Friday, September 27, 2013

Saksi Yehovah, Saudara!

Seorang calon penganut Saksi Yehovah sedang dibaptis.

"Percayakah Saudara terhadap janji-janji Allah? Tulis majalah resmi sekte Saksi Yehovah, "Menara Pengawal" di halaman dalam sampul depannya. Saya baru kemarin membaca majalah itu, dengan asumsi selama bertahun-tahun bahwa Saksi Yehovah itu sesat, tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan (lah.. Sekarang saya juga tidak!) dan menerjemahkan Alkitab menurut caranya sendiri.

Lho lho lho.. Ada apakah dengan mereka ini, sehingga mereka ditakuti oleh sebagian besar umat Kristiani, bahkan ada yang mengadakan seminar khusus untuk melawan argumen para Saksi Yehovah ini dalam berdebat?

Tempatnya di Kupang.. Menunjukkan betapa 'berbahayanya' Saksi Yehovah itu!
 Sebenarnya, Saksi Yehovah bukanlah sesuatu yang salah apabila ditinjau dari sudut pandang hermeneutika dan studi religiositas. Yang berbahaya adalah bagaimana mereka 'menyempal' terhadap ajaran agama Kristen (maksudnya, menerima beberapa dogma dan menolak sebagian yang lain). Yah, mirip-mirip Ahmadiyah di Islam, sih. Tapi beberapa poin ciri khas Saksi Yehovah:

1. Selalu melakukan penginjilan door-to-door, memangnya ada orang di zaman sekarang yang pindah agama dengan cara begitu? Kalau ada, saya akan terkejut.

2. Dikendalikan dari pusatnya di New York: Bible Tract Society, namanya. Alkitab pun mereka ada terjemahan sendiri, namanya New World Translation (NWT). Isinya beda-beda sedikitlah dengan Alkitab LAI/LBI yang beredar luas di Indonesia. Satu hal yang mencolok adalah penggantian sebutan untuk Yesus dalam Injil Perjanjian Baru, dari 'Tuhan" menurut versi mainstream menjadi 'Tuan"; hal ini bersumber dari bahasa asli Perjanjian Baru, yaitu Yunani, menyebut Yesus sebagai 'κύριος' (kyrios), yang dapat diterjemahkan menjadi keduanya.

3. Satu-satunya agama yang memiliki program tour di kantor pusatnya yang cabang Jakarta , mungkin untuk pengenalan lebih baik, tapi inovatif juga menurut saya.

Majalahnya bagus juga sih, ada dua, Watchtower (Menara Pengawal) yang isinya sebagian besar mengenai doktrin Saksi Yehovah, dan satu lagi Sedarlah! yang lebih berisi peristiwa-peristiwa penting menurut Saksi Yehovah, dihubungkan dengan isi Alkitab menurut mereka, ya semacam National Geographic begitulah layoutnya.

Anda tertarik (saya tidak promosi loh, hehe..). Maksudnya biar tau aja. Alamat situsnya: http://www.jw.org/id/

Saussure's Legacy

Saussure's Legacy
as translated by Willy Mandagi

Warisan Saussure

Pandangan terhadap bahasa dan representasi sebagai bentuk konstruksionis sosial yang telah kita  diskusikan sangat dipengaruhi oleh karya dan pengaruh linguis Swiss, Saussure, yang lahir di Jenewa pada 1857, menghasilkan sebagian besar karyanya di Paris, dan wafat pada 1913. Dia dikenal sebagai 'Bapak linguistik modern'. Untuk keperluan kita, pentingnya karya Saussure bukanlah terletak pada penelitiannya yang mendalam akan linguistik, namun dalam pandangan umumnya mengenai representasi dan cara model bahasanya membentuk pendekatan semiotika terhadap masalah representasi didalam bidang-bidang kebudayaan yang beragam. Anda akan mengenali banyak pemikiran Saussure dari apa yang telah kita pelajari sebelumnya mengenai pendekatan konstruksionis.

Untuk Saussure, berdasarkan Jonathan Culler (1976, h. 19), produksi makna tergantung pada bahasa: 'Bahasa adalah sistem tanda-tanda.' Suara, gambar, kata-kata tertulis, lukisan, foto, dll. berfungsi sebagai tanda didalam bahasa 'hanya ketika berfungsi untuk mengekspresikan atau mengkomunikasikan ide-ide.. (untuk) mengkomunikasikan ide-ide, tanda haruslah merupakan bagian dari sebuah sistem konvensi (yang disepakati bersama, red.)...' (ibid.). Objek material dapat berfungsi sebagai tanda dan juga mengkomunikasikan makna-makna, seperti yang telah kita lihat pada contoh 'bahasa lampu merah'. Didalam sebuah kajiannya yang penting, Saussure menganalisa tanda-tanda dan membaginya menjadi dua elemen. Menurutnya, terdapat bentuk (kata, gambar, foto yang sebenarnya dll.) dan terdapat juga ide atau konsep didalam pikiran Anda yang menghubungkannya dengan bentuk itu. Saussure menyebut elemen pertama sebagai penanda (signifier, red.), dan elemen kedua - konsep yang muncul didalam pikiran Anda sebagai hasil kontak dengan penanda - yang ditandai (signified, konsep, red.). Setiap kali Anda mendengar atau membaca atau melihat penanda (contohnya, kata atau gambar sebuah Walkman), hal ini berkorelasi dengan konsep (konsep sebuah pemutar kaset portabel didalam pikiran Anda). Keduanya diperlukan untuk memproduksi makna tetapi sebenarnya adalah hubungan diantara tanda dan konsep itulah yang memberikan representasi, yang ditetapkan melalui kode-kode kebudayaan dan linguistik kita. Jadi, 'tanda adalah persatuan bentuk-bentuk yang menandai (penanda)... dan ide yang ditandainya (yang ditandai/konsep, red.) Meskipun kita bisa saja berkata ... seolah-olah mereka adalah dua hal yang berbeda, mereka hanyalah merupakan komponen dari sebuah tanda ... (yang adalah) fakta bahasa yang utama' (Culler, 1976, h. 19).

Saussure juga menekankan pada apa yang dalam bagian I kita sebut asal tanda yang sifatnya arbitrer: 'Tidak ada hubungan yang alami dan tidak terbantahkan antara penanda dan yang ditandai' (ibid.) Tanda tidak memiliki makna yang tetap ataupun esensial. Yang penting menurut Saussure adalah bukan MERAH ataupun esensi 'kemerahan-nya', tetapi perbedaan antara MERAH dan HIJAU itulah yang penting. Menurut Saussure, tanda adalah 'anggota sebuah sistem dan didefinisikan dalam hubungannya dengan anggota lain didalam sistem itu.' Contohnya, sulit untuk mendefinisikan makna AYAH kecuali dihubungkan kepada, dan dibedakan menurut ciri-cirinya dengan, istilah kekerabatan lain, seperti IBU, ANAK PEREMPUAN, ANAK LAKI-LAKI dan lain sebagainya.

Pembedaan didalam bahasa ini sangat penting untuk produksi makna-makna, menurut Saussure. Bahkan pada tahapan rendah (untuk mengulangi contoh yang telah disebutkan sebelumnya), kita harus dapat membedakan, didalam bahasa, antara SHEEP (domba) dan SHEET (seprei), sebelum kita dapat menghubungkan salah satu kata tersebut dengan konsep hewan yang memproduksi wol, dan yang lainnya dengan konsep sehelai kain yang menutupi sebuah tempat tidur. Cara termudah untuk membedakan adalah, tentu saja, dengan melakukan pertentangan biner - dalam contoh ini, semua huruf adalah sama kecuali huruf P dan T. Demikian pula dengan makna sebuah konsep atau kata seringkali didefinisikan dalam hubungannya dengan lawan katanya - seperti pada malam/siang. Kritik yang kemudian diajukan pada Saussure mengganggap bahwa pertentangan biner (contoh malam/siang) hanyalah sebuah cara sederhana untuk menandai perbedaan. Demikian halnya dengan perbedaan yang kontras diantara hitam dan putih, terdapat juga banyak perbedaan lain yang kurang jelas, contohnya didalam membedakan hitam dan abu-abu gelap, abu-abu gelap dengan abu-abu terang, abu-abu dan krem dan putih kusam, putih kusam dan putih terang. Begitu juga terdapat perbedaan antara malam, fajar, siang hari, tengah hari, senja, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, perhatiannya terhadap pertentangan biner membawa Saussure kepada dalil yang revolusioner bahwa bahasa terdiri dari penanda-penanda, tetapi untuk menghasilkan makna, penanda tersebut harus diorganisasikan kedalam 'sebuah sistem pembedaan'. Hal itulah yang menghasilkan perbedaan diantara tanda-tanda yang menandai.

Lebih jauh, relasi diantara penanda dengan yang ditandai, yang ditetapkan oleh kode-kode kebudayaan kita, menurut Saussure tidaklah ditetapkan secara permanen. Kata-kata berubah maknanya. Konsep (yang ditandai) yang mereka rujuk juga berubah secara historis, dan setiap perubahan mempengaruhi peta konsep sebuah kebudayaan, membuat kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, dalam momen-momen sejarah yang berbeda, mengklasifikasikan dan memandang dunia ini secara berbeda. Selama berabad-abad, masyarakat Barat telah mengasosiasikan warna HITAM dengan segala hal yang gelap, jahat, terlarang, mirip iblis, berbahaya dan penuh dosa. Dan sekarang, pikirkanlah bagaimana persepsi terhadap orang kulit hitam di Amerika pada 1960-an berubah setelah frase 'Hitam itu Indah' menjadi slogan yang populer - dimana penandanya, HITAM, dibuat untuk menandakan makna yang sama sekali berlawanan (yang ditandai/konsep) dari makna sebelumnya. Dalam istilah Saussure, 'Bahasa menetapkan hubungan arbitrer diantara tanda-tanda yang dipilihnya sendiri di satu sisi, dan konsep-konsep yang dipilihnya sendiri di sisi lain. Masing-masing bahasa tidak hanya memproduksi sekumpulan penandanya yang masing-masing berbeda, mengartikulasikan dan membagi serangkaian suara (atau tulisan atau gambar atau foto) dalam cara yang berbeda, namun juga tiap-tiap bahasa memproduksi sekumpulan konsep yang berbeda; bahasa memiliki cara yang berbeda dan sifatnya arbitrer untuk mengorganisasikan dunia ini kedalam konsep-konsep dan kategori-kategori' (Culler, 1976, h. 23).

