaha mereka dalam menyebarkan agama, karena sesungguhnya adalah hak setiap pengikut ajaran agama untuk mengajak orang lain untuk mengikuti ajarannya (karena tentunya hampir setiap agama menganggap orang-orang yang tidak beragama sama tidak akan diselamatkan). Saya mengutip perkataan Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, dalam tulisan sebelumnya, yang mengkritik dalam hal ini umat Islam, yang kurang sigap dan tanggap ketika menghadapi kenyataan umat agama lain yang menyebarkan agamanya di Ende, Flores. Saya pikir pun harusnya sekarang seperti itu juga; ketika umat agama lain menyebarkan agamanya, tentunya yang harus kita lakukan adalah ikut berpikir dan berdialog, agar dapat dicari titik temu antara pemikiran yang berbeda tersebut.

     Satu hal yang sangat saya khawatirkan terkait metode penyebaran agama Saksi Yehovah ini adalah, tidak semua umat beragama di Indonesia ini paham mengenai agama-agama selain agama yang dianutnya. Sebagai contoh, Saksi Yehovah adalah aliran yang berkembang dari dasar agama Kristen, dan terdapat banyak sekali referensi tentang Yesus dalam ajaran mereka. Mengingat sekarang target evangelisasi Saksi Yehovah meluas ke umat-umat non-Kristen, dalam hal ini Islam, tentu sangat berbahaya apabila seorang Muslim diajak berdialog mengenai ajaran Saksi Yehovah. Pada intinya Muslim itu akan berpikir sang Saksi Yehovah ini adalah orang Kristen yang berupaya menyebarkan agamanya. Padahal ajaran Saksi Yehovah pun sejak munculnya telah dicap sesat dan bidah oleh golongan Kristen mainstream.

     Dan, akhirnya umat Kristen yang tidak tahu apa-apa pun menjadi sasaran kemarahan mayoritas anak bangsa.

Saturday, May 10, 2014

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini
Oleh Wishnu Wardhana

            Maskulinitas adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria sesuai dengan konstruksi yang dibangun di masyarakat. Maskulinitas ini (dan juga feminitas pada wanita) bukanlah sebuah konstruksi biologis, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui pengalaman dan pembinaan melalui proses sosialisasi. Dalam masyarakat pada umumnya yang menganut budaya patriarkis, sifat-sifat maskulinitas ini pada umumnya digambarkan sesuai dengan ciri-ciri fisik pria (sebagai suatu konstruksi biologis); pria memiliki massa otot yang lebih besar, sehingga diharapkan dengan keadaannya yang demikian itu, manusia yang berjenis kelamin pria tadi dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang dibebankan kepadanya melalui sifat-sifat khas maskulinitas, diantaranya fisik yang kuat (tubuh berotot) dan mental yang lebih tahan terhadap tekanan. Secara mental, pria diharapkan untuk menjadi seorang yang intelektual dan dapat hidup di dalam konteks individualis. Hal ini berarti, pria diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Penggambaran sifat maskulinitas yang demikian ini dapat ditemui dalam berbagai bentuk, misal salah satu contoh yang baik adalah tokoh Marlboro Man, seorang koboi, dalam iklan rokok Marlboro. Dalam iklan yang berbentuk video tersebut, digambarkan seorang koboi yang senantiasa memakai topi koboi dan menggembalakan ternaknya sendirian. Secara fisik, ia juga terlihat memiliki struktur tubuh yang ideal dan kokoh. Hal yang menarik disini adalah bagaimana sang Marlboro Man selalu digambarkan dalam iklan tersebut sendirian, padahal pekerjaan menggembalakan ternak di padang rumput bukanlah pekerjaan yang mudah dan mustahil dilakukan oleh satu orang saja. Disinilah muncul harapan masyarakat melalui penerapan sifat-sifat maskulinitas, salah satunya adalah pria yang harus dapat mengatasi masalahnya sendiri (The Lone Hero).
            Sifat maskulinitas tentu berbeda dengan sifat feminitas, yang menempatkan wanita (sebagai suatu konstruksi biologis) di dalam sebuah konteks sosial; wanita diharapkan untuk tetap berhubungan secara intens dan kontinyu dengan individu lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan mengatasi masalahnya. Hal ini bukan berarti pria tidak dapat ditempatkan dalam konteks sosial, namun penempatan itu memiliki porsi yang jauh lebih besar dari pria.
            Maskulinitas sendiri merupakan sebuah konstruksi yang bersifat terbuka dan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, di abad 17 maskulinitas ideal secara fisik adalah bertubuh ramping dan berambut panjang, dan secara mental adalah memiliki sikap yang lembut. Hal ini tentu berbeda jauh dengan maskulinitas di masa kini yang telah digambarkan di atas; kuat, berotot, dan tangguh secara mental. Ketika ditempatkan dalam konteks seksual, maskulinitas memiliki subtema yang berbeda, diantaranya:
1.       Tipe gladiator-retro man: pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol.
2.       Tipe protector: pria pelindung dan penjaga.
3.       Tipe clown of boffoon: pria yang mengutamakan persamaan dalam menjalin     hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman.
4.      Tipe gay-man: pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual.
5.      Tipe wimp: jenis pria yang lemah dan pasif

