Friday, December 05, 2014

Cerpen: Di Seberang Peron

Di Seberang Peron



     Matahari belum lagi naik ke puncak kepala ketika para penumpang mulai memenuhi pelataran peron. Seperti hari-hari yang lain, aku, Jan van Straten, seorang kepala stasiun kecil yang terletak di pinggiran Batavia, bertugas memastikan semua berjalan baik-baik saja dan para penumpang dapat sampai ke tujuannya masing-masing. Mataku menyapu ke sekeliling lautan manusia yang berdesak-desakan, dengan berbagai keperluannya masing-masing, terus-menerus tanpa henti bagai sungai yang mengalir pelan. Saat itulah mataku terpaku pada sosok seorang wanita muda, mungkin berusia akhir belasan, di seberang peron tempat aku berdiri sekarang. Wanita itu tidak terlalu mencolok sebagaimana kawan-kawan sebangsanya yang lain. Kulit sawo matang dengan rambut sepunggung yang digerai, memunculkan kesan alami. Selain itu, ia mengenakan kebaya dengan kain panjang. Namun apabila kuperhatikan lebih jauh lagi, ada sesuatu yang ganjil dari sosoknya. Matanya. Matanya menyorot nanar ke arah peron seberangnya, seakan ada dendam yang tersirat dari tatap matanya. Untuk seorang perempuan, dapat kukatakan bahwa sorot mata itu sama sekali tidak wajar. Tatap yang sama yang pernah kusaksikan di mata para janda-janda Aceh yang suaminya dibantai oleh pasukan Jenderal Kohler beberapa waktu yang lalu.

     Ya! Aku ada di sana, di antara desingan peluru dan mesiu yang memekakkan telinga dan menyilaukan mata, ketika pasukan Nederland dengan senapan dan meriam lengkap berhadapan dengan laskar Aceh yang kebanyakan hanya bersenjatakan rencong dan parang, dan dalam waktu singkat ribuan jasad tumpang-tindih bergelimpangan di hadapan kami. Beberapa jam setelah pertempuran itu, aku dan batalionku memasuki desa kecil asal para laskar itu. Disanalah kulihat tatapan-tatapan itu. Tatapan nanar bercampur dendam, benci, dan entah apa lagi yang bisa kubayangkan. Saat itu, aku berharap dalam hati, semoga takkan pernah kujumpai lagi pemandangan semacam ini. Namun hari ini, di peron yang semakin panas terbakar matahari siang, diluar keinginanku, kutemui lagi pandangan itu.

     Keberadaanku di stasiun ini pun bukannya tanpa alasan. Seusai perang yang melelahkan di ujung Sumatra itu, batalionku dikirim pulang ke Batavia, dan pada Markas Besar KNIL kukirimkan surat keberatan atas apa yang terjadi di Aceh. Beberapa orang di sana tampaknya tak senang dengan pendapatku, dan jadilah aku diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas militer dan ditempatkan di stasiun yang panas dan berdebu ini.

    Kucoba membuyarkan lamunan yang dari tadi merasuki pikiranku ketika tiba-tiba terdengar keributan. Mijn God! Tepat di depan mataku, kulihat perempuan tadi sudah tergeletak di tengah rel dengan darah segar mengalir di kepalanya. Sementara, dari arah timur sudah terdengar bunyi mesin lokomotif yang semakin lama semakin santer terdengar. Astaga, ini sama sekali tidak baik. Dengan segala tenaga yang kumiliki kuhempaskan diriku ke bawah dan mencoba mengangkat tubuh perempuan itu. Dari jarak dekat ternyata sosoknya tidak selusuh yang kukira. Kuangkat tubuhnya dan kuletakkan ke atas bahuku. Dengan segenap tenaga yang tersisa kularikan langkah menuju pinggir rel, jauh dari kereta yang beberapa detik lagi akan melintas. Syukurlah bahwa perempuan itu berhasil kuselamatkan, hanya di peron orang-orang sudah menyemut, membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi apabila kami tak sempat menyingkir dari rel.

     Kubopong tubuhnya dengan perlahan ke kantor kepala stasiun. Perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih dan aku berhadap-hadapan dengannya di kursi panjang yang biasa kugunakan untuk menerima tamu. Kusorongkan segelas teh manis ke hadapannya. Perlahan kucoba membuka pembicaraan.

"Spreek je Nederlands?" tanyaku.

Ia menggeleng pelan.

"Siapa kowe punya nama? Kenapa melemparkan diri ke atas rel?" kulanjutkan pertanyaan dalam bahasa Melayu.

Ia menggeleng lagi.

"Tak punya nama? Lantas dimana kowe punya rumah?" 

Ia sama sekali tak menjawab sepatah katapun. Sorot yang sebelumnya kulihat masih bertahan. Entah apa yang ingin ia katakan melalui mata itu. Kurasa tak pernah sebelumnya aku berurusan dengan perempuan ini.

Ketukan pelan menggema di pintu kantorku.

"Komen in!

Saidi, kontrolir keamanan stasiun yang berada di balik pintu rupanya. Segera kupersilahkan ia masuk. Rupanya ia telah mendengar keributan itu dan bergegas menuju kantorku.

"Kowe kemana saja? Ini harusnya jadi kowe punya tanggung jawab!"

"Maaf, juragan. Saya tadi sedang keluar pos sebentar untuk membeli makan siang."

"Ah, sudahlah. Kau tahu siapa perempuan ini? Dari tadi kucoba mencari tahu identitasnya tapi sepertinya dianggapnya aku kaleng kosong."

Jawaban Saidi berikutnya sama sekali tidak kuduga.

"Sebenarnya, juragan, perempuan ini orang kurang waras yang selama ini berkeliaran di sekitar stasiun ini. Sudah seringkali ia mencoba bunuh diri dengan melompat ke tengah rel. Untunglah saya dan anak-anak buah saya selalu berhasil mencegahnya. Hari ini saja kebetulan saya luput. Mohon maaf, juragan, saya berjanji lain kali perempuan ini takkan lepas dari pengawasan kami"

"Kenapa ia terus harus diawasi? Kenapa tidak kowe kirim dia ke rumah sakit jiwa?"

"Saya sudah pernah mengirim dia ke Grogol, juragan, hanya saja perawat di sana kewalahan menanganinya karena seringkali ia mengamuk dan menyerang para perawat. Sekali waktu ia pernah menikam seorang perawat hingga mati disana. Untunglah Landraad tidak mengeksekusinya karena ia dianggap tidak waras. Setelahnya ia dilepas begitu saja. Beberapa hari kemudian, ia sudah berada di sini lagi."

"Coba kowe hubungi Meneer van Buren. Tanyakan padanya apa masih ada tempat untuk mengirimnya ke Sumedang atau ke Jawa. Aku tak mau ia berkeliaran di sini dan membahayakan penumpang."

"Siap, juragan."

Saidi melangkah ke ambang pintu. Namun sebelum sempat ia melangkah keluar, terbersit dalam hatiku untuk bertanya lebih jauh kepadanya.

"Saidi!"

"Ya, Juragan?"

"Kowe tahu kenapa sebab ia gila?"

"Menurut para perawat yang merawatnya, juragan, ia sempat membuka mulutnya sedikit. Ia berasal dari keluarga terpandang yang tinggal di Noordwijk. Ayahnya seorang pegawai di Binnenland-Bestuur dan merupakan keturunan Pangeran Diponegoro. Kemudian hatinya tertambat pada seorang peranakan dan mereka berencana menikah. Sayang, keluarganya tidak menyetujui rencana pernikahan itu. Mereka mengusirnya dari rumah dan memutuskan untuk kawin lari saja dengan tunangannya itu. Malang bagi dia, ternyata tunangannya itu seorang pria beristri. Ia ditinggalkan begitu saja. Juragan dapat membayangkannya? Sudah dibuang keluarga, lalu dikhianati kekasih. Wajarlah kalau ia menjadi gila. Permisi, juragan."

