Maskulinitas dan
Konteksnya dalam Jerman Masa Kini
Oleh Wishnu Wardhana
Maskulinitas
adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat dasar
manusia yang berjenis kelamin pria sesuai dengan konstruksi yang dibangun di
masyarakat. Maskulinitas ini (dan juga feminitas pada wanita) bukanlah sebuah
konstruksi biologis, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui pengalaman dan
pembinaan melalui proses sosialisasi. Dalam masyarakat pada umumnya yang
menganut budaya patriarkis, sifat-sifat maskulinitas ini pada umumnya
digambarkan sesuai dengan ciri-ciri fisik pria (sebagai suatu konstruksi
biologis); pria memiliki massa otot yang lebih besar, sehingga diharapkan
dengan keadaannya yang demikian itu, manusia yang berjenis kelamin pria tadi
dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang dibebankan kepadanya melalui
sifat-sifat khas maskulinitas, diantaranya fisik yang kuat (tubuh berotot) dan
mental yang lebih tahan terhadap tekanan. Secara mental, pria diharapkan untuk menjadi
seorang yang intelektual dan dapat hidup di dalam konteks individualis. Hal ini
berarti, pria diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan
masalahnya sendiri. Penggambaran sifat maskulinitas yang demikian ini dapat
ditemui dalam berbagai bentuk, misal salah satu contoh yang baik adalah tokoh Marlboro Man, seorang koboi, dalam iklan
rokok Marlboro. Dalam iklan yang
berbentuk video tersebut, digambarkan seorang koboi yang senantiasa memakai
topi koboi dan menggembalakan ternaknya sendirian. Secara fisik, ia juga
terlihat memiliki struktur tubuh yang ideal dan kokoh. Hal yang menarik disini
adalah bagaimana sang Marlboro Man
selalu digambarkan dalam iklan tersebut sendirian, padahal pekerjaan
menggembalakan ternak di padang rumput bukanlah pekerjaan yang mudah dan
mustahil dilakukan oleh satu orang saja. Disinilah muncul harapan masyarakat melalui
penerapan sifat-sifat maskulinitas, salah satunya adalah pria yang harus dapat
mengatasi masalahnya sendiri (The Lone
Hero).
Sifat
maskulinitas tentu berbeda dengan sifat feminitas, yang menempatkan wanita
(sebagai suatu konstruksi biologis) di dalam sebuah konteks sosial; wanita
diharapkan untuk tetap berhubungan secara intens dan kontinyu dengan individu
lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan mengatasi masalahnya. Hal ini bukan
berarti pria tidak dapat ditempatkan dalam konteks sosial, namun penempatan itu
memiliki porsi yang jauh lebih besar dari pria.
Maskulinitas
sendiri merupakan sebuah konstruksi yang bersifat terbuka dan senantiasa
berubah mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, di abad 17 maskulinitas ideal
secara fisik adalah bertubuh ramping dan berambut panjang, dan secara mental
adalah memiliki sikap yang lembut. Hal ini tentu berbeda jauh dengan
maskulinitas di masa kini yang telah digambarkan di atas; kuat, berotot, dan tangguh
secara mental. Ketika ditempatkan dalam konteks seksual, maskulinitas memiliki
subtema yang berbeda, diantaranya:
1.
Tipe gladiator-retro man: pria yang secara
seksual aktif dan memegang kontrol.
2.
Tipe protector: pria pelindung dan penjaga.
3.
Tipe clown of boffoon: pria yang mengutamakan persamaan
dalam menjalin hubungan dan menghormati
wanita serta bersikap gentleman.
4.
Tipe gay-man: pria
yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual.
5.
Tipe wimp: jenis
pria yang lemah dan pasif
Namun kelima
tipe ini adalah maskulinitas yang ditempatkan dalam konteks seksual dan bukan
secara umum, sehingga tidak dapat diterapkan dalam konteks lainnya, misalnya
konteks sosial, politik dan lain sebagainya.
Di
dalam kajian budaya, maskulinitas dalam konteks sosial dibagi menjadi dua,
yaitu maskulinitas hegemonis dan maskulinitas subordinat.