Namun kelima tipe ini adalah maskulinitas yang ditempatkan dalam konteks seksual dan bukan secara umum, sehingga tidak dapat diterapkan dalam konteks lainnya, misalnya konteks sosial, politik dan lain sebagainya.
            Di dalam kajian budaya, maskulinitas dalam konteks sosial dibagi menjadi dua, yaitu maskulinitas hegemonis dan maskulinitas subordinat.
            Maskulinitas hegemonis adalah keadaan yang menjadikan maskulinitas itu mendominasi kehidupan sosial; berarti, pria (sebagai suatu konstruksi biologis) diharapkan memiliki sifat-sifat maskulinitas yang telah disebutkan diatas dan juga memimpin masyarakat melalui keunggulan hakikatnya tersebut. Keadaan ini sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang berbudaya patriarkis.
            Sedangkan, maskulinitas subordinat adalah keadaan yang tetap mempertahankan pandangan masyarakat mengenai pria yang harus memiliki sifat-sifat maskulinitas, namun dalam konteks sosial, pria tidak memiliki posisi sebagai pemimpin mutlak, namun fungsi-fungsi juga dapat dipenuhi oleh manusia yang berjenis kelamin wanita.

Maskulinitas dalam Konteks Jerman Masa Kini

            Menurut Geert Hofstede, seorang peneliti yang meneliti sifat-sifat maskulinitas dan feminitas di seluruh dunia, sebuah masyarakat dapat dikatakan maskulin apabila perkembangan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh kompetisi, pencapaian materi dan kesuksesan. Di Jerman, sifat ini telah dikembangkan sejak masa sekolah, dimana murid-murid dibagi ke dalam sistem pendidikan yang berbeda menurut kemampuannya setelah Grundschule (sekolah dasar), dan terus berlanjut ke dalam dunia kerja melalui perilaku kolektif dan organisatoris. Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, sifat maskulinitas secara mental salah satunya digambarkan tangguh dan dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan sendiri. Baik secara individual maupun kolektif, sifat-sifat maskulinitas jelas terlihat dalam cara hidup masyarakat Jerman.
            Sedangkan masyarakat feminis menganggap nilai-nilai yang utama adalah perhatian kepada manusia lain dan perjuangan untuk perbaikan kualitas hidup. Sebuah masyarakat feminis menganggap kualitas hidup (bukan secara materi namun lebih kepada sifat nonmateri) adalah tanda kesuksesan dan menjadi individu yang menonjol bukanlah sesuatu yang diwajibkan untuk meraih perhatian dan penghormatan dari manusia lain.
            Berhubungan dengan sifat maskulinitas dalam konteks sosial, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jerman menganut budaya maskulinitas subordinat. Meskipun dalam masyarakatnya masih mengharapkan nilai-nilai tradisional dari maskulinitas, namun dalam konteks sosial pria tak lagi memegang kekuasaan mutlak, sehingga banyak wanita yang memegang kendali sosial, seperti misalnya kanselir Jerman Angela Merkel, yang merupakan seorang wanita.

Kesimpulan

            Setelah mengkaji berbagai definisi maskulinitas, ciri-ciri maskulinitas baik secara fisik maupun secara mental, dan memperhatikan konteks sosial masyarakat Jerman, dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat maskulinitas secara umum sangat sesuai dengan konteks sosial masyarakat Jerman. Jerman merupakan sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi pencapaian material sebagai hasil dari kompetisi dan perjuangan untuk meningkatkan kemampuan individual. Secara singkat, maskulinitas di Jerman dapat disimpulkan menjadi: “Sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria yang diharapkan masyarakat, yang memiliki ciri fisik kuat dan berotot, bermental tangguh, dan berorientasi pada kesuksesan materi, namun tidak memegang kendali mutlak dalam konteks sosial.”

Sumber

-          Kurnia, Novi. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Volume 8, Nomor 1). Jakarta: 2004
-          http://geert-hofstede.com/germany.html (diakses pada 10/05/2014 pada pukul 13.25)
-          http://www.clearlycultural.com/geert-hofstede-cultural-dimensions/masculinity/ (diakses pada 10/05/2014 pukul 13.27)