Implikasi dari pendapat ini sangat berpengaruh pada teori representasi dan pemahaman kita terhadap kebudayaan. Jika hubungan diantara tanda dan konsep adalah hasil sebuah sistem konvensi sosial hanya terbatas pada masing-masing kebudayaan dan momen-momen sejarah tertentu - semua makna sebenarnya diproduksi didalam sejarah dan kebudayaan. Mereka tidak pernah benar-benar bisa ditetapkan namun selalu dapat berubah, dari satu konteks kebudayaan dari masa ke masa. Jadi, tidak terdapat sebuah 'makna sejati' yang tunggal, tidak berubah, dan universal. 'Karena tanda-tanda sifatnya adalah arbitrer, maka tanda adalah sangat tergantung pada sejarah dan kombinasi tanda dan konsep pada momen tertentu adalah hasil keseluruhan dari sebuah proses sejarah.' (Culler, 1976, h. 36). Pendapat ini membuka dunia makna dan representasi, dengan cara yang radikal, kepada sejarah dan perubahan. Memang benar apabila dikatakan bahwa Saussure sendirilah yang memfokuskan penelitiannya hanya kepada keadaan sebuah sistem bahasa pada suatu waktu daripada memfokuskannya pada perubahan linguistik dari waktu ke waktu. Meskipun begitu, yang harus kita ketahui, poin pentingnya adalah bagaimana cara pendekatan ini terhadap bahasa menghilangkan penetapan makna, merusak setiap hubungan alami dan tidak terelakkan diantara tanda dan konsep. Hal ini membuka representasi untuk meneliti 'permainan' pemelesetan makna, dan juga untuk memproduksi makna dan representasi yang baru secara konstan.

Meskipun demikian, jika makna-makna berubah, secara historis, dan tidak pernah benar-benar ditetapkan, kemudian langkah berikut yang harus dilakukan dalam 'memahami makna' harus melibatkan sebuah proses representasi yang aktif. Makna harus 'dibaca' dan 'direpresentasikan' secara aktif. Konsekuensinya, terdapat ketidakakuratan yang pasti terjadi dan tidak terelakkan didalam bahasa. Makna yang kita pahami, sebagai penonton, pembaca atau pemirsa, tidak akan pernah sama dengan makna yang dimunculkan oleh sang pembicara atau penulis atau oleh penonton lainnya. Dan karena kita ingin mengatakan sesuatu yang memiliki makna, kita harus 'memasuki bahasa', dimana segala macam makna yang telah ada sebelum kita, telah tersimpan sejak masa sebelumnya, kita tidak akan pernah dapat memahami bahasa seutuhnya, dan mencoret semua makna tersirat yang mungkin dapat mengubah atau mendistorsi apa yang ingin kita katakan. Contohnya, kita tidak dapat menghapus seutuhnya konotasi kata HITAM yang negatif ketika kita membaca headline surat kabar seperti, 'RABU - HARI HITAM DI PASAR SAHAM', bahkan ketika kita tidak bermaksud memaknainya seperti itu. Terdapat pemelesetan makna yang terjadi secara konstan didalam semua interpretasi, sebuah batas - sesuatu yang melebihi apa yang ingin kita katakan - dimana makna lainnya menutupi pernyataan atau teks tersebut, ketika makna-makna lainnya muncul, yang mengubah makna dari apa yang ingin kita katakan. Jadi, interpretasi menjadi aspek yang esensial dari sebuah proses dimana makna diberikan dan diperoleh. Pembaca adalah sama pentingnya dengan penulis didalam produksi makna. Setiap penanda yang diberikan atau disisipkan makna harus secara berarti diinterpretasikan atau dipahami oleh pemeroleh (Hall, 1980). Tanda-tanda yang tidak diterima dan diinterpretasikan secara jelas tidaklah bermakna, dalam hal apapun.

2.1 Bagian sosial bahasa

Saussure membagi bahasa menjadi dua bagian. Yang pertama terdiri dari kode-kode dan aturan umum sistem linguistik, yang harus dimiliki semua penggunanya, jika bahasa ingin dijadikan salah satu cara komunikasi. Peraturan adalah prinsip yang kita pelajari ketika kita mempelajari sebuah bahasa dan hal itu memampukan kita untuk menggunakan bahasa untuk mengatakan apa yang kita ingin katakan. Contohnya, dalam bahasa Inggris, susunan kata yang tepat adalah subjek-kata kerja-objek ('kucing duduk di karpet'), sementara dalam bahasa Latin, kata kerja biasanya terletak di akhir. Saussure menyebut hal ini sebagai struktur bahasa yang teratur, yang memampukan kita membentuk kalimat dengan sempurna, sebuah langue (sistem bahasa). Bagian kedua terdiri dari tindakan berbicara atau menulis atau menggambar secara tertentu, yang - menggunakan struktur dan peraturan langue - diproduksi oleh pembicara atau penulis sebenarnya. Dia menyebut hal ini sebagai parole. 'La langue adalah sebuah sistem bahasa, bahasa sebagai sebuah sistem bentuk, sementara parole adalah kemampuan berbicara (atau menulis) yang sebenarnya, tindakan berbicara yang dimungkinkan melalui bahasa' (Culler, 1976, h. 29).

Menurut Saussure, struktur pokok peraturan dan kode-kode bahasa (langue) adalah bagian sosial sebuah bahasa, bagian yang dapat dipelajari dengan keakuratan hukum mirip sains karena sifatnya yang tertutup dan terbatas. Metode penelitiannya yang mempelajari bahasa dalam bentuk 'struktur terdalam'nya membuat Saussure dan model bahasanya sebagai strukturalis. Bagian kedua bahasa, tindakan ujaran atau pembicara (parole), dianggapnya sebagai 'permukaan' bahasa. Ujaran memiliki jumlah yang tidak terhingga. Karena itu, parole sama sekali tidak memiliki properti struktural ini - yang membentuk kumpulan yang tertutup dan terbatas - yang dapat memampukan kita mempelajarinya 'secara ilmiah'. Apa yang membuat model Saussure menarik banyak ilmuwan kemudian adalah fakta bahwa karakter bahasa yang tertutup dan terbatas pada tingkatan hukum dan peraturannya, menurut Saussure, memampukan bahasa dipelajari secara ilmiah, dipadukan dengan kemampuan bahasa yang bebas dan luar biasa kreatif didalam tindak ujaran kita didalam dunia nyata.  Para ilmuwan percaya bahwa dia telah, pada akhirnya, memberikan sebuah pendekatan yang ilmiah kepada objek penelitian yang paling tidak ilmiah - budaya.

Dalam memisahkan bagian sosial bahasa (langue) dari tindakan komunikasi secara individu (parole), Saussure tidak sepaham dengan gagasan umum mengenai cara kerja bahasa. Intuisi pendapat kita mengatakan bahwa bahasa muncul dari dalam diri kita sendiri - dari pembicara atau penulis individual; bahwa subjek penulis atau pembicaralah yang merupakan pencipta makna. Inilah yang dalam bagian sebelumnya kita sebut model representasi intensional. Tetapi berdasarkan skema Saussure, setiap pernyataan yang dibuat hanya dimungkinkan untuk dimengerti karena sang 'penulis' mematuhi peraturan dan kode-kode umum sistem bahasa seperti halnya pengguna bahasa lainnya - langue - yang memungkinkan mereka berkomunikasi satu sama lain dengan penuh makna. Penulislah yang menentukan apa yang ingin dia katakan. Tetapi dia tidak dapat 'menentukan' ingin menggunakan peraturan bahasa atau tidak, jika dia ingin dimengerti. Kita terlahir kedalam sebuah masyarakat bahasa, kode-kode dan maknanya. Dengan demikian, menurut Saussure, bahasa adalah fenomena sosial. Bahasa tidak dapat menjadi sesuatu yang personal karena kita tidak dapat menentukan peraturan bahasa secara individual. Sumber bahasa terletak pada masyarakat, didalam kebudayaan, di dalam kode-kode kebudayaan yang dimiliki bersama, di dalam sistem bahasa - tidak secara alamiah maupun didalam subjek-subjek individual.

Kita akan  menuju bagian III untuk melihat bagaimana pendekatan konstruksionis terhadap representasi, dan secara khusus model linguistik Saussure, diterapkan kepada sekumpulan tindakan dan objek kebudayaan yang lebih luas, dan berkembang menjadi metode semiotika yang mempengaruhi bidang tersebut. Pertama kita harus mempertimbangkan beberapa kritik yang ditujukan terhadap pendapat Saussure.

2.2 Kritik Model Bahasa Saussure

Karya besar Saussure membuat kita terfokus kepada bahasa itu sendiri, sebagai sebuah fakta sosial; pada proses representasi itu sendiri; pada bagaimana bahasa sebenarnya bekerja dan peran yang dimilikinya didalam produksi makna. Dalam melakukan itu, dia  mengganggap bahasa lebih dari sekedar medium yang transparan diantara benda dan makna. Sebaliknya, dia menunjukkan bahwa representasi adalah sebuah tindakan. Meskipun demikian, di dalam karyanya, dia cenderung memfokuskan diri hampir sepenuhnya kepada dua aspek tanda - penanda (tanda, red.) dan yang ditandai (konsep, red.). Dia hanya memberikan sedikit perhatian atau tidak sama sekali terhadap bagaimana hubungan diantara penanda/yang ditandai dapat memenuhi kegunaan apa yang sebelumnya kita sebut referens - yaitu, memberikan kita rujukan kepada dunia benda, manusia dan peristiwa diluar bahasa didalam dunia 'nyata'. Para linguis kemudian membuat perbedaan diantara, katakanlah, makna kata BUKU dan penggunaan kata tersebut untuk merujuk buku tertentu yang tergeletak di depan kita diatas sebuah meja. Linguis tersebut, Charles Sanders Pierce, meskipun memiliki pandangan dan pendekatan yang sama dengan Saussure, lebih memerhatikan kepada hubungan antara penanda/yang ditandai dan apa yang dia sebut referens. Apa yang disebut Saussure sebenarnya melibatkan dua proses tersebut, pemaknaan dan perujukan, tetapi dia hanya berfokus pada proses yang pertama. Masalah lainnya adalah bahwa Saussure cenderung memfokuskan diri pada aspek formal bahasa - bagaimana sebenarnya cara kerja bahasa. Kecenderungan ini memiliki kelebihan dengan membuat kita mempelajari representasi sebagai sebuah tindakan yang pantas dipelajari secara mendalam dan terpisah dengan bidang ilmu lainnya. Aspek formal bahasa memaksa kita memandang bahasa sebagai bahasa itu sendiri, dan tidak sekedar sebagai 'jendela dunia' yang kosong dan transparan. Meskipun demikian, fokus Saussure terhadap bahasa mungkin terlalu eksklusif. Perhatian terhadap aspek-aspek formalnya telah mengalihkan perhatian para peneliti dari sifat bahasa yang lebih interaktif dan dialogis - bahasa seperti yang digunakan sehari-hari, seperti fungsinya di dalam situasi nyata, di dalam dialog antara pembicara-pembicara yang berbeda. Jadi, tidaklah mengejutkan apabila menurut Saussure, pertanyaan mengenai kekuatan di dalam bahasa - contohnya, diantara pembicara yang memiliki posisi dan status berbeda - tidak mengemuka.

