Saturday, May 10, 2014

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini
Oleh Wishnu Wardhana

            Maskulinitas adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria sesuai dengan konstruksi yang dibangun di masyarakat. Maskulinitas ini (dan juga feminitas pada wanita) bukanlah sebuah konstruksi biologis, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui pengalaman dan pembinaan melalui proses sosialisasi. Dalam masyarakat pada umumnya yang menganut budaya patriarkis, sifat-sifat maskulinitas ini pada umumnya digambarkan sesuai dengan ciri-ciri fisik pria (sebagai suatu konstruksi biologis); pria memiliki massa otot yang lebih besar, sehingga diharapkan dengan keadaannya yang demikian itu, manusia yang berjenis kelamin pria tadi dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang dibebankan kepadanya melalui sifat-sifat khas maskulinitas, diantaranya fisik yang kuat (tubuh berotot) dan mental yang lebih tahan terhadap tekanan. Secara mental, pria diharapkan untuk menjadi seorang yang intelektual dan dapat hidup di dalam konteks individualis. Hal ini berarti, pria diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Penggambaran sifat maskulinitas yang demikian ini dapat ditemui dalam berbagai bentuk, misal salah satu contoh yang baik adalah tokoh Marlboro Man, seorang koboi, dalam iklan rokok Marlboro. Dalam iklan yang berbentuk video tersebut, digambarkan seorang koboi yang senantiasa memakai topi koboi dan menggembalakan ternaknya sendirian. Secara fisik, ia juga terlihat memiliki struktur tubuh yang ideal dan kokoh. Hal yang menarik disini adalah bagaimana sang Marlboro Man selalu digambarkan dalam iklan tersebut sendirian, padahal pekerjaan menggembalakan ternak di padang rumput bukanlah pekerjaan yang mudah dan mustahil dilakukan oleh satu orang saja. Disinilah muncul harapan masyarakat melalui penerapan sifat-sifat maskulinitas, salah satunya adalah pria yang harus dapat mengatasi masalahnya sendiri (The Lone Hero).
            Sifat maskulinitas tentu berbeda dengan sifat feminitas, yang menempatkan wanita (sebagai suatu konstruksi biologis) di dalam sebuah konteks sosial; wanita diharapkan untuk tetap berhubungan secara intens dan kontinyu dengan individu lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan mengatasi masalahnya. Hal ini bukan berarti pria tidak dapat ditempatkan dalam konteks sosial, namun penempatan itu memiliki porsi yang jauh lebih besar dari pria.
            Maskulinitas sendiri merupakan sebuah konstruksi yang bersifat terbuka dan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, di abad 17 maskulinitas ideal secara fisik adalah bertubuh ramping dan berambut panjang, dan secara mental adalah memiliki sikap yang lembut. Hal ini tentu berbeda jauh dengan maskulinitas di masa kini yang telah digambarkan di atas; kuat, berotot, dan tangguh secara mental. Ketika ditempatkan dalam konteks seksual, maskulinitas memiliki subtema yang berbeda, diantaranya:
1.       Tipe gladiator-retro man: pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol.
2.       Tipe protector: pria pelindung dan penjaga.
3.       Tipe clown of boffoon: pria yang mengutamakan persamaan dalam menjalin     hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman.
4.      Tipe gay-man: pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual.
5.      Tipe wimp: jenis pria yang lemah dan pasif

Namun kelima tipe ini adalah maskulinitas yang ditempatkan dalam konteks seksual dan bukan secara umum, sehingga tidak dapat diterapkan dalam konteks lainnya, misalnya konteks sosial, politik dan lain sebagainya.
            Di dalam kajian budaya, maskulinitas dalam konteks sosial dibagi menjadi dua, yaitu maskulinitas hegemonis dan maskulinitas subordinat.
            Maskulinitas hegemonis adalah keadaan yang menjadikan maskulinitas itu mendominasi kehidupan sosial; berarti, pria (sebagai suatu konstruksi biologis) diharapkan memiliki sifat-sifat maskulinitas yang telah disebutkan diatas dan juga memimpin masyarakat melalui keunggulan hakikatnya tersebut. Keadaan ini sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang berbudaya patriarkis.
            Sedangkan, maskulinitas subordinat adalah keadaan yang tetap mempertahankan pandangan masyarakat mengenai pria yang harus memiliki sifat-sifat maskulinitas, namun dalam konteks sosial, pria tidak memiliki posisi sebagai pemimpin mutlak, namun fungsi-fungsi juga dapat dipenuhi oleh manusia yang berjenis kelamin wanita.

Maskulinitas dalam Konteks Jerman Masa Kini

            Menurut Geert Hofstede, seorang peneliti yang meneliti sifat-sifat maskulinitas dan feminitas di seluruh dunia, sebuah masyarakat dapat dikatakan maskulin apabila perkembangan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh kompetisi, pencapaian materi dan kesuksesan. Di Jerman, sifat ini telah dikembangkan sejak masa sekolah, dimana murid-murid dibagi ke dalam sistem pendidikan yang berbeda menurut kemampuannya setelah Grundschule (sekolah dasar), dan terus berlanjut ke dalam dunia kerja melalui perilaku kolektif dan organisatoris. Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, sifat maskulinitas secara mental salah satunya digambarkan tangguh dan dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan sendiri. Baik secara individual maupun kolektif, sifat-sifat maskulinitas jelas terlihat dalam cara hidup masyarakat Jerman.
            Sedangkan masyarakat feminis menganggap nilai-nilai yang utama adalah perhatian kepada manusia lain dan perjuangan untuk perbaikan kualitas hidup. Sebuah masyarakat feminis menganggap kualitas hidup (bukan secara materi namun lebih kepada sifat nonmateri) adalah tanda kesuksesan dan menjadi individu yang menonjol bukanlah sesuatu yang diwajibkan untuk meraih perhatian dan penghormatan dari manusia lain.
            Berhubungan dengan sifat maskulinitas dalam konteks sosial, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jerman menganut budaya maskulinitas subordinat. Meskipun dalam masyarakatnya masih mengharapkan nilai-nilai tradisional dari maskulinitas, namun dalam konteks sosial pria tak lagi memegang kekuasaan mutlak, sehingga banyak wanita yang memegang kendali sosial, seperti misalnya kanselir Jerman Angela Merkel, yang merupakan seorang wanita.

Kesimpulan

            Setelah mengkaji berbagai definisi maskulinitas, ciri-ciri maskulinitas baik secara fisik maupun secara mental, dan memperhatikan konteks sosial masyarakat Jerman, dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat maskulinitas secara umum sangat sesuai dengan konteks sosial masyarakat Jerman. Jerman merupakan sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi pencapaian material sebagai hasil dari kompetisi dan perjuangan untuk meningkatkan kemampuan individual. Secara singkat, maskulinitas di Jerman dapat disimpulkan menjadi: “Sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria yang diharapkan masyarakat, yang memiliki ciri fisik kuat dan berotot, bermental tangguh, dan berorientasi pada kesuksesan materi, namun tidak memegang kendali mutlak dalam konteks sosial.”

Sumber

-          Kurnia, Novi. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Volume 8, Nomor 1). Jakarta: 2004
-          http://geert-hofstede.com/germany.html (diakses pada 10/05/2014 pada pukul 13.25)
-          http://www.clearlycultural.com/geert-hofstede-cultural-dimensions/masculinity/ (diakses pada 10/05/2014 pukul 13.27)


No comments:

Post a Comment