Aku tertegun mendengar penjelasan itu. Kutatap dalam-dalam dari ujung rambut hingga ujung jari kaki perempuan ini. Sekilas tak ada yang salah dengan perempuan ini. Hanya tatapannya saja yang membuatku agak ngeri. Sepintas, kubayangkan nasib perempuan ini andai saja keluarganya tidak membuangnya atau tunangannya tidak meninggalkannya.

Kini yang tersisa dari paras manis itu hanyalah kepahitan. Kepahitan yang tandas sampai ke tulang.

Depok, 05 Desember 2014
Wishnu Wardhana

Wednesday, May 14, 2014

Saksi Yehovah Bikin Resah

     Akhir-akhir ini di lingkungan kampus saya banyak orang-orang dari aliran Saksi Yehovah yang menyebarkan majalah mereka (Menara Pengawal/Watchtower dan Sedarlah!/Awake!), mengajak ngobrol dll, yang ujung-ujungnya menawarkan orang untuk ikut ajaran mereka. Biasanya mereka 'mangkal' di depan stasiun di dekat kampus saya, membagikan brosur kepada orang-orang yang mana kondisi stasiun dan sekitarnya itu sedang ramai-ramainya pada pagi hari (sekitar jam 08-10). Bahkan beberapa dari mereka masuk ke lingkungan kampus dan biasanya mereka mendekati orang yang sedang sendiri. Dalam setiap kesempatan biasanya mereka selalu memberikan majalah itu (yang sebetulnya lebih mirip brosur), yang isinya mengenai dalil dan ajaran mereka.

     Seperti yang dialami salah seorang teman saya dua hari lalu. Saat dia sedang duduk sendiri menunggu orang, datanglah seorang perempuan muda dengan pakaian khas anak kuliahan, lalu duduk di dekat teman saya dan mengajak bicara. Dia mengaku sebagai alumni FISIP, lalu setelah berkenalan singkat mulailah sang Saksi Yehovah ini mengajak ngobrol tentang masalah dunia, yang mana teman saya kurang berminat juga karena sama sekali belum kenal. Setelah ditanya teman saya, barulah dia mengaku kalau dia anggota Saksi Yehovah dan memberikan majalahnya kepada teman saya. Setelahnya dia ketemu saya dan memberikan majalah itu ke saya, karena dia seorang Muslim dan sama sekali tidak berminat dengan ajaran Saksi Yehovah. Buat saya ini tidak wajar, dan terbilang gaya baru dalam evangelisasi khas Saksi Yehovah, karena sejak dulu yang menjadi target mereka ya cuma orang-orang Kristen, karena juga ajaran mereka berdasar pada ajaran Kristen. Sekarang target mereka juga meluas ke orang-orang non-Kristen.


Majalah ini berbahasa Inggris, padahal saya punya yang bahasa Indonesia..

     Dalam post saya tentang Saksi Yehovah sebelumnya, sudah saya jelaskan bahwa mereka ini adalah sempalan agama Kristen yang membuat ajaran baru dan menginterpretasikan Alkitab menurut versi mereka. Menurut ajaran Saksi Yehovah, hanya ada satu Tuhan (yang disebut Yahweh/Yehovah, menurut ejaan asli nama Tuhan dalam Perjanjian Lama). Dengan demikian, mereka menolak keilahian Yesus, dan hanya menganggap Yesus adalah Putra Allah yang Tunggal, dalam artian merupakan ciptaan Tuhan yang utama, diatas malaikat, setan dan manusia, dan bukan Tuhan. Maka, setiap ayat yang menyiratkan keilahian Yesus dalam Alkitab, mereka ubah dan Yesus disebut sebagai 'Tuan' dalam Alkitab mereka, yang disebut sebagai Terjemahan Dunia Baru (New World Translation/NWT).

     Secara liturgi (tatacara ibadah), Saksi Yehovah ini tidak jauh berbeda dalam aliran-aliran agama Kristen lainnya, yang dasarnya adalah nyanyian pujian dan pembacaan Firman. Tentunya, dalam pujian yang mereka sembah hanyalah Yahweh, Tuhan yang Esa. Dalam ibadah pun tak ada kolekte amal; segala kegiatan dan ibadah mereka terbuka untuk umum dan ibadah mereka diadakan setiap tiga kali seminggu (biasanya pada Senin, Kamis dan Minggu) dan di jemaat-jemaat yang lebih kecil, dua kali seminggu; di hari-hari itupun ada studi Alkitab yang diselenggarakan oleh pemimpin-pemimpin Jemaat. Di kota tempat tinggal saya pun ada satu tempat ibadah mereka, yang disebut Balai Kerajaan, di bilangan Depok Lama. Setahun sekali mereka mengadakan ibadah distrik, yang tahun lalu diadakan di Istora Senayan dan berlangsung dengan sukses.

     Saksi Yehovah mewajibkan setiap pemeluknya untuk melakukan evangelisasi (mengajak orang-orang untuk mengikuti ajaran mereka) dan biasanya ada jangka waktu tertentu, misalnya 1 atau 2 tahun. Mereka biasanya mencari tempat-tempat keramaian untuk membagikan majalahnya, dan bahkan dalam satu kesempatan saya melihat mereka membuka stand di sebuah mall di bilangan Depok. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam kesempatan sebelumnya, sekte Saksi Yehovah ini sangat unik karena menjadi satu-satunya aliran agama yang 'membuka' kantor dan percetakan mereka untuk umum (bahkan ada program tour). Tujuannya, tentu untuk memperkenalkan ajaran mereka kepada umum dan berharap agar orang tertarik untuk mengikuti ajaran mereka.


Stand mereka ada di belakang stand tempat jual sepatu di latar belakang. Maaf kalau gambarnya sama sekali tidak jelas.

      Posisi saya tidak mendukung atau menolak usaha-usaha mereka dalam menyebarkan agama, karena sesungguhnya adalah hak setiap pengikut ajaran agama untuk mengajak orang lain untuk mengikuti ajarannya (karena tentunya hampir setiap agama menganggap orang-orang yang tidak beragama sama tidak akan diselamatkan). Saya mengutip perkataan Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, dalam tulisan sebelumnya, yang mengkritik dalam hal ini umat Islam, yang kurang sigap dan tanggap ketika menghadapi kenyataan umat agama lain yang menyebarkan agamanya di Ende, Flores. Saya pikir pun harusnya sekarang seperti itu juga; ketika umat agama lain menyebarkan agamanya, tentunya yang harus kita lakukan adalah ikut berpikir dan berdialog, agar dapat dicari titik temu antara pemikiran yang berbeda tersebut.

     Satu hal yang sangat saya khawatirkan terkait metode penyebaran agama Saksi Yehovah ini adalah, tidak semua umat beragama di Indonesia ini paham mengenai agama-agama selain agama yang dianutnya. Sebagai contoh, Saksi Yehovah adalah aliran yang berkembang dari dasar agama Kristen, dan terdapat banyak sekali referensi tentang Yesus dalam ajaran mereka. Mengingat sekarang target evangelisasi Saksi Yehovah meluas ke umat-umat non-Kristen, dalam hal ini Islam, tentu sangat berbahaya apabila seorang Muslim diajak berdialog mengenai ajaran Saksi Yehovah. Pada intinya Muslim itu akan berpikir sang Saksi Yehovah ini adalah orang Kristen yang berupaya menyebarkan agamanya. Padahal ajaran Saksi Yehovah pun sejak munculnya telah dicap sesat dan bidah oleh golongan Kristen mainstream.