Seperti yang selalu terjadi, mimpi 'ilmiah' yang terletak dibalik sifat karyanya yang strukturalis, meskipun terbukti untuk menyadarkan kita terhadap aspek-aspek tertentu dalam cara kerja bahasa, terbukti juga memiliki sifat menyesatkan. Bahasa bukanlah sebuah objek yang bisa dipelajari dengan ketepatan hukum ilmiah. Ahli teori kebudayaan belajar dari 'strukturalisme' Saussure namun menolak premis-premis ilmiahnya. Bahasa tetaplah diatur melalui aturan-aturan. Tetapi bahasa bukanlah sistem 'tertutup' yang bisa dibatasi pada elemen-elemen formalnya. Karena bahasa berubah secara terus-menerus, menurut definisi bahasa bersifat terbuka. Makna terus diproduksi melalui bahasa dalam bentuk-bentuk yang takkan pernah diprediksi sebelumnya dan 'pergeseran'nya, seperti yang telah saya jelaskan diatas, tidak dapat dihentikan. Saussure mungkin saja mengadopsi pandangan pertama karena, sebagai pendukung teori strukturalis yang baik, dia berkecenderungan mempelajari keadaan suatu sistem bahasa pada suatu saat, seolah-olah bahasa itu sifatnya tetap dan dia dapat menghentikan aliran perubahan-bahasa. Namun terdapat banyak orang yang paling terpengaruh oleh pemikiran Saussure yang memberontak dari seluruh model representasi reflektif dan intensional, telah mengembangkan karyanya, bukan dengan mengimitasi pendekatan ilmiah dan 'strukturalis'nya, namun dengan menerapkan model bahasanya di dalam cara yang lebih longgar dan lebih terbuka, yang disebut pendekatan 'post-strukturalis'.

2.3  Kesimpulan

Sejauh apakah kita telah mempelajari teori representasi di dalam diskusi kita? Kita memulainya dengan mempertentangkan tiga pendekatan berbeda. Pendekatan reflektif atau mimetik menganggap terdapat hubungan imitasi yang langsung dan transparan diantara kata-kata (penanda) dan benda-benda. Pendekatan intensional membatasi representasi hanya menurut subjek atau penulisnya saja. Pendekatan konstruksionis menganggap terdapat hubungan yang kompleks dan teratur diantara benda-benda di dunia, konsep yang ada di dalam pikiran kita dan bahasa. Kita telah memfokuskan diri pada ketiga teori ini. Korelasi diantara tingkatan ini - material, konseptual dan penandaan - diatur oleh kode-kode linguistik dan kebudayaan kita dan sekumpulan hubungan inilah yang menciptakan makna. Kita lalu ditunjukkan bagaimana model bahasa ini bekerja di dalam sistem representasi dalam proses produksi makna berkat karya-karya Ferdinand de Saussure. Titik kuncinya adalah hubungan yang diberikan oleh kode-kode diantara bentuk-bentuk ekspresi yang digunakan oleh bahasa (entah ujaran, tulisan, gambar, atau model representasi lain) - yang disebut Saussure sebagai penanda - dan konsep mental yang dihubungkan dengannya - yang ditandai. Hubungan diantara dua sistem representasi ini menghasilkan tanda-tanda; dan tanda, yang diorganisasikan ke dalam bahasa, menghasilkan makna, dan dapat digunakan untuk merujuk pada objek, manusia dan peristiwa di dalam dunia 'nyata'.

Saturday, September 21, 2013

Representation, Meaning and Language

Representation, meaning and language
as translated by Willy Mandagi

Representasi, arti dan bahasa

Didalam bagian ini kita akan berkonsentrasi pada salah satu proses utama didalam 'sirkuit kebudayaan' (lihat du Gay, Hall et al,. 1997, dan pengantar buku tersebut) - tindakan representasi. Tujuan bagian ini adalah untuk mengenalkan Anda kepada topik ini, dan untuk menjelaskan apakah representasi itu dan kenapa kami menganggapnya penting didalam kajian kebudayaan.

Konsep representasi telah menempati tempat baru yang penting didalam studi kebudayaan. Representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan kebudayaan. Tapi sebenarnya apakah maksudnya? Apa hubungannya representasi dengan kebudayaan dan makna? Salah satu penggunaan istilah tersebut secara masuk akal adalah sebagai berikut: 'Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang berarti mengenai, atau untuk merepresentasikan, dunia dengan penuh arti, kepada orang lain.' Anda mungkin akan bertanya, 'Apakah hanya itu?' Ya dan tidak. Representasi adalah bagian utama dari sebuah proses, dimana makna diproduksi dan dipertukarkan diantara anggota-anggota sebuah masyarakat kebudayaan. Representasi memang melibatkan penggunaan bahasa, baik dalam bentuk tanda dan gambar yang merepresentasikan sesuatu. Tapi hal ini sama sekali bukan proses yang sederhana dan langsung, seperti yang akan segera Anda ketahui.

Bagaimana konsep representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan kebudayaan? Untuk mempelajari hubungan ini lebih lanjut, kita akan melihat sejumlah teori yang berbeda mengenai bagaimana bahasa digunakan untuk merepresentasikan dunia ini. Kita akan menarik garis tegas diantara tiga teori berbeda: pendekatan kepada representasi secara reflektif, intensional dan konstruksionis. Apakah bahasa hanya semata-mata merefleksikan sebuah makna yang telah ada dalam dunia objek, manusia dan peristiwa (reflektif)? Apakah bahasa hanya mengekspresikan apa yang ingin disampaikan sang pembicara atau penulis atau pelukis, mengenai makna yang ingin dia sampaikan secara personal (intensional)? Atau apakah makna dikonstruksi didalam dan melalui bahasa (kontruksionis)? Anda akan segera mengetahuinya didalam tiga pendekatan ini.

Sebagian besar bagian ini akan digunakan untuk mempelajari pendekatan konstruksionis, karena pendekatan tersebut memiliki peran yang paling besar didalam studi kebudayaan dalam tahun-tahun terakhir ini. Bagian ini akan memerika dua varian atau model utama dari pendekatan konstruksionis - pendekatan semiotika, yang sangat dipengaruhi oleh linguis Swiss yang terkenal, Ferdinand de Saussure, dan pendekatan diskursif, dihubungkan dengan filsuf dan sejarawan Prancis, Michel Foucault. Bagian akhir buku ini akan mengangkat kedua teori tersebut lagi, diantara hal-hal lainnya, jadi Anda akan memiliki kesempatan untuk memahami teori-teori tersebut, dan menerapkannya didalam area-area analisis tertentu. Bagian lainnya akan memperkenalkan paradigma teoretis yang menerapkan pendekatan konstruksionis dalam cara-cara berbeda dibandingkan dengan pendekatan secara semiotika dan cara Foucault. (diskursif, red.). Semua hal itu, pada akhirnya akan bermuara pada pertanyaan: Apakah representasi itu? Kami akan menjawab pertanyaan ini dahulu.

1.1 Membuat makna, merepresentasikan hal-hal

Apakah artinya kata representasi, dalam konteks ini? Apa saja hal-hal yang melibatkan proses representasi? Bagaimana cara kerja representasi?
Secara sederhana, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Shorter Oxford English Dictionary memberikan dua makna relevan terhadap kata tersebut:

1. Merepresentasikan sesuatu artinya mendeskripsikannya atau menggambarkannya, untuk memunculkannya didalam benak manusia melalui deskripsi atau penggambaran atau imajinasi; untuk menyamakannya dengan sesuatu didalam pikiran kita atau pancaindera kita; seperti; contohnya, dalam kalimat: 'Gambar ini merepresentasikan pembunuhan Abel oleh Kain.'

2. Merepresentasikan sesuatu juga berarti melambangkan, mengartikan, menjadi contoh untuk, atau menggantikan sesuatu; seperti dalam kalimat: 'Dalam agama Kristen, salib merepresentasikan penderitaan dan penyaliban Kristus.'

Figur didalam lukisan tersebut menggantikan, dan di saat bersamaan, berarti cerita Kain dan Abel. Demikian halnya dengan salib, yang sebenarnya hanyalah dua papan yang dipaku secara melintang; namun didalam konteks ajaran dan iman Kristen, salib berarti, melambangkan atau memiliki arti yang lebih luas mengenai penyaliban Anak Allah, dan konsep inilah yang dapat diterapkan kedalam kata-kata dan gambar-gambar.

     AKTIVITAS I
     
     Ini adalah latihan sederhana mengenai representasi. Perhatikan objek yang familiar didalam ruangan. Anda akan segera mengenali, benda apakah itu sebenarnya. Tetapi bagaimana Anda tahu apa objek itu sebenarnya? Apa artinya 'mengenali'?

      Sekarang cobalah untuk membuat diri Anda sadar mengenai apa yang sedang Anda kerjakan - mengamati apa yang sedang terjadi seperti yang Anda sedang lakukan sekarang. Anda mengenali hal itu karena proses pemikiran Anda menerjemahkan persepsi visual objek tersebut dengan istilah sebuah konsep yang Anda miliki didalam pikiran Anda. Hal itu memang demikian adanya karena, jika Anda berpaling dari objek tersebut, Anda masih dapat berpikir mengenai benda tersebut dengan cara membayangkannya, seperti yang sering kita katakan, 'Didalam mata pikiranmu' (Ini merupakan sebuah idiom bahasa Inggris, red.). Teruskan - cobalah terus mengikuti proses ini secara perlahan: Ini objeknya.. dan ini adalah konsep didalam pikiran Anda, yang memberitahu Anda benda apakah sebetulnya ini, apakah artinya benda ini didalam gambaran visual Anda.

