Friday, December 05, 2014

Cerpen: Di Seberang Peron

Di Seberang Peron



     Matahari belum lagi naik ke puncak kepala ketika para penumpang mulai memenuhi pelataran peron. Seperti hari-hari yang lain, aku, Jan van Straten, seorang kepala stasiun kecil yang terletak di pinggiran Batavia, bertugas memastikan semua berjalan baik-baik saja dan para penumpang dapat sampai ke tujuannya masing-masing. Mataku menyapu ke sekeliling lautan manusia yang berdesak-desakan, dengan berbagai keperluannya masing-masing, terus-menerus tanpa henti bagai sungai yang mengalir pelan. Saat itulah mataku terpaku pada sosok seorang wanita muda, mungkin berusia akhir belasan, di seberang peron tempat aku berdiri sekarang. Wanita itu tidak terlalu mencolok sebagaimana kawan-kawan sebangsanya yang lain. Kulit sawo matang dengan rambut sepunggung yang digerai, memunculkan kesan alami. Selain itu, ia mengenakan kebaya dengan kain panjang. Namun apabila kuperhatikan lebih jauh lagi, ada sesuatu yang ganjil dari sosoknya. Matanya. Matanya menyorot nanar ke arah peron seberangnya, seakan ada dendam yang tersirat dari tatap matanya. Untuk seorang perempuan, dapat kukatakan bahwa sorot mata itu sama sekali tidak wajar. Tatap yang sama yang pernah kusaksikan di mata para janda-janda Aceh yang suaminya dibantai oleh pasukan Jenderal Kohler beberapa waktu yang lalu.

     Ya! Aku ada di sana, di antara desingan peluru dan mesiu yang memekakkan telinga dan menyilaukan mata, ketika pasukan Nederland dengan senapan dan meriam lengkap berhadapan dengan laskar Aceh yang kebanyakan hanya bersenjatakan rencong dan parang, dan dalam waktu singkat ribuan jasad tumpang-tindih bergelimpangan di hadapan kami. Beberapa jam setelah pertempuran itu, aku dan batalionku memasuki desa kecil asal para laskar itu. Disanalah kulihat tatapan-tatapan itu. Tatapan nanar bercampur dendam, benci, dan entah apa lagi yang bisa kubayangkan. Saat itu, aku berharap dalam hati, semoga takkan pernah kujumpai lagi pemandangan semacam ini. Namun hari ini, di peron yang semakin panas terbakar matahari siang, diluar keinginanku, kutemui lagi pandangan itu.

     Keberadaanku di stasiun ini pun bukannya tanpa alasan. Seusai perang yang melelahkan di ujung Sumatra itu, batalionku dikirim pulang ke Batavia, dan pada Markas Besar KNIL kukirimkan surat keberatan atas apa yang terjadi di Aceh. Beberapa orang di sana tampaknya tak senang dengan pendapatku, dan jadilah aku diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas militer dan ditempatkan di stasiun yang panas dan berdebu ini.

    Kucoba membuyarkan lamunan yang dari tadi merasuki pikiranku ketika tiba-tiba terdengar keributan. Mijn God! Tepat di depan mataku, kulihat perempuan tadi sudah tergeletak di tengah rel dengan darah segar mengalir di kepalanya. Sementara, dari arah timur sudah terdengar bunyi mesin lokomotif yang semakin lama semakin santer terdengar. Astaga, ini sama sekali tidak baik. Dengan segala tenaga yang kumiliki kuhempaskan diriku ke bawah dan mencoba mengangkat tubuh perempuan itu. Dari jarak dekat ternyata sosoknya tidak selusuh yang kukira. Kuangkat tubuhnya dan kuletakkan ke atas bahuku. Dengan segenap tenaga yang tersisa kularikan langkah menuju pinggir rel, jauh dari kereta yang beberapa detik lagi akan melintas. Syukurlah bahwa perempuan itu berhasil kuselamatkan, hanya di peron orang-orang sudah menyemut, membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi apabila kami tak sempat menyingkir dari rel.

     Kubopong tubuhnya dengan perlahan ke kantor kepala stasiun. Perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih dan aku berhadap-hadapan dengannya di kursi panjang yang biasa kugunakan untuk menerima tamu. Kusorongkan segelas teh manis ke hadapannya. Perlahan kucoba membuka pembicaraan.