Maskulinitas
hegemonis adalah keadaan yang menjadikan maskulinitas itu mendominasi kehidupan
sosial; berarti, pria (sebagai suatu konstruksi biologis) diharapkan memiliki
sifat-sifat maskulinitas yang telah disebutkan diatas dan juga memimpin
masyarakat melalui keunggulan hakikatnya tersebut. Keadaan ini sangat mungkin
terjadi dalam masyarakat yang berbudaya patriarkis.
Sedangkan,
maskulinitas subordinat adalah keadaan yang tetap mempertahankan pandangan
masyarakat mengenai pria yang harus memiliki sifat-sifat maskulinitas, namun
dalam konteks sosial, pria tidak memiliki posisi sebagai pemimpin mutlak, namun
fungsi-fungsi juga dapat dipenuhi oleh manusia yang berjenis kelamin wanita.
Maskulinitas
dalam Konteks Jerman Masa Kini
Menurut
Geert Hofstede, seorang peneliti yang meneliti sifat-sifat maskulinitas dan
feminitas di seluruh dunia, sebuah masyarakat dapat dikatakan maskulin apabila
perkembangan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh kompetisi, pencapaian materi
dan kesuksesan. Di Jerman, sifat ini telah dikembangkan sejak masa sekolah,
dimana murid-murid dibagi ke dalam sistem pendidikan yang berbeda menurut
kemampuannya setelah Grundschule
(sekolah dasar), dan terus berlanjut ke dalam dunia kerja melalui perilaku
kolektif dan organisatoris. Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, sifat
maskulinitas secara mental salah satunya digambarkan tangguh dan dapat
menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan sendiri. Baik secara individual
maupun kolektif, sifat-sifat maskulinitas jelas terlihat dalam cara hidup
masyarakat Jerman.
Sedangkan
masyarakat feminis menganggap nilai-nilai yang utama adalah perhatian kepada
manusia lain dan perjuangan untuk perbaikan kualitas hidup. Sebuah masyarakat
feminis menganggap kualitas hidup (bukan secara materi namun lebih kepada sifat
nonmateri) adalah tanda kesuksesan dan menjadi individu yang menonjol bukanlah
sesuatu yang diwajibkan untuk meraih perhatian dan penghormatan dari manusia
lain.
Berhubungan
dengan sifat maskulinitas dalam konteks sosial, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Jerman menganut budaya maskulinitas subordinat. Meskipun dalam
masyarakatnya masih mengharapkan nilai-nilai tradisional dari maskulinitas,
namun dalam konteks sosial pria tak lagi memegang kekuasaan mutlak, sehingga
banyak wanita yang memegang kendali sosial, seperti misalnya kanselir Jerman
Angela Merkel, yang merupakan seorang wanita.
Kesimpulan
Setelah
mengkaji berbagai definisi maskulinitas, ciri-ciri maskulinitas baik secara
fisik maupun secara mental, dan memperhatikan konteks sosial masyarakat Jerman,
dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat maskulinitas secara umum sangat sesuai
dengan konteks sosial masyarakat Jerman. Jerman merupakan sebuah negara yang
sangat menjunjung tinggi pencapaian material sebagai hasil dari kompetisi dan
perjuangan untuk meningkatkan kemampuan individual. Secara singkat,
maskulinitas di Jerman dapat disimpulkan menjadi: “Sifat-sifat dasar manusia
yang berjenis kelamin pria yang diharapkan masyarakat, yang memiliki ciri fisik
kuat dan berotot, bermental tangguh, dan berorientasi pada kesuksesan materi,
namun tidak memegang kendali mutlak dalam konteks sosial.”
Sumber
-
Kurnia, Novi. Representasi Maskulinitas dalam Iklan.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Volume 8, Nomor 1). Jakarta: 2004
-
http://geert-hofstede.com/germany.html
(diakses pada 10/05/2014 pada pukul 13.25)
-
http://www.clearlycultural.com/geert-hofstede-cultural-dimensions/masculinity/
(diakses pada 10/05/2014 pukul 13.27)
No comments:
Post a Comment