     Dan, akhirnya umat Kristen yang tidak tahu apa-apa pun menjadi sasaran kemarahan mayoritas anak bangsa.

Saturday, May 10, 2014

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini
Oleh Wishnu Wardhana

            Maskulinitas adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria sesuai dengan konstruksi yang dibangun di masyarakat. Maskulinitas ini (dan juga feminitas pada wanita) bukanlah sebuah konstruksi biologis, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui pengalaman dan pembinaan melalui proses sosialisasi. Dalam masyarakat pada umumnya yang menganut budaya patriarkis, sifat-sifat maskulinitas ini pada umumnya digambarkan sesuai dengan ciri-ciri fisik pria (sebagai suatu konstruksi biologis); pria memiliki massa otot yang lebih besar, sehingga diharapkan dengan keadaannya yang demikian itu, manusia yang berjenis kelamin pria tadi dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang dibebankan kepadanya melalui sifat-sifat khas maskulinitas, diantaranya fisik yang kuat (tubuh berotot) dan mental yang lebih tahan terhadap tekanan. Secara mental, pria diharapkan untuk menjadi seorang yang intelektual dan dapat hidup di dalam konteks individualis. Hal ini berarti, pria diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Penggambaran sifat maskulinitas yang demikian ini dapat ditemui dalam berbagai bentuk, misal salah satu contoh yang baik adalah tokoh Marlboro Man, seorang koboi, dalam iklan rokok Marlboro. Dalam iklan yang berbentuk video tersebut, digambarkan seorang koboi yang senantiasa memakai topi koboi dan menggembalakan ternaknya sendirian. Secara fisik, ia juga terlihat memiliki struktur tubuh yang ideal dan kokoh. Hal yang menarik disini adalah bagaimana sang Marlboro Man selalu digambarkan dalam iklan tersebut sendirian, padahal pekerjaan menggembalakan ternak di padang rumput bukanlah pekerjaan yang mudah dan mustahil dilakukan oleh satu orang saja. Disinilah muncul harapan masyarakat melalui penerapan sifat-sifat maskulinitas, salah satunya adalah pria yang harus dapat mengatasi masalahnya sendiri (The Lone Hero).
            Sifat maskulinitas tentu berbeda dengan sifat feminitas, yang menempatkan wanita (sebagai suatu konstruksi biologis) di dalam sebuah konteks sosial; wanita diharapkan untuk tetap berhubungan secara intens dan kontinyu dengan individu lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan mengatasi masalahnya. Hal ini bukan berarti pria tidak dapat ditempatkan dalam konteks sosial, namun penempatan itu memiliki porsi yang jauh lebih besar dari pria.
            Maskulinitas sendiri merupakan sebuah konstruksi yang bersifat terbuka dan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, di abad 17 maskulinitas ideal secara fisik adalah bertubuh ramping dan berambut panjang, dan secara mental adalah memiliki sikap yang lembut. Hal ini tentu berbeda jauh dengan maskulinitas di masa kini yang telah digambarkan di atas; kuat, berotot, dan tangguh secara mental. Ketika ditempatkan dalam konteks seksual, maskulinitas memiliki subtema yang berbeda, diantaranya:
1.       Tipe gladiator-retro man: pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol.
2.       Tipe protector: pria pelindung dan penjaga.
3.       Tipe clown of boffoon: pria yang mengutamakan persamaan dalam menjalin     hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman.
4.      Tipe gay-man: pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual.
5.      Tipe wimp: jenis pria yang lemah dan pasif

Namun kelima tipe ini adalah maskulinitas yang ditempatkan dalam konteks seksual dan bukan secara umum, sehingga tidak dapat diterapkan dalam konteks lainnya, misalnya konteks sosial, politik dan lain sebagainya.
            Di dalam kajian budaya, maskulinitas dalam konteks sosial dibagi menjadi dua, yaitu maskulinitas hegemonis dan maskulinitas subordinat.
            Maskulinitas hegemonis adalah keadaan yang menjadikan maskulinitas itu mendominasi kehidupan sosial; berarti, pria (sebagai suatu konstruksi biologis) diharapkan memiliki sifat-sifat maskulinitas yang telah disebutkan diatas dan juga memimpin masyarakat melalui keunggulan hakikatnya tersebut. Keadaan ini sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang berbudaya patriarkis.
            Sedangkan, maskulinitas subordinat adalah keadaan yang tetap mempertahankan pandangan masyarakat mengenai pria yang harus memiliki sifat-sifat maskulinitas, namun dalam konteks sosial, pria tidak memiliki posisi sebagai pemimpin mutlak, namun fungsi-fungsi juga dapat dipenuhi oleh manusia yang berjenis kelamin wanita.

Maskulinitas dalam Konteks Jerman Masa Kini

            Menurut Geert Hofstede, seorang peneliti yang meneliti sifat-sifat maskulinitas dan feminitas di seluruh dunia, sebuah masyarakat dapat dikatakan maskulin apabila perkembangan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh kompetisi, pencapaian materi dan kesuksesan. Di Jerman, sifat ini telah dikembangkan sejak masa sekolah, dimana murid-murid dibagi ke dalam sistem pendidikan yang berbeda menurut kemampuannya setelah Grundschule (sekolah dasar), dan terus berlanjut ke dalam dunia kerja melalui perilaku kolektif dan organisatoris. Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, sifat maskulinitas secara mental salah satunya digambarkan tangguh dan dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan sendiri. Baik secara individual maupun kolektif, sifat-sifat maskulinitas jelas terlihat dalam cara hidup masyarakat Jerman.
            Sedangkan masyarakat feminis menganggap nilai-nilai yang utama adalah perhatian kepada manusia lain dan perjuangan untuk perbaikan kualitas hidup. Sebuah masyarakat feminis menganggap kualitas hidup (bukan secara materi namun lebih kepada sifat nonmateri) adalah tanda kesuksesan dan menjadi individu yang menonjol bukanlah sesuatu yang diwajibkan untuk meraih perhatian dan penghormatan dari manusia lain.
            Berhubungan dengan sifat maskulinitas dalam konteks sosial, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jerman menganut budaya maskulinitas subordinat. Meskipun dalam masyarakatnya masih mengharapkan nilai-nilai tradisional dari maskulinitas, namun dalam konteks sosial pria tak lagi memegang kekuasaan mutlak, sehingga banyak wanita yang memegang kendali sosial, seperti misalnya kanselir Jerman Angela Merkel, yang merupakan seorang wanita.

Kesimpulan

            Setelah mengkaji berbagai definisi maskulinitas, ciri-ciri maskulinitas baik secara fisik maupun secara mental, dan memperhatikan konteks sosial masyarakat Jerman, dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat maskulinitas secara umum sangat sesuai dengan konteks sosial masyarakat Jerman. Jerman merupakan sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi pencapaian material sebagai hasil dari kompetisi dan perjuangan untuk meningkatkan kemampuan individual. Secara singkat, maskulinitas di Jerman dapat disimpulkan menjadi: “Sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria yang diharapkan masyarakat, yang memiliki ciri fisik kuat dan berotot, bermental tangguh, dan berorientasi pada kesuksesan materi, namun tidak memegang kendali mutlak dalam konteks sosial.”

