Wednesday, January 22, 2014

Membela Proselitasi: Sebuah Tulisan Apologetik

      Pertama-tama, saya ingin menekankan bahwa isi tulisan ini bersifat sensitif dan mungkin akan menyinggung perasaan bagi sebagian orang, karenanya saya mohon maaf terlebih dahulu apabila apa di antara pembaca yang merasa tersinggung dengan tulisan saya. Isinya memang kurang lebih tentang SARA, semoga isi tulisan saya ini tidak disalahartikan. Tulisan ini dibuat hanya untuk sekedar berbagi dan menyampaikan pemikiran saya, yang kebetulan memang berminat dengan kajian ilmu teologi dan apologetik. Tulisan ini juga dibuat tanpa perintah, permintaan ataupun paksaan pihak manapun.

Membela Proselitasi: Sebuah Tulisan Apologetik
Oleh Willy Mandagi

     Apakah Anda pernah mendengar kata 'proselitasi'? Bila belum, proselitasi menurut kamus bahasa Inggris, Merriam-Webster adalah: 

1. to induce someone to convert to one's faith 
2. to recruit someone to join one's party, institution, or cause

     Disini, saya akan membahas bagaimana penerapan menurut arti pertama. Dengan demikian, proselitasi berarti 'mengajak seseorang masuk ke dalam sistem keagamaan sendiri'. Di Indonesia, karena masyarakat mayoritas beragama Islam, maka kebanyakan tindakan proselitasi dituduhkan kepada umat non-Muslim, contohnya istilah 'kristenisasi' yang banyak kita dengar sejak zaman dahulu kala. Saya belum pernah mendengar istilah Hindunisasi atau Buddhanisasi.

     Pertama-tama saya akan membahas mengenai perintah proselitasi dalam Kekristenan. Di dalam Alkitab jelas disebutkan pada Matius 28:19, yang sering disebut juga sebagai 'Amanat Agung': 

"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus." (Terjemahan Baru, 1974)

      Ayat ini jelas mengandung ajakan untuk mengubah keyakinan seseorang dari yang tadinya bukan Kristen menjadi Kristen. Penerapan ajaran inipun telah dilaksanakan, baik dengan cara yang paling halus sampai dengan yang paling ekstrem, contoh yang baik yang dapat kita ambil dari sejarah misalnya: Perang Salib, masa kekuasaan Charlemagne (Karl der Große), Reconquista (pendudukan kembali Spanyol dari tangan bangsa Moor), penyebaran Kekristenan pada masa-masa penjelajahan di abad ke 15 sampai 17, dan lain-lain. Proselitasi ini disambut dengan berbagai reaksi dari masyarakat yang akan di-proselit-kan, ada yang menerima dengan tangan terbuka, maupun menolak mentah-mentah, yang pada masa lalu menimbulkan pertumpahan darah.

    Baik, kita sudah mengetahui bahwa dalam Kekristenan ada perintah untuk mengajak orang non-Kristen untuk masuk ke dalam agamanya. Lalu bagaimana dengan agama Islam? Meskipun pengetahuan saya masih sangat terbatas untuk agama Islam, hendaknya ayat berikut dapat dijadikan acuan:

فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوا وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

"Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS. Al-Imran:30)

      Terlepas dari masalah tafsir dan sebagainya, saya rasa tepat adanya apabila agama Islam juga memiliki sejarahnya sendiri terkait masalah proselitasi ini. Bukankah baik apabila semakin banyak orang yang diselamatkan dan masuk surga? Kira-kira begitu pokok pikirannya. Di dalam catatan sejarah, tercatat ekspansi bangsa Arab setelah kebangkitan Islam pada abad ke-7, pendudukan Spanyol (yang kala itu telah beragama Kristen), penaklukan Delhi di India, penaklukan daerah Cina tengah oleh kekuasaan bangsa Mongol muslim, serangan Kekaisaran Turki Usmani ke Semenanjung Balkan di Eropa Tenggara, menjadi contoh yang baik akan adanya usaha pemeluk-pemeluk agama Islam untuk mengajak orang-orang non-Muslim untuk masuk ke dalam agamanya. 