         Sekarang, beritahu Saya apakah benda itu. Katakan dengan suara keras: 'Itu adalah sebuah lampu' - atau sebuah meja atau sebuah buku atau telepon atau apapun. Konsep objek tersebut telah melalui representasi mental Anda mengenai benda itu, dan disampaikan kepada saya melalui kata-kata yang baru saja Anda gunakan. Kata berarti atau merepresentasikan sebuah konsep, dan dapat dipergunakan untuk mereferensikan atau menunjukkan secara pasti benda 'nyata' yang benar-benar ada di dunia ini atau bahkan objek-objek imajiner, seperti malaikat-malaikat yang menari di kepala jarum. yang tidak pernah dilihat siapa pun.

Inilah caranya Anda memberikan makna sesuatu hal melalui bahasa. Inilah caranya Anda memahami dunia manusia, objek dan peristiwa, dan bagaimana Anda mampu mengekspresikan sebuah pikiran kompleks mengenai hal-hal tersebut kepada orang lain, atau mengkomunikasikannya melalui bahasa dalam cara-cara yang akan dipahami orang lain.

Mengapa kita harus melalui proses yang kompleks ini untuk merepresentasikan pikiran kita? Jika Anda meletakkan gelas yang sedang Anda pegang dan pergi keluar ruangan, Anda masih dapat berpikir tentang gelas tersebut, bahkan meskipun gelas itu tak lagi berada disana secara fisik. Sebenarnya, Anda tidak dapat berpikir mengenai sebuah gelas. Anda hanya dapat berpikir mengenai konsep gelas tersebut. Seperti yang sering dikatakan para linguis, 'Anjing menggonggong. Tetapi konsep "anjing" tidak dapat menggonggong atau menggigit.' Begitu juga Anda tidak dapat berbicara mengenai gelas secara langsung. Anda hanya dapat berbicara mengenai kata yang digunakan untuk merepresentasikannya - GELAS - yang merupakan tanda linguistik yang kita gunakan dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada objek yang kita gunakan untuk meminum air darinya. Disinilah representasi memiliki makna. Representasi adalah produksi makna konsep-konsep tertentu yang ada didalam pikiran kita melalui bahasa. Reprensentasi adalah penghubung antara konsep dan bahasa yang memampukan kita untuk merujuk kepada dunia objek, manusia atau peristiwa, atau sekedar dunia imajiner yang mencakup objek, manusia atau peristiwa fiksional.

Jadi, terdapat dua proses, dua sistem representasi yang terlibat. Pertama, ada sebuah 'sistem' yang dengannya segala macam objek, manusia dan peristiwa dikorelasikan dengan satu set konsep atau representasi mental yang kita miliki didalam pikiran kita. Tanpanya, kita tak dapat menginterpretasikan dunia ini secara berarti. Pertama-tama, pemaknaan bergantung kepada sistem konsep dan gambar yang terbentuk didalam pikiran kita yang dapat mengartikan atau 'merepresentasikan' dunia, memampukan kita untuk merujuk kepada benda-benda baik yang berada didalam atau diluar pikiran kita.

Sebelum kita melanjutkan ke 'sistem representasi' yang kedua, kita harus memahami bahwa apa yang baru saya katakan hanyalah versi yang sangat sederhana dari proses yang cukup kompleks. Cukup mudah untuk melihat bagaimana kita dapat membentuk konsep-konsep benda yang dapat kita lihat - manusia atau objek material, seperti kursi, meja dan meja tulis. Tetapi kita juga membentuk konsep benda-benda yang abstrak dan tersamar, yang sama sekali tak dapat kita lihat, rasakan atau sentuh. Contohnya, pikirkanlah konsep yang kita miliki mengenai perang, atau kematian, atau persahabatan atau cinta. Dan, seperti yang telah saya jelaskan, kita juga membentuk konsep benda-benda yang tak pernah kita lihat, dan kemungkinan tidak bisa atau takkan pernah bisa kita lihat, dan mengenai orang-orang dan tempat-tempat yang kita buat sendiri. Kita mungkin memiliki konsep yang jelas mengenai, katakanlah, malaikat, mermaid, Tuhan, iblis, surga dan neraka, atau Middlemarch (kota provinsi fiksional didalam novel karya George Eliot) atau Elizabeth (protagonis didalam buku Jane Austen Pride and Prejudice)

Kita telah menyebut ini 'sistem representasi'. Hal ini dikarenakan proses ini terdiri bukan dari konsep tunggal, namun terdiri dari berbagai macam cara mengorganisasikan, mengelompokkan, mengatur dan mengklasifikasikan konsep-konsep, dan menetapkan relasi yang kompleks diantaranya. Contohnya, kita menggunakan konsep similaritas dan diferensial untuk menetapkan hubungan antara konsep-konsep atau membedakannya satu sama lain. Jadi, saya memiliki pemikiran bahwa dalam batas-batas tertentu, burung dapat disamakan dengan pesawat di langit, berdasarkan fakta bahwa mereka serupa karena keduanya dapat terbang - tetapi saya juga memiliki pemikiran dalam batas-batas tertentu pula bahwa mereka berbeda, karena yang satu adalah alami sedangkan yang satunya lagi adalah buatan manusia. Pencampuran dan pencocokan hubungan diantara konsep-konsep ini untuk membentuk pemikiran dan ide-ide kompleks dimungkinkan karena konsep yang kita miliki diatur kedalam sistem pengklasifikasian yang berbeda. Dalam contoh ini (Pesawat dan burung, red.), yang pertama didasarkan pada perbedaan diantara terbang/tidak terbang dan yang kedua didasarkan pada perbedaan antara alami/buatan manusia. Terdapat pula prinsip-prinsip organisasi semacam ini yang bekerja dalam seluruh sistem konseptual: contohnya, pengklasifikasian berdasarkan urutan - yang mengikuti konsep sebab akibat - apa menyebabkan apa - dan seterusnya. Intinya disini adalah kita sedang berbicara tidak hanya mengenai sekumpulan konsep yang acak, namun konsep-konsep yang diorganisasikan, diatur dan diklasifikasikan kedalam relasi-relasi kompleks yang berhubungan satu sama lain. Seperti itulah sebenarnya sistem konseptual kita. Meskipun demikian, hal ini tidak mengecilkan poin utamanya. Pemaknaan bergantung pada hubungan antara benda-benda yang ada di dunia ini - manusia, objek dan peristiwa, nyata atau fiksional - dan sistem konseptual, yang dapat beroperasi sebagai representasi mental dari objek-objek tersebut.

Sekarang bisa saja peta konsep yang saya miliki benar-benar berbeda dengan apa yang Anda miliki, dan dengan itu Anda dan saya akan menginterpretasikan dunia ini dengan cara yang benar-benar berbeda. Kita tidak akan mampu menyampaikan pemikiran atau mengekspresikan ide kita mengenai dunia ini kepada orang lain. Faktanya, masing-masing kita kemungkinan memahami dan menginterpretasikan dunia ini dalam cara yang unik dan individual. Meskipun demikian, kita dapat saling berkomunikasi karena kita memiliki peta konsep secara luas yang sama dan dengan itu dapat memahami atau menginterpretasikan dunia ini dengan cara yang sama secara umum. Inilah artinya 'kita memiliki kebudayaan yang sama.' Karena kita menginterpretasikan dunia dengan cara yang secara umum sama, kita mampu membangun sebuah kebudayaan makna yang sama dan mengkonstruksi dunia sosial yang kita diami bersama. Inilah mengapa 'kebudayaan' kadang-kadang diartikan sebagai 'peta konsep atau makna yang dimiliki bersama' (lihat du Gay, Hall et al., 1997).

Meskipun demikian, peta konsep yang dimiliki bersama saja tidak cukup. Kita juga harus mampu merepresentasikan atau mempertukarkan makna-makna dan konsep-konsep, dan kita hanya dapat melakukan hal itu ketika kita juga memiliki akses kepada bahasa yang dipahami bersama. Oleh karena itu, bahasa merupakan sistem representasi yang kedua yang terlibat didalam proses konstruksi makna secara keseluruhan. Peta konsep yang kita miliki bersama harus diterjemahkan kedalam bahasa yang dipahami bersama, jadi kita dapat mengkorelasikan konsep dan pemikiran kita dengan kata-kata tertulis, suara yang diucapkan atau gambar visual tertentu. Istilah umum yang kita gunakan untuk kata, suara atau gambar yang memiliki makna adalah tanda. Tanda-tanda ini berarti atau merepresentasikan konsep-konsep dan relasi konsep diantara tanda-tanda tersebut yang kita miliki didalam pikiran kita dan bersama-sama mereka membentuk sistem-makna didalam kebudayaan kita.

Tanda-tanda diorganisasikan kedalam bahasa-bahasa dan karena adanya bahasa yang dimiliki bersama, kita mampu menerjemahkan pemikiran (konsep) kita kedalam kata-kata, suara atau gambar, dan kemudian menggunakan tanda-tanda ini, yang bekerja sebagai sebuah bahasa, untuk mengekspresikan makna dan mengkomunikasikan pemikiran kita kepada orang lain. Ingatlah bahwa istilah 'bahasa' digunakan disini dalam pengertiannya yang luas dan inklusif. Sistem penulisan atau sistem pengucapan bahasa tertentu sudah jelas merupakan sebuah 'bahasa'. Tetapi demikian juga halnya dengan gambar visual, yang diproduksi dengan tangan, mesin, elektronik, digital atau cara-cara lain, ketika mereka digunakan untuk mengekspresikan sebuah makna. Dan begitu juga halnya dengan benda-benda lain yang tidak 'linguistik' dalam pengertian apapun: 'bahasa' ekspresi wajah atau gestur, contohnya, atau 'bahasa' fashion, pakaian, atau lampu merah. Bahkan musik adalah sebuah 'bahasa', dengan hubungan kompleks diantara suara-suara dan kord-kord yang berbeda, meskipun hal ini adalah kasus yang khusus karena musik tidak dapat dengan mudah digunakan untuk merujuk kepada objek atau benda aktual di dunia (poin yang kemudian dijelaskan dalam du Gay, ed., 1997, dan Mackay, ed., 1997). Setiap suara, kata, gambar atau objek yang berfungsi sebagai tanda, dan diorganisasikan dengan tanda-tanda lain didalam sebuah sistem yang mampu mengandung dan mengekspresikan makna adalah, dari sudut pandang ini, 'sebuah bahasa'. Dalam artian ini model pemaknaan yang saya analisis disini seringkali dideskripsikan sebagai 'model linguistik'; dan semua teori pemaknaan yang mengikuti model dasar ini dideskripsikan termasuk kedalam 'putaran linguistik' didalam studi sosial dan studi kebudayaan.