Sumber

-          Kurnia, Novi. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Volume 8, Nomor 1). Jakarta: 2004
-          http://geert-hofstede.com/germany.html (diakses pada 10/05/2014 pada pukul 13.25)
-          http://www.clearlycultural.com/geert-hofstede-cultural-dimensions/masculinity/ (diakses pada 10/05/2014 pukul 13.27)


Saturday, March 08, 2014

Struktur Wacana

Struktur Wacana
diambil dari buku karya Sara Mills: Discourse
Disunting oleh:
Lidya Natalie, Ribka Gloria, Ruherlita, Shilmi Budiarti, Winda Seprita, Wishnu Wardhana

Pengantar
Salah satu pernyataan penting dari Foucault dalam The Archeology of Knowledge (1972) adalah bahwa wacana bukan hanya sekedar pengelompokan ucapan, melainkan wacana juga merupakan pernyataan yang diatur dengan aturan-aturan internal tertentu yang sangat spesifik bagi wacana tersebut. Wacana juga terdiri dari pelbagai wacana lainnya yang teratur. Kaidah dan struktur wacana tidak berasal dari faktor sosial-ekonomi maupun budaya, namun faktor sosial-ekonomi dan budaya yang merupakan satu bentuk dari wacana itu sendiri dan dibentuk oleh mekanisme wacana yang bersifat internal.
Studi wacana ini bukan hanya analisis tentang ucapan dan pernyataan saja, namun juga memperhatikan bagaimana struktur dan kaidah wacana tersebut. Foucault mengistilahkan analisis struktur wacana ini dengan ‘arkeologi’. Foucault mencoba menekankan bahwa melakukan analisis struktur wacana ini bukanlah untuk menyingkapkan kebenaran atau asal-usul suatu pernyataan, melainkan untuk menemukan mekanisme pendukung yang bersifat intrinsik dan juga ekstradiskursif dalam wacana.
Sebagian besar dalam The Archeology of Knowledge terfokus pada hubungan antara teks dan wacana dengan kenyataan dan pengonstruksian kenyataan oleh struktur wacana tersebut. John Frow berkomentar bahwa wacana adalah kenyataan yang dibangun secara sosial yang mengkonstruksi mana yang nyata dan mana yang simbol serta perbedaan antar keduanya. Banyak perdebatan mengenai apakah Foucault mengingkari eksistensi yang nyata, maksudnya ketika ia menekankan kekuatan formatif wacana, sedangkan para sejarawan menentang Foucault karena menganggap Foucault mengingkari peristiwa historis.
Foucault menyatakan bahwa objek dan ide itu diciptakan oleh manusia dan hal inilah yang membentuk realitas bagi kita. Foucault menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk memahami realitas adalah melalui diskursus dan sistem diskursif.
Menurut Foucault struktur wacana memiliki sifat intrinsik pada wacana, terutama epistem, pernyataan (statement), wacana dan arsip.


Menurut Foucault, realitas disini dipahami sebagai seperangkat konstruksi yang dibentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri, tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut.. Kita mempersepsi dan bagaimana kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif. Struktur diskurs ini menurut Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana realitas itu,tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak dan tertutup.
Foucault berpendapat bahwa materi dan ide diciptakan oleh manusia dan lembaga yang menciptakan realitas kepada kita, yang telah dikritik karena kelihatan seolah-olah berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang sifatnya non-diskursif atau sesuatu di luar wacana. Foucault tidak mengingkari bahwa ada realitas sebelum manusia ada, tidak juga mengingkari adanya bentuk peristiwa dan pengalaman, seperti beberapa kritik yang ditujukan kepadanya; hal ini menganggap bahwa satu-satunya cara untuk memahami realitas adalah melalui wacana dan struktur diskursif. Pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur wacana tersebut: yang berarti, wacana diklasifikasikan menurut batasan bidang ilmunya. Sara Mills memberi contoh: Pada masa lalu, bakteri diklasifikasikan sebagai hewan, namun pada masa sekarang merupakan kategori tumbuhan. Tidak ada yang berubah dari hakikat bakteri, perbedaannya justru karena struktur wacana yang dibuat yang mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri itu sebagai tumbuhan, bukan hewan, dan mempelajari serta menempelkan sifat-sifat bakteri sebagai tumbuhan.

Epistem
Suatu epistem terdiri dari sejumlah diskursus yang tercipta berkat interaksi berbagai diskursus. Oleh sebab itu, suatu epistem  mencakup berbagai metedologi yang sudah dianggap terbukti oleh sebuah budaya. Foucault menunjukan bahwa dalam periode tertentu, ada kecenderungan untuk menyusun cara berpikir dengan cara-cara tertentu. Akibatnya, sebagai contoh dalam seperangkat epistem yang ada pada era ratu Victoria, pemikiran ilmiah dicirikan dengan kecenderungan untuk menghasilkan tabel yang rinci; dalam suatu sistem klasifikasi yang didefinisikan dengan sangat kaku. Berikut ini tabel yang diambil dari buku Brown The Races of Mankind (1873-9):
“Di zaman ratu Victoria, cara berpikir tentang dunia seperti ini kelihatannya merupakan cara yang ‘alami’ untuk menggambarkan perbedaan ras. Di sini manusia dikelompokan menurut cara klasifikasi anjing atau kuda, yakni berdasarkan asal keturunan dan “kesucian” garis keturunan. Sebagaimana ditunjukan oleh Young, sistem klasifikai untuk pencangkokan tumbuhan dan perkawinan silang pada binatang kemudian dipakai untuk  menjelaskan penduduk asli” (Young, 1995). Di sini, kita juga dijauhkan dari upaya untuk memetakan secara rinci unsur pembentuk bidang pengetahuan, karena pola berpikir seperti ini sekarang telah diganti dengan cara pengelompokan pengetahuan dan informasi yang lain.
Foucault menyatakan adanya keterputusan epistemik (epistemic breaks), yakni pada saat tertentu dalam sebuah budaya, terjadi keterputusan perkembangan struktur diskursus, sehingga pada zaman ratu Victoria, gambaran tentang realitas yang berbentuk tabel sepenuhnya kelihatan alami. Sebaliknya, pada abad duapuluh, metode penggambaran ini kelihatannya mulai tidak lazim. Contoh lain yang diberikan Foucoult adalah tentang signifikasi sebuah peristiwa dalam kaitannya dengan tatanan ilahiah. Pada masa–masa awal Eropa Modern, setiap peristiwa ditafsirkan menurut sistem pemikiran yang menghubungkan alam dunia dengan tatanan agama atau supernatural. Oleh sebab itu, apa yang sekarang digolongkan sebagai fenomena alam, seperti badai yang dahsyat, dari segi signifikasinya peristiwa ini akan digolongkan ke dalam sistem simbol yang lebih luas, mungkin sebagai tanda atau isyarat dari kemurkaan Tuhan. Sementara di Eropa akhir abad dua puluh, badai tidak lagi memiliki signifikasi supranatural. Unsur pembentuk pengetahuan ini telah berubah. Kalau biasanya kita mengangagap perubahan ini sebagai dampak kemajuan pemikiran, maka Foucault menyatakan bahwa sistem pengetahuan kita sendirilah yang membentuk epistem mutakhir, yang akan terlihat sebagai sebagai suatu yang asing bagi generasi masa depan.
Sejarah intelektual seharusnya dilihat sebagai serangkaian gerakan tiba-tiba dari suatu sistem klasifikasi dan representasi kepada sistem klasifikasi yang lain. Foucault memiliki pemikiran tentang sejarah yang berbeda dengan pemikiran kaum konservatif dan Marxis. Menurut kedua kaum ini, gagasan perkembangan (improvement) dan kemajuan (progress) memiliki arti yang sentral. Bagi kelompok konservatif, pengetahuan ilmiah tak bisa dihindari dan akan menimbulkan kemajuan kehidupan umat manusia. Sementara bagi kelompok Marxis, perubahan revolusioner akan menimbulkan kemajuan pada kondisi kelas pekerja.