     Berbeda dengan agama Islam dan Kristen, agama Yahudi, yang juga merupakan agama keturunan Nabi Ibrahim a.s., tidak memiliki perintah spesifik untuk mengajak orang lain masuk ke dalam agama Yahudi, karena menurut ajaran agama Yahudi, bangsa Yahudi adalah 'bangsa terpilih' (the chosen one) yang telah dipilih Tuhan untuk diselamatkan, seperti yang tercantum dalam ayat-ayat berikut ini:

"Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku,  maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel." (Keluaran 19:5-6, Terjemahan Baru; 1974)

"Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu--bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? Tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir." (Ulangan 7:7-8, Terjemahan Baru; 1974)

     Jadi, yang boleh masuk ke dalam agama Yahudi (menurut ayat-ayat tersebut dan juga ayat-ayat lainnya) hanyalah orang yang memiliki darah bangsa Israel atau keturunannya (dari pihak ayah sampai generasi ketiga). 

     Lalu, bagaimana dengan sejarah proselitasi di Indonesia?

     Di Indonesia, proselitasi pertama-tama dilakukan oleh penganut agama Hindu dan Buddha, yang membawa agama mereka dari tanah India pada abad ke-4. Maka dari itu, kita mengetahui kerajaan pertama yang berdiri di Indonesia menurut catatan-catatan sejarah adalah kerajaan Hindu, yaitu Kutai di Kalimantan Timur, pada abad ke-5. Setelahnya, muncul kerajaan-kerajaan lain yang bercorak Hindu-Buddha, seperti Tarumanagara (bercorak Hindu, th. 358-669), Sriwijaya (bercorak Buddha, abad 7-13), dan Majapahit (bercorak Hindu, 1293-ca.1500). Sebelumnya, masyarakat Indonesia menganut budaya animisme dan dinamisme, yaitu memuja benda-benda mati seperti pohon, gunung dan sungai dan juga arwah-arwah nenek moyang dan leluhur.

     Agama Islam baru masuk ke Nusantara sekitar abad ke-11 (teori yang mendukung masuknya agama Islam ke Indonesia ada cukup banyak, seperti dibawa oleh pedagang-pedagang Muslim dari Gujarat maupun cendekiawan Nusantara yang belajar ke Hadramaut, atau mungkin habib-ulama dari Hadramaut yang pindah ke Indonesia). Keberadaan agama Islam di Nusantara baru dipastikan dengan munculnya kerajaan Islam pertama di Nusantara, yaitu Samudra Pasai di Aceh (th. 1267-1521). Setelahnya, di Jawa, Sulawesi dan Maluku juga bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak Islam lainnya, seperti Kesultanan Demak (1475-1548), Kesultanan Banten (1527-1813), Kesultanan Mataram Islam (1588-1681). Penyebaran agama Islam, tidak seperti penyebaran agama Hindu dan Buddha di masa sebelumnya yang masih belum banyak diketahui, sudah lebih jelas: Di kota-kota pelabuhan, pedagang-pedagang dari Arab dan Yaman mendirikan pesantren-pesantren, mengadakan dakwah keliling, menikahi wanita lokal, dan lain sebagainya. Bahkan kita mengenal sembilan ulama besar di tanah Jawa yang dikenal dengan julukan 'Wali Songo' yang menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk lokal Jawa yang pada masa itu masih menganut agama-agama Hindu-Buddha dan animisme-dinamisme.

     Sedangkan, agama Kristen (dalam hal ini Katolik) baru masuk pada masa penjelajahan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, tepatnya pada tahun 1512 ketika untuk pertama kalinya, bangsa Portugis berhasil mendarat di Malaka (Malaysia) untuk mencari rempah-rempah dan terus berlayar hingga ke Madura, Bali, Lombok, Aru dan Banda. Tokoh yang paling terkenal dalam penyebaran agama Kristen Katolik di Indonesia adalah St. Fransiskus Xaverius (1506-1552), yang dikenal sebagai penginjil besar di benua Asia, dan dianggap telah mengkristenkan paling banyak orang sejak zaman Paulus. 