Di pusat proses pemaknaan dalam kebudayaan, terdapat dua 'sistem representasi' yang berhubungan. Yang pertama memudahkan kita untuk memberikan makna kepada dunia dengan mengkonstruksikan sekumpulan korespondensi atau rantai ekuivalensi diantara benda-benda - manusia, objek, peristiwa, ide-ide abstrak, dan lain sebagainya - dan sistem konsep kita, peta konseptual kita. Yang kedua bergantung kepada mengkonstruksikan sekumpulan korespondensi diantara peta konsep kita dan sekumpulan tanda, diatur atau diorganisasikan kedalam beragam bahasa yang mengartikan atau merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Relasi diantara 'benda', konsep dan tanda merupakan inti produksi makna didalam bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen itulah yang kita sebut 'representasi'.

1.2 Bahasa dan Representasi

Sama halnya dengan orang-orang yang memiliki kebudayaan yang sama berbagi peta konsep yang sama, jadi mereka juga harus memiliki cara yang sama dalam menginterpretasikan tanda-tanda bahasa, karena hanya dengan cara inilah makna dapat dipertukarkan diantara orang-orang. Tetapi bagaimana kita mengetahui konsep apa yang berarti benda apa? Atau kata apa yang secara efektif merepresentasikan konsep apa? Bagaimana saya tahu suara atau gambar apa yang akan mengandung, melalui bahasa, makna konsep yang ingin saya sampaikan dan apa yang ingin saya katakan kepada Anda? Hal ini mungkin relatif sederhana dalam bentuk tanda-tanda visual, karena gambar, lukisan, kamera atau gambar di TV mengenai seekor domba mengandung kemiripan dengan binatang dengan bulu seperti wol yang merumput di sebuah padang yang ingin saya rujuk. Bahkan, kita harus mengingatkan kepada diri kita sendiri bahwa versi digital atau gambar atau lukisan seekor domba bukanlah domba yang 'sebenarnya'. Karena satu hal, kebanyakan gambar terdiri dari dua dimensi sementara domba yang 'sebenarnya' ada didalam dunia tiga dimensi.
Tanda-tanda dan gambar visual, bahkan ketika mereka mengandung kemiripan dengan benda yang mereka rujuk, masih merupakan sebuah tanda: mereka mengandung makna dan oleh karena itu harus diinterpretasikan. Untuk menginterpretasikannya, kita harus memiliki akses kepada dua sistem representasi yang dibicarakan sebelumnya: kepada peta konsep yang mengkorelasikan domba di padang dengan konsep seekor 'domba'; dan sistem bahasa yang dalam bahasa visual, mengandund sejumlah kemiripan dengan benda aslinya atau 'terlihat seperti itu' dalam beberapa hal. Argumen ini paling mudah dipahami apabila kita memikirkan gambar kartun atau lukisan abstrak seekor 'domba' dimana kita memerlukan sistem konsep yang mutakhir dan sistem linguistik yang sama untuk yakin bahwa kita 'membaca' tanda itu dengan cara yang sama. Bahkan mungkin kita bisa membayangkan apakah gambar itu memang betul-betul merupakan gambar seekor domba. Seperti hubungan antara tanda dengan referennya menjadi lebih tidak jelas, makna mulai menjadi tidak jelas bagi kita. Makna tidak lagi disampaikan secara transparan dari satu orang ke orang lain ...

Jadi, bahkan dalam kasus bahasa visual, dimana hubungan antara konsep dan tanda terlihat begitu jelas, kenyataan sebenarnya jauh dari sederhana. Bahasa visual baahkan lebih sulit dipahami dibandingkan bahasa tertulis atau tertutur, dimana kata-kata tidak terlihat atau terdengar seperti benda-benda yang mereka rujuk. Hal ini sebagian disebabkan oleh adanya macam-macam tanda. Tanda visual disebut juga tanda ikonik. Tanda visual ini, mengandung, dalam bentuk aslinya, kemiripan yang pasti dengan objek, manusia atau peristiwa yang ingin mereka rujul. Foto sebuah pohon mereproduksi beberapa kondisi persepsi visual kita yang sebenarnya didalam tanda-tanda visual. Di sisi lain, tanda-tanda tertulis atau tertutur disebut juga tanda indeksikal. Mereka tidak mengandung kemiripan yang jelas dengan benda yang ingin dirujuknya. Huruf-huruf T,R,E,E sama sekali tidak terlihat seperti pohon di alam, atau juga kata 'tree' dalam bahasa Inggris sama sekali tidak berbunyi seperti pohon 'asli' (jika memang mereka benar-benar membuat suara!). Hubungan didalam sistem-sistem representasi ini diantara tanda, konsep dan objek yang mungkin mereka rujuk betul-betul merupakan sebuah bentuk arbitrer. Melalui 'arbitrer' maksud saya adalah pada prinsipnya setiap kumpulan huruf atau suara apapun dalam urutan apapun betul-betul akan dapat bekerja dengan baik. "Trees' tidak akan keberatan jika kita menggunakan kata SEERT - 'trees' ditulis terbalik - untuk merepresentasikan konsep mengenainya. Hal ini jelas terlihat dari sebuah fakta bahwa, dalam bahasa Prancis, huruf-huruf dan suara yang cukup berbeda digunakan untuk merujuk pada apa yang, dalam hal penampilan, adalah benda yang sama - pohon yang 'asli' - dan, sejauh yang saya tahu, juga pada konsep yang sama - tumbuhan besar yang tumbuh di alam. Bahasa Prancis dan bahasa Inggris sepertinya menggunakan konsep yang sama. Tetapi konsep yang didalam bahasa Inggris direpresentasikan dengan kata TREE direpresentasikan didalam bahasa Prancis dengan kata ARBRE.

1.3 Berbagi Kode-Kode

Pertanyaannya, kemudian, adalah: Bagaimana orang-orang yang tergabung didalam kebudayaan yang sama, yang memiliki peta konsep yang sama dan berbicara atau menulis bahasa yang sama (Bahasa Inggris) mengetahui kombinasi huruf dan bunyi arbitrer yang membentuk kata 'tree' akan berarti atau merepresentasikan konsep 'sebuah tumbuhan besar yang tumbuh di alam'? Satu kemungkinan adalah bahwa objek aslinya yang ada di dunia mengandung dan membenarkan, dalam beberapa hal, makna 'asli' mereka. Tetapi sama sekali tidak jelas apakah pohon aslinya mengetahui bahwa mereka adalah 'pohon' dan bahkan lebih tidak jelas lagi apakah mereka mengetahui bahwa kata didalam bahasa Inggris yang merepresentasikan konsep mengenai mereka ditulis sebagai TREE sedangkan didalam bahasa Prancis mereka ditulis sebagai ARBRE! Sejauh hal ini, bisa saja mereka ditulis sebagai COW atau VACHE atau bahkan XYZ. Maknanya bukan terkandung didalam objek atau manusia atau bendanya, tidak juga terdapat didalam katanya. Kitalah yang menetapkan makna itu secara mantap dan bahkan, setelah beberapa saat, hal itu terkesan alami dan tak dapat dihindari. Makna dikonstruksi oleh sistem representasi. Makna dikonstruksi dan diperbaiki oleh kode, yang menetapkan korelasi diantara sistem konsep kita dengan sistem bahasa kita dengan cara tertentu yang, setiap kita berpikir mengenai sebuah pohon, kode itu memberitahu kita untuk menggunakan kata Inggris TREE, atau kata Prancis ARBRE. Kode ini memberitahu kita bahwa, didalam kebudayaan kita - tepatnya, dalam kode konseptual dan bahasa kita - konsep 'tree' direpresentasikan dengan huruf-huruf T,R,E,E, diatur dalam urutan tertentu, seperti halnya dalam sandi Morse, tanda untuk V (Yang oleh Churchill dalam Perang Dunia Kedua 'diartikan' atau merepresentasikan 'Kemenangan') adalah Titik, Titik, Titik, Strip, dan didalam 'bahasa lampu merah', Hijau = Jalan! dan Merah = Berhenti!
Satu cara berpikir mengenai 'kebudayaan', kemudian, adalah dalam artian peta-peta konsep yang sama, sistem bahasa yang sama, dan kode-kode yang mengatur hubungan penerjemahan diantaranya. Kode-kode memperbaiki hubungan diantara konsep dan tanda. Mereka menstabilkan makna didalam bahasa-bahasa dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Mereka memberitahu kita bahasa apa yang harus digunakan untuk menyampaikan ide-ide tertentu. Kebalikannya juga dapat berlaku. Kode-kode memberitahu kita konsep apa yang sedang dirujuk ketika kita membaca atau mendengar tanda-tanda tertentu. Dengan menetapkan hubungan diantara sistem konseptual kita dan sistem linguistik kita secara arbitrer (ingatlah, 'linguistik' didalam artian luas), kode-kode memungkinkan kita berbicara dan mendengar yang dapat dipahami, dan menetapkan kemudahan penterjemahan diantara konsep kita dan bahasa kita yang memungkinkan makna disampaikan dari penutur kepada pendengar dan dikomunikasikan secara efektif didalam sebuah kebudayaan. Kemudahan penerjemahan ini tidak diperoleh secara alamiah ataupun ditetapkan oleh Tuhan. Kemudahan penerjemahan ini adalah hasil dari sekumpulan konvensi sosial. Hal ini ditetapkan secara sosial, ditetapkan dalam kebudayaan. Penutur bahasa Inggris atau Prancis atau Hindi telah, seiring berjalannya waktu, dan tanpa keputusan atau pilihan yang dibuat secara sadar, menyepakati sebuah kesepakatan yang tidak tertulis, semacam perjanjian kebudayaan tertulis yang, dalam bahasa mereka yang beragam, tanda tertentu akan berarti atau merepresentasikan konsep-konsep tertentu. Ini adalah hal yang dipelajari anak-anak, dan bagaimana mereka mendapatkannya, sehingga mereka tidak hanya menjadi sebuah entitas biologis, namun juga subjek kebudayaan. Mereka mempelajari sistem dan konvensi tentang representasi, kode bahasa dan kebudayaan mereka, yang melengkapi mereka dengan 'pengetahuan praktis' kebudayaan yang memampukan mereka untuk berfungsi sebagai subjek yang kompeten secara budaya. Tidak karena pengetahuan semacam itu tertanam didalam gen mereka, tetapi karena mereka mempelajari konvensinya dan perlahan-lahan menjadi 'manusia yang berbudaya' - dengan kata lain, anggota dari kebudayaan mereka masing-masing. Mereka secara tidak sadar menginternalisasi kode-kode yang membantu mereka mengekspresikan konsep-konsep  dan ide-ide tertentu melalui sistem representasi mereka - tulisan, tuturan, gestur, visualisasi, dan lain-lain - dan untuk menginterpretasikan ide-ide yang dikomunikasikan kepada mereka menggunakan sistem yang sama.