Pernyataan
Epistem dibangun dari sederetan pernyataan yang dikelompokkan menjadi beberapa wacana atau kerangka wacana yang berbeda. Pernyataan adalah dasar utama dari sebuah wacana. Suatu kalimat dapat berfungsi sebagai beberapa pernyataan yang berbeda, bergantung pada konteks wacana yang ada. Menurut Foucault, “Keajegan sebuah pernyataan, pemeliharaan identitas melalui ucapan, duplikasi melalui identitas bentuk, semua ini ada karena fungsi pengunaannya di mana ia berada.”
Menurut Dreyfusdan Rabinow, beberapa ucapan yang berbeda sebenarnya dapat membentuk suatu pernyataan tunggal. Pernyataan kelihatannya sangat mirip dengan speech act yang dicetuskan oleh Searle dan Austin. Menurut Foucault sendiri, pernyataan adalah ucapan-ucapan yang memiliki kekuatan institusional dan mendapatkan pengesahan dari suatu otoritas. Ucapan-ucapan inilah yang termasuk dalam kelompok ‘yang nyata’. Ucapan dan teks yang menciptakan sebuah klaim kebenaran serta disepakati sebagai pengetahuan, dapat digolongkan sebagai pernyataan.

Wacana
Foucault membedakan antara wacana secara keseluruhan dengan wacana-wacana atau sekelompok pernyataan. Sebuah wacana adalah seperangkat pernyataan yang memiliki kekuatan institusional dan mempengaruhi cara bertindak dan berpikir individu, batasan sebuah wacana tidaklah jelas. Sementara itu, wacana juga dapat dilihat sebagai berbagai kelompok pernyataan yang memiliki keuatan serupa. Pernyataan-pernyataan ini dikelompokkan karena adanya suatu tekanan institusional, keserupaan konteks, atau karena mereka bertindak dengan cara yang sama.

Arsip
Menurut Foucault, arsip adalah seperangkat kaidah yang ada pada suatu periode dan pada suatu masyarakat tertentu untuk mendefinisikan: 1) batas dan bentuk apa yang boleh diungkapkan (expressibility); 2) batas dan bentuk konservasi (conservation); 3) batas dan bentuk memori; dan 4) batas serta bentuk penggiatan kembali (reactivation). Arsip harus dilihat sebagai seperangkat mekanisme wacana yang membatasi apa yang dapat dikatakan, apa bentuknya, serta apa yang pantas diketahui dan diingat.

Pengecualian dalam Wacana
Dalam artikel yang berjudul The Order of Discourse (1981), Foucault membahas bagaimana caranya sebuah diskursus diatur oleh institusi untuk menghindari berbagai bahaya yang bisa ditimbulkannya. Ia menggambarkan proses pengecualian yang berlaku dalam diskursus untuk membatasi apa yang dapat dikatakan dan apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Terdapat tiga pengecualian dalam diskursus, yang pertama Foucault sebut dengan ‘larangan’ atau tabu. Maksudnya, ada beberapa hal tertentu yang sulit dibicarakan oleh masyarakat Barat seperti pembicaraan kematian dan seks. Dalam budaya Inggris, banyak orang mengatakan bahwa mereka merasa dijauhi atau dihindari bahkan oleh teman dekatnya sendiri disaat pasangannya meninggal. Hal ini terjadi karena sulitnya memahami kematian dan kurangnya tatanan kata dalam bahasa Inggris untuk menyampaikan belasungkawa tanpa terdengar tidak cocok, tidak tulus ataupun terlalu resmi. Adapun dengan pembicaraan seputar seks juga merupakan sebuah hal yang tabu. Di Inggris pada masa ratu Victoria, orang sangat sulit membicarakan seks secara terbuka. Masalah yang berkaitan dengan seks akan dihindari dengan cara apapun dalam masyarakat yang ‘sopan’ dan masyarakat campuran.
Pengecualian kedua dalam diskursus terhadap apa yang boleh dikatakan, terpusat di sekitar diskursus orang-orang yang dianggap gila dan tidak rasional. Foucault menyatakan bahwa dalam periode sejarah yang berbeda, ucapan orang gila bisa dianggap berada pada tingkatan pengetahuan Tuhan atau sama sekali tidak berarti. Di Inggris pada abad 20 misalnya, bahasa orang yang menderita skizofrenia tidak dipercaya, sehingga ketika ada orang yang dianggap “gila” berbicara maka ia akan dikesampingkan. Jika mereka menuntut perlakuan tertentu yang  tidak didukung oleh penguasa, mereka pada umumnya akan diabaikan. Ada anggapan bahwa keinginan dan pandangan orang-orang yang “rasional”, seperti dokter memiliki bobot yang lebih tinggi. Pengecualian ketiga—yang mengklasifikasikan apa yang disebut pernyataan dan karena itu ia merupakan kerangka wacana—adalah pembagian antara pengetahuan yang dianggap benar dengan pengetahuan yang dianggap salah. Foucault mengklasifikasikan sejarah pembagian seperti ini dan menyatakan bahwa bagi orang Yunani pada abad 6 isi sebuah pernyataan tidaklah terjamin kebenarannya. 

Persebaran Wacana
            Selain prosedur pengecualian tadi, Foucault menegaskan bahwa konstruksi wacana juga memiliki mekanisme internal dan eksternal, yang menjamin keberadaan wacana tersebut. Terdapat beberapa mekanisme persebaran wacana ini, diantaranya adalah tafsir dan gagasan disiplin akademis; tafsir terhadap sebuah wacana menjadikan wacana tersebut tetap sesuai dengan kondisi nyata meskipun wacana itu sendiri dimunculkan beribu-ribu tahun yang lalu. Contohnya adalah Alkitab, yang meskipun kitab terakhirnya ditulis lebih dari 1.900 tahun yang lalu, namun pesannya tetap relevan di masa modern ini, karena adanya tafsir-tafsir yang menjelaskan isi Alkitab itu dengan latar belakang masa modern. Salah satu contoh tafsir Alkitab adalah Kitab Hukum Kanonik (KHK) milik Gereja Katolik, yang berisi berbagai perintah, larangan dan tradisi yang semuanya berdasar dari satu wacana yaitu Alkitab. Dengan demikian, keberadaan KHK tersebut menjaga pesan Alkitab agar tetap relevan di masa modern ini. Selain itu, terdapat juga mekanisme wacana lain, yaitu disiplin akademis. Disiplin akademis ini adalah pengelompokan wacana-wacana dalam skala besar yang menentukan apa yang dapat dianggap sebagai fakta atau benar didalam bidang-bidang tertentu. Jadi, masing-masing bidang ilmu akan menentukan metode, bentuk proposisi dan argumen, dan dimanakah letaknya bidang wacana tersebut. Serangkaian struktur ini akan membantu memunculkan proposisi baru, tetapi hanya terbatas didalam batas-batas tertentu. Foucault berpendapat bahwa struktur disiplin akademis tadi mengecualikan banyak proposisi. Bahkan jika penelitian seseorang sebenarnya akurat secara faktual atau berpandangan jauh ke depan, namun jika penelitian tersebut tidak sesuai dengan bentuk dan isi bidang ilmu tertentu, penelitian tersebut hampir pasti ditolak, atau dianggap sebagai bukan penelitian akademis, dan lebih sebagai penelitian populer. Contoh yang baik akan hal ini adalah penelitian Galileo Galilei pada abad ke-15. Galileo pada masa itu menyatakan bahwa bumi sesungguhnya berputar mengelilingi matahari (yang terbukti benar secara faktual berabad-abad kemudian), namun pandangan faktual itu berbenturan dengan disiplin ilmu astronomi abad ke-15 yang diusung oleh Gereja, yang berpendapat bahwa matahari mengelilingi bumi. Oleh karena penelitiannya, Galileo dijadikan tahanan rumah sampai akhir hayatnya. Kejadian ini membuktikan, bahwa meskipun penelitian/wacana yang dikemukakan seseorang benar secara faktual, namun apabila tidak sesuai dengan disiplin bidang ilmu yang mencakup wacana tersebut, maka wacana tersebut pun akan tertolak.