St. Fransiskus Xaverius,
penyebar terbesar agama Katolik di Asia.
Sedangkan bangsa Belanda tiba hampir seabad kemudian, tepatnya pada tahun 1596 dengan pendaratan kapal-kapal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Meskipun sesama Kristen, namun Portugis (Katolik) dan Belanda (Protestan) memiliki kepentingan penyebaran agama yang berbeda sesuai agenda masing-masing, dan pada pertengahan abad ke-17, sebagian besar bangsa Portugis dan Spanyol (yang sama-sama Katolik) dipukul mundur oleh Belanda. Sejak saat itu hingga awal abad ke-19 (pada masa perang Napoleon), agama Kristen aliran Protestan bertumbuh subur di Hindia Belanda (Indonesia) dan menjadi satu-satunya aliran agama Kristen yang diperbolehkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, pada masa perang Napoleon (1792-1815), negeri Belanda berhasil diduduki oleh Prancis pimpinan Napoleon, dan adik Napoleon, Lodewijk (Louis) Bonaparte yang beragama Katolik, diangkat menjadi raja Belanda. Iapun segera memerintahkan kembalinya misi Katolik di tanah jajahan Hindia Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga merdekanya Republik Indonesia (1945)

     Penyebaran agama Kristen terutama melalui zending (pendirian misi), pengiriman misionaris ke tempat-tempat terpencil, dan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokal. Contoh tersukses dari upaya misionaris ini adalah upaya seorang Ludwig Ingwer Nommensen, seorang misionaris asal Jerman yang berhasil menyebarkan agama Kristen diantara suku Batak di Sumatera Utara. Hasil dari pekerjaannya adalah salah satu denominasi gereja Protestan terbesar di Indonesia, yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Nommensen sendiri namanya diabadikan menjadi salah satu universitas di kota Medan, Sumatera Utara, dan dia sendiri secara umum dikenal sebagai 'Apostel (Rasul) Orang Batak'.

Nommensen, secara luas dikenal
sebagai 'Apostel Orang Batak'
     Lalu apa yang salah dengan proselitasi? Sejarah membuktikan, bahwa proses perpindahan agama, baik dengan paksaan maupun tidak, adalah hal yang lumrah. Mengapa mesti diributkan? Apabila seseorang pindah agama, hal itu hanyalah upaya untuk mencari kebenaran yang hakiki, yang tentunya berbeda menurut persepsi berbagai macam orang. Namun di dalam kesempatan ini, saya mengkritik kekhawatiran umat beragama dengan jumlah terbesar di Indonesia, yang tentu Anda sudah tahu. Selama bertahun-tahun, umat Islam dihantui oleh 'bahaya Kristenisasi' yang konon katanya dilancarkan oleh berbagai oknum dan institusi gereja. Namun apakah memang benar begitu?

     Dari pengalaman saya pribadi sebagai mantan jemaat Gereja Katolik, tidak pernah sekalipun di Gereja, pastor meminta jemaat untuk menyebarkan agama Katolik kepada orang-orang yang non-Katolik, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Yang diperintahkan adalah 'sebarkanlah kasih dan perdamaian dimanapun kamu berada'. Kalaupun orang melihatnya dalam perspektif berbeda, itu lain soal. Dalam istilah Islamnya, kita harus ber'husnudzon' (berprasangka baik) kepada semua orang, bukan?

     Anehnya lagi, umat Kristen dituduh menyebarkan agamanya hanya dengan mencoba mendirikan gereja di sebuah daerah. Seperti pada kasus GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, tujuan pendirian gereja adalah untuk beribadah bagi jemaat yang kebetulan memang banyak tinggal di daerah tersebut. Namun, ada pula yang menuduh ada jemaat yang sengaja 'didatangkan' dari daerah lain, agar terkesan seolah-olah gereja itu penuh dengan umat dan memiliki legitimasi untuk berada di daerah tersebut. Buat saya, itu tuduhan yang menggelikan dan tidak masuk akal. Seperti contohnya dalam Gereja Katolik, sebenarnya seluruh dunia ini telah dibagi menjadi keuskupan, paroki, wilayah dan lingkungan, yang masing-masing memiliki jumlah dan daftar jemaatnya. Kalau ada jemaat yang terpaksa beribadah di gereja lain yang bukan wilayahnya, sebetulnya itu hanya karena ada keperluan di daerah itu, bukannya ada perintah dari pihak Gereja untuk 'memalsukan' jumlah jemaat di suatu daerah.