Anda mungkin merasa lebih mudah untuk mengerti, sekarang, mengapa makna, bahasa dan representasi merupakan elemen yang sangat penting dalam studi kebudayaan. Termasuk dalam sebuah kebudayaan berarti termasuk pula dalam tataran konsep dan linguistik yang sama, mengetahui bagaimana konsep dan ide-ide diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa yang berbeda, dan bagaimana bahasa dapat diinterpretasikan untuk merujuk atau mereferensikan dunia. Berbagi hal-hal ini berarti memandang dunia dengan peta konsep yang sama dan memahaminya melalui sistem bahasa yang sama. Antropolog bahasa awal, seperti Sapir dan Whorf, membawa pandangan ini kedalam logika dalam bentuknya yang ekstrim ketika mereka berpendapat bahwa kita semua, seperti yang telah terjadi, terkurung didalam perspektif kebudayaan kita sendiri atau 'pola-pikir', dan bahwa bahasa adalah petunjuk terbaik yang kita miliki mengenai tataran konseptual. Pengamatan ini, ketika diterapkan kepada semua aspek kebudayaan manusia, terletak pada dasar dari apa, yang pada hari ini, kita pikirkan sebagai relativisme kebudayaan atau linguistik.

     AKTIVITAS II

      Anda mungkin ingin berpikir lebih jauh mengenai pertanyaan bagaimana kebudayaan-kebudayaan yang berbeda mengklasifikasikan dunia secara konseptual dan implikasi apa yang ditimbulkannya untuk pemaknaan dan representasi.

     Bahasa Inggris hanya membedakan secara sederhana diantara 'sleet' dan 'snow' (salju, Red.). Orang Inuit (Eskimo) yang harus bertahan hidup didalam iklim yang sangat berbeda, lebih ekstrem dan tidak bersahabat, tampaknya memiliki lebih banyak kata untuk salju dan cuaca bersalju. Perhatikan daftar istilah bahasa Inuit untuk salju dari Institut Riset Kutub Scott di Tabel 1.1. Terdapat lebih banyak istilah daripada didalam bahasa Inggris, yang menghasilkan pembedaan yang jauh lebih jelas dan lebih kompleks. Bahasa Inuit memiliki sistem klasifikasi konsep yang kompleks untuk cuaca dibandingkan dengan bahasa Inggris. Novelis Peter Hoeg, contohnya, menulis mengenai Greenland dalam novelnya, Miss Smilla's Feeling For Snow (1994, pp. 5-6), secara grafis mendeskripsikan 'es frazzil' yang 'diremas bersama dengan es lembek mirip sabun yang disebut es bubur, yang secara bertahap membentuk lempengan-lempengan yang mengapung bebas, es pancake, yang pada tengah hari, pada hari Minggu, membeku menjadi satu lembaran padat. Pembedaan semacam ini terlalu jelas dan menjelaskan bahkan bagi orang Inggris yang selalu berbicara tentang cuaca! Pertanyaannya, adalah - apakah orang Inuit sebenarnya memiliki salju yang berbeda dengan orang Inggris? Sistem bahasa mereka menunjukkan bahwa mereka mengkonsepkan cuaca secara berbeda. Tetapi sejauh apakah pengalaman kita sebetulnya diikat oleh tataran linguistik dan konseptual kita?

Tabel 1.1 Istilah Inuit untuk Salju dan Es

Salju
Salju yang bertiup - piqtuluk
Sedang badai salju - piqtuluktuq
Salju yang turun - qanik
Salju sedang turun; sedang bersalju - qaniktuq
Salju yang turun dengan pelan - qaniaraq
Salju yang turun dengan pelan sedang turun - qaniaraqtuq
Lapisan pertama salju di musim gugur - apilraun
Salju lembut yang dalam - mauya
Salju yang dikemas untuk membuat air - aniu
Salju yang lembut - aquluraq
Salju yang seperti gula - pukak
Salju yang didalamnya berair - masak
Salju sedang berubah menjadi masak - masaguqtuaq
Salju yang berair - maqayak
Salju yang basah - misak
Salju basah yang turun - qanikkuk
Salju basah sedang turun - qanikkuktuq
Salju yang meluncur sepanjang sebuah permukaan - natiruvik
Salju yang sedang meluncur sepanjang sebuah permukaan - natiruviktuaq
Salju yang tergeletak diatas sebuah permukaan - apun
Butiran salju - qanik
Sedang diluncurkan bersama dengan salju - apiyuaq

Es
Lempengan es, es pecah - siqumniq
Air es - immiugaq
Es yang mencair untuk membuat air - immiuqtuaq
Es lilin - illauyiniq
Es rata - qairniq
Es yang berkilau - quasaq
Es yang bertumpuk - ivunrit
Es yang kasar - ivvuit
Es yang ada di pantai - tugiu
Es yang hampir ada di pantai - tuvaq
Es yang berlumpur - quna
Es yang baru terbentuk - sikuliaq
 
Satu implikasi dari argumen mengenai kode-kode kebudayaan adalah, jika makna adalah sebuah hasil, bukan dari sesuatu yang sudah ditetapkan, secara alami, tetapi dari konvensi sosial, kebudayaan dan linguistik, berarti makna tidak akan pernah bisa ditetapkan. Kita bisa saja ‘setuju’ untuk membuat kata-kata mengandung makna yang berbeda – seperti contohnya, dengan kata ‘gay’, atau penggunaan, oleh orang muda, kata ‘sial!’ sebagai tanda persetujuan. Tentu saja, pasti ada beberapa penetapan makna dalam bahasa, atau kita takkan pernah memahami satu sama lain. Kita tidak bisa bangun suatu pagi dan tiba-tiba memutuskan untuk merepresentasikan konsep ‘pohon’ dengan huruf atau kata VYXZ, dan mengharapkan orang untuk mengikuti apa yang kita katakan. Di sisi lain, tidak ada penetapan yang absolut dan final untuk makna. Konvensi sosial dan linguistik berubah dari waktu ke waktu. Didalam bahasa manajerial modern, apa yang sebelumnya kita sebut ‘pelajar’, ‘klien’, ‘pasien’ dan ‘penumpang’ semuanya telah berubah menjadi ‘pelanggan’. Kode-kode linguistik beragam secara signifikan diantara satu bahasa dan lainnya. Banyak kebudayaan tidak memiliki kata-kata untuk merepresentasikan konsep-konsep yang normal dan diterima secara luas oleh kita. Kata-kata secara berkala keluar dari penggunaan umumnya, dan frase-frase baru diproduksi: pikirkanlah, contohnya, penggunaan kata ‘pengecilan ukuran’ untuk merepresentasikan proses sebuah perusahaan yang memecat para karyawannya. Bahkan ketika makna kata-kata dasarnya tetap stabil, konotasinya bergeser atau mendapatkan artian yang baru. Masalah ini khususnya penting dalam penerjemahan. Contohnya, apakah perbedaan dalam bahasa Inggris diantara tahu dan mengerti merespon secara tepat dan menangkap perbedaan konsep seperti bahasa Prancis melakukannya dalam kata savoir dan connaitre? Mungkin; tetapi yakinkah kita?

Poin utamanya adalah makna tidak terkandung dalam benda-benda, didalam dunia. Makna itu dikonstruksi, diproduksi. Makna adalah hasil tindakan penandaan – tindakan yang memproduksi makna, yang mengartikan benda-benda.

1.4 Teori Representasi

Secara luas, terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi makna bekerja melalui bahasa. Kita bisa menyebut pendekatan-pendekatan ini sebagai pendekatan reflektif, intensional dan konstruksionis atau konstruktivis. Anda dapat menganggap masing-masing pendekatan ini adalah jawaban dari pertanyaan, ‘dari manakah asalnya makna?’ dan ‘bagaimana kita bisa mengatakan makna ‘asli’ dari sebuah kata dan gambar?’

Dalam pendekatan reflektif, makna dianggap terletak didalam objek, manusia, ide, atau peristiwa dalam dunia nyata, dan bahasa berfungsi sebagai cermin, untuk merefleksikan makna sebenarnya sebagaimana adanya di dunia nyata. Seperti yang pernah dikatakan penyair Gertrude Stein, ‘Sebuah mawar adalah sebuah mawar adalah sebuah mawar’. Dalam abad keempat sebelum Masehi, bangsa Yunani menggunakan istilah mimesis untuk menjelaskan bagaimana bahasa, bahkan gambar dan lukisan, mencerminkan atau mengimitasi Alam; mereka menganggap puisi Homer yang hebat, Iliad, ‘mengimitasi’ serangkaian peristiwa yang heroik. Demikian halnya dengan teori yang mengatakan bahwa bahasa bekerja hanya dengan merefleksikan atau mengimitasi kebenaran yang telah ada di sana dan ditetapkan di dunia nyata, terkadang disebut ‘mimetis’.