"Spreek je Nederlands?" tanyaku.

Ia menggeleng pelan.

"Siapa kowe punya nama? Kenapa melemparkan diri ke atas rel?" kulanjutkan pertanyaan dalam bahasa Melayu.

Ia menggeleng lagi.

"Tak punya nama? Lantas dimana kowe punya rumah?" 

Ia sama sekali tak menjawab sepatah katapun. Sorot yang sebelumnya kulihat masih bertahan. Entah apa yang ingin ia katakan melalui mata itu. Kurasa tak pernah sebelumnya aku berurusan dengan perempuan ini.

Ketukan pelan menggema di pintu kantorku.

"Komen in!

Saidi, kontrolir keamanan stasiun yang berada di balik pintu rupanya. Segera kupersilahkan ia masuk. Rupanya ia telah mendengar keributan itu dan bergegas menuju kantorku.

"Kowe kemana saja? Ini harusnya jadi kowe punya tanggung jawab!"

"Maaf, juragan. Saya tadi sedang keluar pos sebentar untuk membeli makan siang."

"Ah, sudahlah. Kau tahu siapa perempuan ini? Dari tadi kucoba mencari tahu identitasnya tapi sepertinya dianggapnya aku kaleng kosong."

Jawaban Saidi berikutnya sama sekali tidak kuduga.

"Sebenarnya, juragan, perempuan ini orang kurang waras yang selama ini berkeliaran di sekitar stasiun ini. Sudah seringkali ia mencoba bunuh diri dengan melompat ke tengah rel. Untunglah saya dan anak-anak buah saya selalu berhasil mencegahnya. Hari ini saja kebetulan saya luput. Mohon maaf, juragan, saya berjanji lain kali perempuan ini takkan lepas dari pengawasan kami"

"Kenapa ia terus harus diawasi? Kenapa tidak kowe kirim dia ke rumah sakit jiwa?"

"Saya sudah pernah mengirim dia ke Grogol, juragan, hanya saja perawat di sana kewalahan menanganinya karena seringkali ia mengamuk dan menyerang para perawat. Sekali waktu ia pernah menikam seorang perawat hingga mati disana. Untunglah Landraad tidak mengeksekusinya karena ia dianggap tidak waras. Setelahnya ia dilepas begitu saja. Beberapa hari kemudian, ia sudah berada di sini lagi."

"Coba kowe hubungi Meneer van Buren. Tanyakan padanya apa masih ada tempat untuk mengirimnya ke Sumedang atau ke Jawa. Aku tak mau ia berkeliaran di sini dan membahayakan penumpang."

"Siap, juragan."

Saidi melangkah ke ambang pintu. Namun sebelum sempat ia melangkah keluar, terbersit dalam hatiku untuk bertanya lebih jauh kepadanya.

"Saidi!"

"Ya, Juragan?"

"Kowe tahu kenapa sebab ia gila?"

"Menurut para perawat yang merawatnya, juragan, ia sempat membuka mulutnya sedikit. Ia berasal dari keluarga terpandang yang tinggal di Noordwijk. Ayahnya seorang pegawai di Binnenland-Bestuur dan merupakan keturunan Pangeran Diponegoro. Kemudian hatinya tertambat pada seorang peranakan dan mereka berencana menikah. Sayang, keluarganya tidak menyetujui rencana pernikahan itu. Mereka mengusirnya dari rumah dan memutuskan untuk kawin lari saja dengan tunangannya itu. Malang bagi dia, ternyata tunangannya itu seorang pria beristri. Ia ditinggalkan begitu saja. Juragan dapat membayangkannya? Sudah dibuang keluarga, lalu dikhianati kekasih. Wajarlah kalau ia menjadi gila. Permisi, juragan."

Aku tertegun mendengar penjelasan itu. Kutatap dalam-dalam dari ujung rambut hingga ujung jari kaki perempuan ini. Sekilas tak ada yang salah dengan perempuan ini. Hanya tatapannya saja yang membuatku agak ngeri. Sepintas, kubayangkan nasib perempuan ini andai saja keluarganya tidak membuangnya atau tunangannya tidak meninggalkannya.

Kini yang tersisa dari paras manis itu hanyalah kepahitan. Kepahitan yang tandas sampai ke tulang.

Depok, 05 Desember 2014
Wishnu Wardhana