Jemaat HKBP Filadelfia Bekasi: Korban Prasangka
Kristenisasi?
     Lagipula, agama Kristen juga memiliki alirannya sendiri-sendiri, yang di Indonesia ini saya tahu berjumlah puluhan. Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan, Karismatik/Pentakosta, Baptist, Anabaptist, Lutheran, Advent, Bala Keselamatan dan lain-lain.. Seperti contohnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang tadi. HKBP itu pada dasarnya adalah perkumpulan orang-orang Batak Protestan yang ingin mengadakan ibadah bersama. Ibadahnya pun saya tahu dalam bahasa Batak. Atau di Manado ada GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), di Sanger (Sulawesi Utara) ada GMIS (Gereja Masehi Injili di Sanger), dan lain sebagainya. Tidak mungkin orang Jawa yang Muslim bisa masuk HKBP, demikian juga orang Aceh Muslim bisa masuk GMIM. Maka, tuduhan Kristenisasi itu pada dasarnya adalah mengada-ada dan tidak masuk akal.

Gereja GPIB Gideon di Kramat,
Jakarta Pusat.
     Justru saya mengkritik sikap umat Islam sendiri, sebagai umat beragama dengan jumlah terbesar di Indonesia, yang masih kurang 'sadar' akan hakikat agama dan keberagamaan, dan bagaimana cara menjalaninya agar kita dapat hidup berdampingan, rukun dan damai. Apabila saya perhatikan, dalam sepuluh tahun belakangan ini terjadi peningkatan jumlah paham-paham Islam ekstremis yang makin kuat, diketahui dari ditangkapnya teroris-teroris secara berkala di seluruh Indonesia. Orang yang dikatakan sebagai 'dalang' dari gerakan Islam ekstremis di Indonesia, yaitu KH. Abu Bakar Ba'asyir, telah meringkuk di dalam jeruji besi Nusakambangan, namun toh tidak menyurutkan minat para pengikut dan murid-muridnya untuk terus mengemban misi 'jihad' yang diserukannya. Islam ini sebenarnya mau dibawa ke mana?

     Mungkin, sedikit nukilan dari tulisan presiden pertama kita, Ir. Soekarno dari bab "Surat-Surat Islam di Ende (bagian kelima)" pada buku "Dibawah Bendera Revolusi" jilid I karangan Bung Karno sendiri, dapat menjadi inspirasi buat umat beragama pada umumnya, dan umat Islam pada khususnya:
Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno,
contoh teladan yang baik untuk Modernisme
Islam menurut saya.

"...Brosur almarhum H. Fachruddin akan berfaedah pula bagi saya, karena saya sendiri pun banyak bertukaran pikiran dengan kaum Pastur di Ende. Tuan tahu, bahwa Pulau Flores itu adalah "Pulau Misi" yang mereka sangat banggakan. Dan memang "pantas" mereka membanggakan mereka punya pekerjaan di Flores. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka "bekerja mati-matian" buat mengembangkan mereka punya agama di Flores. Saya ada "respek" buat mereka punya kesukaan bekerja itu. Kita banyak mencela misi, tapi apakah yang kita kerjakan bagi upaya menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa misi mengembangkan Roomskatholicisme (Agama Katolik, red.) itu adalah mereka punya "hak", yang kita tak boleh cela dan gerutui. Tapi "kita", kenapa "kita" malas, kenapa "kita" teledor, kenapa "kita" tak mau kerja, kenapa "kita" tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun mubaligh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Misi di dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa orang kafir yang bisa "dihela" oleh Islam di Flores itu? Kalau dipikirkan, memang semua itu "salah kita sendiri", bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang!"

     Nah, demikianlah uraian singkat saya tentang proselitasi. Sikap saya, proselitasi atau tindakan memberi pengertian kepada seseorang atau banyak orang agar orang itu masuk ke dalam agama yang mengajak tidaklah salah, namun kembali kepada diri masing-masing umat beragama agar membekali dirinya, yang Islam menjadi Islam Plus, yang Kristen menjadi Kristen Plus, yang Hindu menjadi Hindu Plus, dan lain sebagainya. Apabila ada perpindahan agama, hal itu bukanlah masalah. Yang terpenting, adalah bagaimana kita dengan pemahaman itu bisa saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan.

Depok, 22 Januari 2014
Willy Mandagi

Tuesday, January 14, 2014

Cinta dalam Filsafat Yunani

     Baru-baru ini, saya banyak membaca tulisan orang-orang yang menolak cinta dengan berbagai alasan. Sebagian besar karena pernah mengalami kepahitan dengan cinta. Namun, kepahitan ini biasanya terjadi pada hubungan pria-wanita. Dari kelas-kelas filsafat yang pernah saya ikuti, saya mengetahui beberapa definisi cinta dalam filsafat, yang tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Materi ini didasarkan kepada filsafat Yunani, yang berarti akan terdapat beberapa istilah bahasa Yunani di dalamnya.