Tentu saja terdapat kebenaran-kebenaran tertentu yang jelas mengenai teori mimetis dalam representasi dan bahasa. Seperti yang telah saya tunjukkan, tanda-tanda visual memang mengandung hubungan dengan bentuk dan tekstur objek yang mereka representasikan. Tetapi, seperti yang telah dijelaskan juga sebelumnya, gambar visual dua dimensi sebuah mawar adalah sebuah tanda – tanda tidak boleh disamakan dengan tanaman aslinya yang berduri dan bunganya yang mekar di taman. Ingatlah juga bahwa terdapat banyak kata, gambar dan suara yang betul-betul kita pahami namun sebenarnya murni fiksional atau fantasi dan merujuk kepada dunia yang sepenuhnya imajiner – termasuk, banyak orang sekarang menganggap, sebagian besar isi Iliad! Tentu saja, saya dapat menggunakan kata 'mawar' untuk merujuk pada tanaman asli dan nyata yang tumbuh di taman, seperti kita telah pahami sebelumnya. Tetapi, hal ini dapat terjadi dikarenakan saya mengetahui kode yang menghubungkan konsep dengan kata atau gambar tertentu. Saya tidak dapat berpikir atau berbicara atau menggambar dengan mawar yang sebenarnya. Dan jika seseorang berkata kepada saya bahwa tidak ada kata seperti 'mawar' untuk menyebut tanaman didalam kebudayaannya, tanaman aslinya yang ada di taman tidak dapat memecahkan kegagalan komunikasi diantara kita. Didalam konvensi tentang kode-kode bahasa yang berbeda, kita semua benar - dan untuk dapat memahami satu sama lain, salah satu dari kita harus mempelajari kode yang menghubungkan bunga mawar dengan kata yang merujuk padanya dalam kebudayaan bangsa lain.

Pendekatan kedua untuk mempelajari makna didalam representasi mengedepankan contoh kebalikannya. Pendekatan ini menekankan bahwa penuturlah, atau penulis, yang menekankan maksudnya yang unik kepada dunia melalui bahasa. Kata-kata berarti apa yang dituliskan penulisnya harus dimaknai sebagaimana yang dimaksudkan. Ini disebut pendekatan intensional. Tentu saja, terdapat beberapa kelebihan dalam argumen ini karena kita semua, sebagai individu, memang menggunakan bahasa untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan hal-hal yang spesial atau unik untuk kita, sebagai cara kita memandang dunia. Meskipun demikian, sebagai teori representasi melalui bahasa yang umum, pendekatan intensional juga memiliki kekurangan. Kita tidak dapat menjadi satu-satunya sumber makna dalam bahasa, karena itu berarti kita hanya dapat mengekspresikan diri kita dengan bahasa yang sepenuhnya personal. Tetapi esensi bahasa adalah komunikasi dan hal itu, pada gilirannya, bergantung kepada konvensi linguistik yang disepakati bersama dan kode-kode yang dimiliki bersama. Bahasa takkan pernah dapat menjadi persoalan yang sepenuhnya persoal. Makna-makna yang kita maksudkan secara personal, seberapapun personalnya bagi kita, harus mengikuti aturan, kode dan konvensi bahasa untuk dapat dipahami dan dimengerti. Bahasa adalah sistem sosial, lagi dan lagi. Hal ini berarti bahwa pemikiran pribadi kita harus bernegosiasi dengan makna-makna kata atau gambar yang telah tersimpan didalam bahasa dimana penggunaan sistem bahasa kita tak terelakkan akan segera berlaku.

Pendekatan ketiga mengakui karakter bahasa yang umum dan sosialis. Pendekatan ini mengakui bahwa benda-benda ataupun pengguna bahasa secara individual tidak dapat menetapkan makna didalam bahasa. Hal ini artinya: kita mengkonstruksi makna, menggunakan sistem representasi - konsep dan tanda. Oleh karena itu, pendekatan ini disebut pendekatan konstruksionis atau konstruktivis terhadap makna bahasa. Berdasarkan pendekatan ini, kita tidak boleh mencampurkan dunia material, dimana benda-benda dan manusia berada, dengan tindakan dan proses simbolis yang melaluinya makna dan bahasa beroperasi. Teoris konstruktivis tidak menyangkal adanya dunia material. Meskipun demikian, bukanlah dunia material yang memunculkan makna: yang memunculkan makna adalah adalah sistem bahasa atau sistem apapun yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep-konsep kita. Aktor sosiallah yang menggunakan sistem konseptual dalam sistem kebudayaan, linguistik, dan sistem-sistem lainnya, untuk membuat dunia ini memiliki makna dan untuk mengkomunikasikan mengenai dunia secara penuh arti kepada orang lain.

Tentu saja, tanda juga mungkin memiliki dimensi material. Sistem representasi terdiri dari bunyi-bunyi aktual yang kita buat dengan pita suara kita, gambar yang kita buat pada kertas yang sensitif terhadap cahaya, impuls digital yang kita pancarkan secara elektronis, tanda yang kita buat dengan cat pada kanvas. Representasi adalah sebuah tindakan, semacam 'pekerjaan', yang menggunakan objek-objek dan efek material. Tetapi makna bergantung, bukan kepada kualitas material tandanya, namun pada fungsi simbolisnya. Hal ini dikarenakan kata atau suara tertentu berarti, melambangkan atau merepresentasikan sebuah konsep yang dapat berfungsi, dalam bahasa, sebagai tanda dan memberikan makna - atau, seperti, yang dikatakan teoris kontruksionis - menandakan (me-nan-da-kan).

1.5 Bahasa lampu merah

Contoh paling sederhana dari poin ini, yang sangat penting dalam memahami bagaimana bahasa berfungsi sebagai sistem representasi, adalah contoh lampu merah yang terkenal. Sebuah lampu merah adalah sebuah mesin yang memproduksi warna-warna berbeda dalam urutan tertentu. Efek cahaya dengan panjang gelombang berbeda pada mata kita - yang merupakan fenomena alami dan material - memproduksi sensasi warna-warna yang berbeda. Sekarang hal-hal ini tak diragukan lagi memang ada dalam dunia material. Namun kebudayaan kitalah yang memecah spektrum cahaya tersebut kedalam warna-warna yang berbeda, membedakannya satu sama lain dan memberinya nama - Merah, Hijau, Kuning, Biru - kepada mereka. Kita menggunakan cara untuk mengklasifikasikan spektrum warna untuk menciptakan warna yang berbeda satu sama lain. Kita merepresentasikan atau melambangkan warna-warna yang berbeda dan mengklasifikasikannya menurut konsep warna yang berbeda. Lebih lanjut, mereka betul-betul menggunakan kata atau huruf aktual untuk mengidentifikasi warna-warna yang berbeda: apa yang kita sebut 'red', orang Prancis menyebutnya 'rouge' dan seterusnya. Ini adalah kode linguistik - kode yang mengkorelasikan kata-kata (tanda) tertentu dengan warna-warna (konsep) tertentu, dan kemudian memampukan kita untuk mengkomunikasikan warna kepada orang lain, menggunakan 'bahasa warna'.

Tetapi bagaimana kita menggunakan sistem representasi atau simbolis untuk mengatur lalu lintas? Warna-warna tidak memiliki arti yang ditetapkan atau 'asli' dalam artian itu. Merah tidak berarti 'berhenti' secara alamiah, begitu halnya dengan Hijau berarti 'jalan'. Dalam keadaan lain, Merah dapat berarti, melambangkan atau merepresentasikan 'darah' atau 'bahaya' atau 'Komunisme'; dan Hijau dapat merepresentasikan 'Irlandia' atau 'pedesaan' atau 'Environmentalisme'. Bahkan makna-makna ini dapat berganti. Didalam 'bahasa steker', Merah pernah berarti 'aliran positif', tetapi warna ini secara arbitrer dan tanpa penjelasan diubah menjadi Coklat! Tetapi kemudian selama bertahun-tahun produsen steker harus menyertakan secarik kertas yang menginformasikan bahwa kode atau konvensinya telah berubah, jika tidak begitu bagaimana mereka akan tahu? Merah dan Hijau bekerja dalam bahasa lampu merah karena 'Berhenti!' dan 'Jalan' adalah arti-arti yang telah ditetapkan kepada warna-warna itu didalam kebudayaan kita oleh kode atau konvensi yang mengatur bahasa ini, dan kode ini secara luas dikenal dan hampir secara umum diikuti dalam kebudayaan kita dan kebudayaan yang menyerupainya - meskipun kita dapat saja membayangkan kebudayaan lainnya yang tidak memiliki kode ini, dimana bahasa ini akan menjadi misteri seutuhnya.

 Tetaplah mengikuti contoh ini, untuk mempelajari lebih jauh bagimana, berdasarkan pendekatan konstruksionis terhadap representasi, warna dan 'bahasa lampu merah' bekerja sebagai sistem penanda atau representasi. Ingatlah dua sistem representasi yang telah kita bicarakan sebelumnya. Pertama, terdapat peta konsep warna dalam kebudayaan kita - cara warna-warna dibedakan satu sama lain, diklasifikasikan dan diatur didalam tataran mental kita. Kedua, terdapat cara-cara kata atau gambar berkorelasi dengan bahasa kita - kode-warna linguistik kita. Sebenarnya, tentu saja, bahasa warna terdiri dari lebih dari sekedar kata-kata individu untuk poin-poin yang berbeda didalam spektrum warna. Bahasa warna juga bergantung kepada bagaimana mereka berfungsi dalam hubungannya satu sama lain - hal-hal yang diatur oleh gramatika dan sintaksis dalam bahasa tertulis atau tertutur, yang memampukan kita untuk mengekspresikan ide-ide yang kompleks. Didalam bahasa lampu merah, adalah urutan dan posisi warna-warna tersebut, dan juga warna itu sendiri, yang memampukan kita untuk mengandung makna dan kemudian berfungsi seperti yang ditandakan.