Wednesday, January 22, 2014

Membela Proselitasi: Sebuah Tulisan Apologetik

      Pertama-tama, saya ingin menekankan bahwa isi tulisan ini bersifat sensitif dan mungkin akan menyinggung perasaan bagi sebagian orang, karenanya saya mohon maaf terlebih dahulu apabila apa di antara pembaca yang merasa tersinggung dengan tulisan saya. Isinya memang kurang lebih tentang SARA, semoga isi tulisan saya ini tidak disalahartikan. Tulisan ini dibuat hanya untuk sekedar berbagi dan menyampaikan pemikiran saya, yang kebetulan memang berminat dengan kajian ilmu teologi dan apologetik. Tulisan ini juga dibuat tanpa perintah, permintaan ataupun paksaan pihak manapun.

Membela Proselitasi: Sebuah Tulisan Apologetik
Oleh Willy Mandagi

     Apakah Anda pernah mendengar kata 'proselitasi'? Bila belum, proselitasi menurut kamus bahasa Inggris, Merriam-Webster adalah: 

1. to induce someone to convert to one's faith 
2. to recruit someone to join one's party, institution, or cause

     Disini, saya akan membahas bagaimana penerapan menurut arti pertama. Dengan demikian, proselitasi berarti 'mengajak seseorang masuk ke dalam sistem keagamaan sendiri'. Di Indonesia, karena masyarakat mayoritas beragama Islam, maka kebanyakan tindakan proselitasi dituduhkan kepada umat non-Muslim, contohnya istilah 'kristenisasi' yang banyak kita dengar sejak zaman dahulu kala. Saya belum pernah mendengar istilah Hindunisasi atau Buddhanisasi.

     Pertama-tama saya akan membahas mengenai perintah proselitasi dalam Kekristenan. Di dalam Alkitab jelas disebutkan pada Matius 28:19, yang sering disebut juga sebagai 'Amanat Agung': 

"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus." (Terjemahan Baru, 1974)

      Ayat ini jelas mengandung ajakan untuk mengubah keyakinan seseorang dari yang tadinya bukan Kristen menjadi Kristen. Penerapan ajaran inipun telah dilaksanakan, baik dengan cara yang paling halus sampai dengan yang paling ekstrem, contoh yang baik yang dapat kita ambil dari sejarah misalnya: Perang Salib, masa kekuasaan Charlemagne (Karl der Große), Reconquista (pendudukan kembali Spanyol dari tangan bangsa Moor), penyebaran Kekristenan pada masa-masa penjelajahan di abad ke 15 sampai 17, dan lain-lain. Proselitasi ini disambut dengan berbagai reaksi dari masyarakat yang akan di-proselit-kan, ada yang menerima dengan tangan terbuka, maupun menolak mentah-mentah, yang pada masa lalu menimbulkan pertumpahan darah.

    Baik, kita sudah mengetahui bahwa dalam Kekristenan ada perintah untuk mengajak orang non-Kristen untuk masuk ke dalam agamanya. Lalu bagaimana dengan agama Islam? Meskipun pengetahuan saya masih sangat terbatas untuk agama Islam, hendaknya ayat berikut dapat dijadikan acuan:

فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوا وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

"Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS. Al-Imran:30)

      Terlepas dari masalah tafsir dan sebagainya, saya rasa tepat adanya apabila agama Islam juga memiliki sejarahnya sendiri terkait masalah proselitasi ini. Bukankah baik apabila semakin banyak orang yang diselamatkan dan masuk surga? Kira-kira begitu pokok pikirannya. Di dalam catatan sejarah, tercatat ekspansi bangsa Arab setelah kebangkitan Islam pada abad ke-7, pendudukan Spanyol (yang kala itu telah beragama Kristen), penaklukan Delhi di India, penaklukan daerah Cina tengah oleh kekuasaan bangsa Mongol muslim, serangan Kekaisaran Turki Usmani ke Semenanjung Balkan di Eropa Tenggara, menjadi contoh yang baik akan adanya usaha pemeluk-pemeluk agama Islam untuk mengajak orang-orang non-Muslim untuk masuk ke dalam agamanya. 

     Berbeda dengan agama Islam dan Kristen, agama Yahudi, yang juga merupakan agama keturunan Nabi Ibrahim a.s., tidak memiliki perintah spesifik untuk mengajak orang lain masuk ke dalam agama Yahudi, karena menurut ajaran agama Yahudi, bangsa Yahudi adalah 'bangsa terpilih' (the chosen one) yang telah dipilih Tuhan untuk diselamatkan, seperti yang tercantum dalam ayat-ayat berikut ini:

"Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku,  maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel." (Keluaran 19:5-6, Terjemahan Baru; 1974)

"Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu--bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? Tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir." (Ulangan 7:7-8, Terjemahan Baru; 1974)

     Jadi, yang boleh masuk ke dalam agama Yahudi (menurut ayat-ayat tersebut dan juga ayat-ayat lainnya) hanyalah orang yang memiliki darah bangsa Israel atau keturunannya (dari pihak ayah sampai generasi ketiga). 

     Lalu, bagaimana dengan sejarah proselitasi di Indonesia?

     Di Indonesia, proselitasi pertama-tama dilakukan oleh penganut agama Hindu dan Buddha, yang membawa agama mereka dari tanah India pada abad ke-4. Maka dari itu, kita mengetahui kerajaan pertama yang berdiri di Indonesia menurut catatan-catatan sejarah adalah kerajaan Hindu, yaitu Kutai di Kalimantan Timur, pada abad ke-5. Setelahnya, muncul kerajaan-kerajaan lain yang bercorak Hindu-Buddha, seperti Tarumanagara (bercorak Hindu, th. 358-669), Sriwijaya (bercorak Buddha, abad 7-13), dan Majapahit (bercorak Hindu, 1293-ca.1500). Sebelumnya, masyarakat Indonesia menganut budaya animisme dan dinamisme, yaitu memuja benda-benda mati seperti pohon, gunung dan sungai dan juga arwah-arwah nenek moyang dan leluhur.