     Berdasarkan filsafat Yunani, terdapat beberapa jenis cinta, diantaranya:

     1. Eros. Eros adalah cinta secara fisik, dengan kerinduan yang sifatnya sebagian besar sensual. Eros adalah cinta yang didasarkan semata-mata pada emosi dan bukan pada logika. Istilahnya "Cinta pada pandangan pertama". Di dalam bahasa Yunani Modern, kata "erotas" (έρωτας) berarti "cinta yang intim"; meskipun begitu, eros tidak selalu bersifat seksual pada dasarnya. Eros dapat diinterpretasikan sebagai cinta pada seseorang yang Anda cintai lebih daripada philia, yaitu cinta antara sahabat. Eros juga dapat diterapkan pada hubungan antarpacar dan juga dalam pernikahan. Plato menjelaskan definisinya sendiri akan eros: Meskipun eros pada umumnya diasosiasikan dengan cinta kepada satu orang, apabila ditelusuri lebih jauh, eros dapat juga bermakna apresiasi akan keindahan seseorang atau bahkan keindahan itu sendiri. Plato tidak berbicara tentang ketertarikan secara fisik sebagai bagian yang penting dalam cinta, tetapi ia menggunakan kata platonik, yang diartikan sebagai "tanpa ketertarikan secara fisik". Di dalam karyanya yang berjudul Symposium, karya filsafat Yunani yang paling terkenal yang membahas tema cinta, Plato menjawab kritik Socrates bahwa eros dapat membantu jiwa-jiwa menyadari keindahan, dan membantu memahami kebenaran spiritual, bentuk ideal dari keindahan yang membawa manusia ke dalam nafsu erotis - dengan demikian menekankan bahwa cinta yang berbasis sensualitas tetap berpegang pada sifatnya yang non-fisik dan spiritualis; sampai pada pemahaman yang mengarah pada transendensi. 

(soal transendensi, cari saja di google ya, kepanjangan kalau dijelaskan di sini.)

     2. Philia. Philia didefiniskan sebagai cinta yang sifatnya mental. Philia juga diasosiasikan sebagai cinta antarsahabat di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Cinta semacam ini sifatnya 'memberi dan menerima'. Philia menurut Aristoteles, adalah cinta yang sifatnya penuh kebajikan dan tidak bersifat agresif. Philia dapat diterapkan pada sahabat, teman, keluarga, dan masyarakat, dan memerlukan kebajikan, prinsip kesetaraan dan kedekatan. Di dalam teks-teks kuno, philos digunakan untuk menyebut cinta secara umum, digunakan antarkeluarga, antarteman, dan juga kesukaan pada sebuah aktivitas atau barang tertentu. 

     3. Agape. Agape berarti cinta di dalam sifatnya yang spiritual. Di dalam kata s'agapo (Σ'αγαπώ), yang berarti "aku mencintaimu" di dalam bahasa Yunani Kuno, seringkali dikaitkan dengan 'cinta yang tak bersyarat'. Cinta semacam ini tidak mementingkan diri sendiri; cinta ini memberi dan tidak mengharapkan diberi. Agape digunakan di dalam Alkitab, 1 Korintus 13 sebagai "ayat-ayat cinta"; dan dijelaskan di seluruh Perjanjian Baru sebagai cinta yang penuh pengorbanan. Tidak peduli apakah cinta itu terbalas atau tidak, orang yang mencintai secara agape terus mencintai tanpa merasa perlu dicintai. Agape juga digunakan di dalam teks-teks kuno untuk menggambarkan cinta kepada istri/suami atau anak. Agape juga digunakan secara ekstensif di dalam Kekristenan untuk menggambarkan kasih Tuhan yang tak bersyarat.  

     4. Storge, berarti "rasa sayang" di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Storge adalah cinta yang sifatnya alamiah, seperti yang dirasakan orangtua kepada anak mereka. Kata ini jarang digunakan di dalam teks-teks kuno, dan hampir selalu digunakan untuk menggambarkan cinta diantara anggota keluarga. Kata ini juga digunakan untuk mengekspresikan penerimaan atas sesuatu, dan bahkan kadang-kadang bersifat sindiran, seperti "mencintai tiran". 

     Demikianlah definisi cinta menurut filsafat Yunani yang saya tahu. Jadi, yang manakah cintamu?

.