Apakah penting warna yang kita gunakan? Tidak, menurut para teoris konstruksionis. Hal ini dikarenakan warna-warna itu bukanlah tanda namun fakta (a) bahwa mereka berbeda dan dapat dibedakan satu sama lain; dan fakta (b) bahwa mereka diorganisasikan kedalam urutan-urutan tertentu - Merah diikuti oleh Hijau, terkadang diantaranya terdapat lampu Kuning yang berarti 'siap-siap! lampu akan segera berubah.' Teoris konstruksionis menekankan pentingnya poin ini dalam cara-cara berikut. Segala yang memiliki tanda, segala yang mengandung makna - menurut mereka - bukanlah warnanya atau bahkan konsep atau katanya. Penandanya adalah perbedaan antara Merah dan Hijau. Pada umumnya, hal ini merupakan prinsip yang sangat penting, mengenai representasi dan pemaknaan, dan kita akan harus kembali ke pernyataan ini lebih dari satu kali dalam membaca bagian-bagian berikutnya. Pikirkan dalam artian ini. Jika Anda tidak dapat membedakan antara Merah dan Hijau, Anda tidak dapat menggunakannya untuk mengartikan yang satu sebagai 'Berhenti' dan yang lain sebagai 'Jalan'. Dalam cara yang sama, hanyalah perbedaan antara huruf P dan T yang memampukan kata SHEEP untuk dihubungkan, dalam kode bahasa Inggris, kepada konsep 'seekor hewan dengan empat kaki dan bulu yang seperti wol', dan kata SHEET kepada 'benda yang kita gunakan untuk menutupi diri kita di tempat tidur pada malam hari'.

Pada prinsipnya, setiap kombinasi warna - seperti setiap kumpulan huruf didalam bahasa tertulis atau suara didalam bahasa tertutur - akan berarti sama, karena mereka cukup berbeda sehingga tidak akan tertukar. Teoris konstruksionis mengekspresikan ide ini dengan mengatakan bahwa segala tanda sifatnya 'arbitrer'. 'Arbitrer' berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang alami diantara tanda dan maknanya atau konsepnya. Karena Merah hanya berarti 'Berhenti', hal itu hanyalah cara kerja kodenya, pada prinsipnya semua warna akan sama saja, termasuk Hijau. Kodelah yang menetapkan makna, bukan warnanya sendiri. Hal ini juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap teori representasi dan pemaknaan didalam ilmu bahasa. Adanya kode berarti tanda-tanda sendiri tidak bisa menetapkan makna. Sebaliknya, makna tergantung pada hubungan antara tanda dan konsep yang ditetapkan melalui kode. Menurut teoris konstruksionis, makna sifatnya 'relasional'.

     AKTIVITAS III

    Mengapa tidak menguji poin mengenai sifat tanda yang arbitrer dan pentingnya kode tersebut bagi diri Anda sendiri? Buatlah sebuah kode untuk mengatur pergerakan lalu-lintas menggunakan dua warna berbeda - Kuning dan Biru - sebagaimana dalam perintah berikut ini:

     Ketika lampu kuning menyala...

     Sekarang tambahkan instruksi yang memperbolehkan pejalan kaki dan pesepeda untuk menyeberang, gunakanlah lampu pink.

Kode-kode tersebut memberitahukan kepada kita dengan jelas bagaimana cara membaca atau menginterpretasi masing-masing warna, dan setiap orang setuju untuk menginterpretasikannya seperti itu, warna apapun bisa saja digunakan. Warna hanyalah warna, seperti kata SHEEP hanyalah kumpulan huruf. Dalam bahasa Prancis, hewan yang sama dirujuk menggunakan tanda linguistik yang sama sekali berbeda: MOUTON. Tanda sifatnya arbitrer. Artinya yang ditetapkan oleh kode-kode.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, lampu merah adalah mesin, dan warna-warna adalah efek material dari gelombang cahaya pada retina mata. Tetapi objek - benda-benda - juga dapat berfungsi sebagai tanda, karena mereka telah mendapatkan konsep dan makna didalam kode-kode kebudayaan dan linguistik kita. Sebagai tanda, mereka bekerja secara simbolis - mereka merepresentasikan konsep, dan menandai. Meskipun demikian, efeknya terasa didalam dunia sosial dan material. Merah dan Hijau berfungsi didalam bahasa lampu merah sebagai tanda, tetapi mereka juga memiliki efek material dan sosial yang nyata. Mereka mengatur perilaku sosial para pengemudi dan, tanpanya, akan ada banyak kecelakaan pada persimpangan jalan.

1.6 Kesimpulan

Kita telah membahas mengenai sifat representasi. Waktunya untuk merangkum apa yang telah kita pelajari mengenai pendekatan konstruksionis didalam representasi melalui bahasa.

Representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Didalam representasi, menurut teoris konstruksionis, kita menggunakan tanda-tanda, diatur kedalam berbagai macam bahasa, untuk berkomunikasi dengan penuh makna kepada orang lain. Bahasa juga menggunakan tanda untuk melambangkan, mengartikan atau merujuk pada sebuah objek, manusia dan peristiwa didalam apa yang disebut dunia 'nyata'. Tetapi mereka juga dapat merujuk kepada benda-benda imajiner dan dunia fantasi atau ide-ide abstrak yang sama sekali bukan bagian dari dunia material kita. Tidak ada hubungan yang sederhana dalam refleksi, imitasi atau korespondensi satu-banding-satu diantara bahasa dan dunia nyata. Dunia tidak dapat secara akurat direfleksikan didalam cermin bahasa. Bahasa tidak bekerja seperti cermin. Makna diproduksi didalam bahasa, didalam dan melalui sistem-sistem representasi yang beragam yang, demi kemudahan, kita sebut 'bahasa'. Makna diproduksi oleh tindakan, 'pekerjaan' representasi. Makna dikonstruksi melalui penandaan - dengan kata lain, tindakan produksi-makna.

Bagaimana hal ini dapat terjadi? Faktanya, tindakan pemaknaan tergantung kepada dua sistem representasi yang berbeda namun berhubungan. Pertama, konsep yang terbentuk didalam fungsi pikiran sebagai sebuah sistem representasi mental yang mengklasifikasikan dan mengorganisasikan dunia kedalam kategori-kategori yang bermakna. Jika kita memiliki konsep tentang sesuatu, kita bisa berkata kita mengetahui 'makna'nya. Tetapi kita tidak dapat mengkomunikasikan makna ini tanpa sistem representasi yang keda, sebuah bahasa. Bahasa terdiri dari tanda-tanda yang diorganisasikan kedalam hubungan-hubungan yang beragam. Namun tanda hanya dapat memberi makna jika kita memiliki kode-kode yang memampukan kita menerjemahkan konsep-konsep kita kedalam sebuah bahasa - dan sebaliknya. Kode-kode ini sangat penting untuk pemaknaan dan representasi. Mereka tidak muncul secara alami namun merupakan hasil konvensi-konvensi sosial. Mereka adalah bagian yang sangat penting dari kebudayaan kita - 'peta makna' yang kita miliki bersama - yang kita pelajari dan secara tidak sadar diinternalisasi ketika kita menjadi anggota-anggota kebudayaan kita masing-masing. Pendekatan konstruksionis terhadap bahasa inilah yang mengenalkan medan kehidupan kita secara simbolis, dimana kata-kata dan benda-benda berfungsi sebagai tanda-tanda, kedalam pusat kehidupan sosial itu sendiri.

     AKTIVITAS IV

     Semua ini tampaknya cukup abstrak. Tetapi kita dapat dengan mudah menunjukkan relevansinya dengan sebuah contoh didalam lukisan.

     Perhatikanlah lukisan benda mati oleh pelukis Spanyol, Juan Sanchez Cotan (1521-1627), berjudul Quince, Kol, Melon, dan Ketimun (Gambar 1.3). Sepertinya sang pelukis telah berusaha keras untuk menggunakan 'bahasa lukisan' secara akurat untuk merefleksikan keempat objek ini, untuk menangkap atau 'mengimitasi Alam'. Apakah ini contoh dari bentuk representasi reflektif atau mimetik - sebuah lukisan yang merefleksikan 'makna sebenarnya' dari apa yang telah ada di dapurnya Cotan? Atau dapatkah kita memahami cara kerja kode-kode tertentu, bahasa lukisan yang digunakan untuk memproduksi makna-makna tertentu? Dimulai dengan pertanyaan, apakah artinya lukisan itu bagi Anda? Apa yang coba 'dikatakan' lukisan itu? Kemudian bertanyala, bagaimana cara lukisan itu 'mengatakan'nya - bagaimana cara kerja representasi didalam lukisan ini?

     Tuliskan segala pemikiran yang muncul dalam benak Anda ketika melihat lukisan itu. Apa yang dikatakan objek-objek itu kepada Anda? Makna apa yang mereka munculkan?

BACAAN A

Sekarang bacalah bagian yang telah disunting dari analisis lukisan benda mati oleh kritikus seni dan teoris, Norman Bryson, dimasukkan sebagai Bacaan A pada akhir bagian ini. Tidak perlu khawatir, pada tahap ini, jika bahasanya terlihat sedikit sulit dan Anda tidak mengerti semua istilah yang ada. Ambillah poin utama mengenai cara kerja representasi didalam lukisan, menurut Bryson.

Bryson sama sekali bukan satu-satunya kritikus lukisan Cotan, dan tentu saja tidak memberikan satu-satunya interpretasi yang 'tepat' tentangnya. Bukan itu permasalahannya. Maksud dari contoh ini adalah bahwa dia membantu kita untuk melihat bagaimana, bahkan dalam lukisan benda mati, 'Bahasa lukisan'  tidak semata-mata berfungsi untuk merefleksikan atau mengimitasi makna yang telah ada secara alamiah, namun untuk memproduksi makna. Tindakan melukis adalah tindakan penandaan. Camkanlah, secara khusus, apa yang dikatakan Bryson mengenai poin-poin berikut ini:

     1. Cara lukisan itu mengundang Anda, para pemandang, untuk melihat - apa yang dia sebut sebagai 'cara melihat'; dalam beberapa hal, fungsi bahasa adalah untuk menempatkan Anda, para pemandang, dalam relasi tertentu dengan makna lukisannya.

     2. Hubungan dengan makanan yang terdapat dalam lukisan tersebut.

     3. Bagaimana, menurut Bryson, 'Bentuk matematis' digunakan oleh Cotan untuk mendistorsi lukisan tersebut untuk memunculkan makna tertentu. Mungkinkah makna yang terdistorsi didalam lukisan benar-benar 'ada'?

     4. Makna perbedaan antara ruang 'ciptaan' dan 'geometris': bahasa lukisan menciptakan ruangnya sendiri.

Jika diperlukan, bacalah lagi bagian tersebut, pahamilah poin-poin ini secara spesifik.