     Agama Islam baru masuk ke Nusantara sekitar abad ke-11 (teori yang mendukung masuknya agama Islam ke Indonesia ada cukup banyak, seperti dibawa oleh pedagang-pedagang Muslim dari Gujarat maupun cendekiawan Nusantara yang belajar ke Hadramaut, atau mungkin habib-ulama dari Hadramaut yang pindah ke Indonesia). Keberadaan agama Islam di Nusantara baru dipastikan dengan munculnya kerajaan Islam pertama di Nusantara, yaitu Samudra Pasai di Aceh (th. 1267-1521). Setelahnya, di Jawa, Sulawesi dan Maluku juga bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak Islam lainnya, seperti Kesultanan Demak (1475-1548), Kesultanan Banten (1527-1813), Kesultanan Mataram Islam (1588-1681). Penyebaran agama Islam, tidak seperti penyebaran agama Hindu dan Buddha di masa sebelumnya yang masih belum banyak diketahui, sudah lebih jelas: Di kota-kota pelabuhan, pedagang-pedagang dari Arab dan Yaman mendirikan pesantren-pesantren, mengadakan dakwah keliling, menikahi wanita lokal, dan lain sebagainya. Bahkan kita mengenal sembilan ulama besar di tanah Jawa yang dikenal dengan julukan 'Wali Songo' yang menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk lokal Jawa yang pada masa itu masih menganut agama-agama Hindu-Buddha dan animisme-dinamisme.

     Sedangkan, agama Kristen (dalam hal ini Katolik) baru masuk pada masa penjelajahan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, tepatnya pada tahun 1512 ketika untuk pertama kalinya, bangsa Portugis berhasil mendarat di Malaka (Malaysia) untuk mencari rempah-rempah dan terus berlayar hingga ke Madura, Bali, Lombok, Aru dan Banda. Tokoh yang paling terkenal dalam penyebaran agama Kristen Katolik di Indonesia adalah St. Fransiskus Xaverius (1506-1552), yang dikenal sebagai penginjil besar di benua Asia, dan dianggap telah mengkristenkan paling banyak orang sejak zaman Paulus. 

St. Fransiskus Xaverius,
penyebar terbesar agama Katolik di Asia.
Sedangkan bangsa Belanda tiba hampir seabad kemudian, tepatnya pada tahun 1596 dengan pendaratan kapal-kapal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Meskipun sesama Kristen, namun Portugis (Katolik) dan Belanda (Protestan) memiliki kepentingan penyebaran agama yang berbeda sesuai agenda masing-masing, dan pada pertengahan abad ke-17, sebagian besar bangsa Portugis dan Spanyol (yang sama-sama Katolik) dipukul mundur oleh Belanda. Sejak saat itu hingga awal abad ke-19 (pada masa perang Napoleon), agama Kristen aliran Protestan bertumbuh subur di Hindia Belanda (Indonesia) dan menjadi satu-satunya aliran agama Kristen yang diperbolehkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, pada masa perang Napoleon (1792-1815), negeri Belanda berhasil diduduki oleh Prancis pimpinan Napoleon, dan adik Napoleon, Lodewijk (Louis) Bonaparte yang beragama Katolik, diangkat menjadi raja Belanda. Iapun segera memerintahkan kembalinya misi Katolik di tanah jajahan Hindia Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga merdekanya Republik Indonesia (1945)

     Penyebaran agama Kristen terutama melalui zending (pendirian misi), pengiriman misionaris ke tempat-tempat terpencil, dan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokal. Contoh tersukses dari upaya misionaris ini adalah upaya seorang Ludwig Ingwer Nommensen, seorang misionaris asal Jerman yang berhasil menyebarkan agama Kristen diantara suku Batak di Sumatera Utara. Hasil dari pekerjaannya adalah salah satu denominasi gereja Protestan terbesar di Indonesia, yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Nommensen sendiri namanya diabadikan menjadi salah satu universitas di kota Medan, Sumatera Utara, dan dia sendiri secara umum dikenal sebagai 'Apostel (Rasul) Orang Batak'.

Nommensen, secara luas dikenal
sebagai 'Apostel Orang Batak'
     Lalu apa yang salah dengan proselitasi? Sejarah membuktikan, bahwa proses perpindahan agama, baik dengan paksaan maupun tidak, adalah hal yang lumrah. Mengapa mesti diributkan? Apabila seseorang pindah agama, hal itu hanyalah upaya untuk mencari kebenaran yang hakiki, yang tentunya berbeda menurut persepsi berbagai macam orang. Namun di dalam kesempatan ini, saya mengkritik kekhawatiran umat beragama dengan jumlah terbesar di Indonesia, yang tentu Anda sudah tahu. Selama bertahun-tahun, umat Islam dihantui oleh 'bahaya Kristenisasi' yang konon katanya dilancarkan oleh berbagai oknum dan institusi gereja. Namun apakah memang benar begitu?

     Dari pengalaman saya pribadi sebagai mantan jemaat Gereja Katolik, tidak pernah sekalipun di Gereja, pastor meminta jemaat untuk menyebarkan agama Katolik kepada orang-orang yang non-Katolik, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Yang diperintahkan adalah 'sebarkanlah kasih dan perdamaian dimanapun kamu berada'. Kalaupun orang melihatnya dalam perspektif berbeda, itu lain soal. Dalam istilah Islamnya, kita harus ber'husnudzon' (berprasangka baik) kepada semua orang, bukan?

     Anehnya lagi, umat Kristen dituduh menyebarkan agamanya hanya dengan mencoba mendirikan gereja di sebuah daerah. Seperti pada kasus GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, tujuan pendirian gereja adalah untuk beribadah bagi jemaat yang kebetulan memang banyak tinggal di daerah tersebut. Namun, ada pula yang menuduh ada jemaat yang sengaja 'didatangkan' dari daerah lain, agar terkesan seolah-olah gereja itu penuh dengan umat dan memiliki legitimasi untuk berada di daerah tersebut. Buat saya, itu tuduhan yang menggelikan dan tidak masuk akal. Seperti contohnya dalam Gereja Katolik, sebenarnya seluruh dunia ini telah dibagi menjadi keuskupan, paroki, wilayah dan lingkungan, yang masing-masing memiliki jumlah dan daftar jemaatnya. Kalau ada jemaat yang terpaksa beribadah di gereja lain yang bukan wilayahnya, sebetulnya itu hanya karena ada keperluan di daerah itu, bukannya ada perintah dari pihak Gereja untuk 'memalsukan' jumlah jemaat di suatu daerah.

Jemaat HKBP Filadelfia Bekasi: Korban Prasangka
Kristenisasi?
     Lagipula, agama Kristen juga memiliki alirannya sendiri-sendiri, yang di Indonesia ini saya tahu berjumlah puluhan. Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan, Karismatik/Pentakosta, Baptist, Anabaptist, Lutheran, Advent, Bala Keselamatan dan lain-lain.. Seperti contohnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang tadi. HKBP itu pada dasarnya adalah perkumpulan orang-orang Batak Protestan yang ingin mengadakan ibadah bersama. Ibadahnya pun saya tahu dalam bahasa Batak. Atau di Manado ada GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), di Sanger (Sulawesi Utara) ada GMIS (Gereja Masehi Injili di Sanger), dan lain sebagainya. Tidak mungkin orang Jawa yang Muslim bisa masuk HKBP, demikian juga orang Aceh Muslim bisa masuk GMIM. Maka, tuduhan Kristenisasi itu pada dasarnya adalah mengada-ada dan tidak masuk akal.

Gereja GPIB Gideon di Kramat,
Jakarta Pusat.
     Justru saya mengkritik sikap umat Islam sendiri, sebagai umat beragama dengan jumlah terbesar di Indonesia, yang masih kurang 'sadar' akan hakikat agama dan keberagamaan, dan bagaimana cara menjalaninya agar kita dapat hidup berdampingan, rukun dan damai. Apabila saya perhatikan, dalam sepuluh tahun belakangan ini terjadi peningkatan jumlah paham-paham Islam ekstremis yang makin kuat, diketahui dari ditangkapnya teroris-teroris secara berkala di seluruh Indonesia. Orang yang dikatakan sebagai 'dalang' dari gerakan Islam ekstremis di Indonesia, yaitu KH. Abu Bakar Ba'asyir, telah meringkuk di dalam jeruji besi Nusakambangan, namun toh tidak menyurutkan minat para pengikut dan murid-muridnya untuk terus mengemban misi 'jihad' yang diserukannya. Islam ini sebenarnya mau dibawa ke mana?

     Mungkin, sedikit nukilan dari tulisan presiden pertama kita, Ir. Soekarno dari bab "Surat-Surat Islam di Ende (bagian kelima)" pada buku "Dibawah Bendera Revolusi" jilid I karangan Bung Karno sendiri, dapat menjadi inspirasi buat umat beragama pada umumnya, dan umat Islam pada khususnya:
Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno,
contoh teladan yang baik untuk Modernisme
Islam menurut saya.

"...Brosur almarhum H. Fachruddin akan berfaedah pula bagi saya, karena saya sendiri pun banyak bertukaran pikiran dengan kaum Pastur di Ende. Tuan tahu, bahwa Pulau Flores itu adalah "Pulau Misi" yang mereka sangat banggakan. Dan memang "pantas" mereka membanggakan mereka punya pekerjaan di Flores. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka "bekerja mati-matian" buat mengembangkan mereka punya agama di Flores. Saya ada "respek" buat mereka punya kesukaan bekerja itu. Kita banyak mencela misi, tapi apakah yang kita kerjakan bagi upaya menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa misi mengembangkan Roomskatholicisme (Agama Katolik, red.) itu adalah mereka punya "hak", yang kita tak boleh cela dan gerutui. Tapi "kita", kenapa "kita" malas, kenapa "kita" teledor, kenapa "kita" tak mau kerja, kenapa "kita" tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun mubaligh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Misi di dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa orang kafir yang bisa "dihela" oleh Islam di Flores itu? Kalau dipikirkan, memang semua itu "salah kita sendiri", bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang!"

     Nah, demikianlah uraian singkat saya tentang proselitasi. Sikap saya, proselitasi atau tindakan memberi pengertian kepada seseorang atau banyak orang agar orang itu masuk ke dalam agama yang mengajak tidaklah salah, namun kembali kepada diri masing-masing umat beragama agar membekali dirinya, yang Islam menjadi Islam Plus, yang Kristen menjadi Kristen Plus, yang Hindu menjadi Hindu Plus, dan lain sebagainya. Apabila ada perpindahan agama, hal itu bukanlah masalah. Yang terpenting, adalah bagaimana kita dengan pemahaman itu bisa saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan.

Depok, 22 Januari 2014
Willy Mandagi

Tuesday, January 14, 2014

Cinta dalam Filsafat Yunani

     Baru-baru ini, saya banyak membaca tulisan orang-orang yang menolak cinta dengan berbagai alasan. Sebagian besar karena pernah mengalami kepahitan dengan cinta. Namun, kepahitan ini biasanya terjadi pada hubungan pria-wanita. Dari kelas-kelas filsafat yang pernah saya ikuti, saya mengetahui beberapa definisi cinta dalam filsafat, yang tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Materi ini didasarkan kepada filsafat Yunani, yang berarti akan terdapat beberapa istilah bahasa Yunani di dalamnya.

     Berdasarkan filsafat Yunani, terdapat beberapa jenis cinta, diantaranya:

     1. Eros. Eros adalah cinta secara fisik, dengan kerinduan yang sifatnya sebagian besar sensual. Eros adalah cinta yang didasarkan semata-mata pada emosi dan bukan pada logika. Istilahnya "Cinta pada pandangan pertama". Di dalam bahasa Yunani Modern, kata "erotas" (έρωτας) berarti "cinta yang intim"; meskipun begitu, eros tidak selalu bersifat seksual pada dasarnya. Eros dapat diinterpretasikan sebagai cinta pada seseorang yang Anda cintai lebih daripada philia, yaitu cinta antara sahabat. Eros juga dapat diterapkan pada hubungan antarpacar dan juga dalam pernikahan. Plato menjelaskan definisinya sendiri akan eros: Meskipun eros pada umumnya diasosiasikan dengan cinta kepada satu orang, apabila ditelusuri lebih jauh, eros dapat juga bermakna apresiasi akan keindahan seseorang atau bahkan keindahan itu sendiri. Plato tidak berbicara tentang ketertarikan secara fisik sebagai bagian yang penting dalam cinta, tetapi ia menggunakan kata platonik, yang diartikan sebagai "tanpa ketertarikan secara fisik". Di dalam karyanya yang berjudul Symposium, karya filsafat Yunani yang paling terkenal yang membahas tema cinta, Plato menjawab kritik Socrates bahwa eros dapat membantu jiwa-jiwa menyadari keindahan, dan membantu memahami kebenaran spiritual, bentuk ideal dari keindahan yang membawa manusia ke dalam nafsu erotis - dengan demikian menekankan bahwa cinta yang berbasis sensualitas tetap berpegang pada sifatnya yang non-fisik dan spiritualis; sampai pada pemahaman yang mengarah pada transendensi. 

(soal transendensi, cari saja di google ya, kepanjangan kalau dijelaskan di sini.)

     2. Philia. Philia didefiniskan sebagai cinta yang sifatnya mental. Philia juga diasosiasikan sebagai cinta antarsahabat di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Cinta semacam ini sifatnya 'memberi dan menerima'. Philia menurut Aristoteles, adalah cinta yang sifatnya penuh kebajikan dan tidak bersifat agresif. Philia dapat diterapkan pada sahabat, teman, keluarga, dan masyarakat, dan memerlukan kebajikan, prinsip kesetaraan dan kedekatan. Di dalam teks-teks kuno, philos digunakan untuk menyebut cinta secara umum, digunakan antarkeluarga, antarteman, dan juga kesukaan pada sebuah aktivitas atau barang tertentu. 

     3. Agape. Agape berarti cinta di dalam sifatnya yang spiritual. Di dalam kata s'agapo (Σ'αγαπώ), yang berarti "aku mencintaimu" di dalam bahasa Yunani Kuno, seringkali dikaitkan dengan 'cinta yang tak bersyarat'. Cinta semacam ini tidak mementingkan diri sendiri; cinta ini memberi dan tidak mengharapkan diberi. Agape digunakan di dalam Alkitab, 1 Korintus 13 sebagai "ayat-ayat cinta"; dan dijelaskan di seluruh Perjanjian Baru sebagai cinta yang penuh pengorbanan. Tidak peduli apakah cinta itu terbalas atau tidak, orang yang mencintai secara agape terus mencintai tanpa merasa perlu dicintai. Agape juga digunakan di dalam teks-teks kuno untuk menggambarkan cinta kepada istri/suami atau anak. Agape juga digunakan secara ekstensif di dalam Kekristenan untuk menggambarkan kasih Tuhan yang tak bersyarat.  

     4. Storge, berarti "rasa sayang" di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Storge adalah cinta yang sifatnya alamiah, seperti yang dirasakan orangtua kepada anak mereka. Kata ini jarang digunakan di dalam teks-teks kuno, dan hampir selalu digunakan untuk menggambarkan cinta diantara anggota keluarga. Kata ini juga digunakan untuk mengekspresikan penerimaan atas sesuatu, dan bahkan kadang-kadang bersifat sindiran, seperti "mencintai tiran". 

     Demikianlah definisi cinta menurut filsafat Yunani yang saya tahu. Jadi, yang manakah cintamu?

.