Friday, April 17, 2015

Filsafat Jawa: Mulat Sariro Hangrosowani

     Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang sangat luas dan beragam. Mulai dari Brebes-Cilacap di ujung barat hingga Banyuwangi di ujung timur, terdapat berbagai macam interpretasi terhadap nilai-nilai universal kebudayaan Jawa. Oleh karenanya, kita mengenal berbagai macam variasi kebudayaan Jawa, seperti Jawa Surakarta (Solo) yang sangat halus dan sopan, hingga Jawa Suroboyoan yang bisa dikatakan agak 'keras'.

     Nah, dalam kesempatan ini saya ingin sedikit berbagi mengenai wisdom atau nilai kebijaksanaan yang terkandung di dalam kebudayaan Jawa, lebih tepatnya kebudayaan Jawa Surakarta. Falsafah ini masih banyak dianut hingga sekarang, terutama oleh orang-orang tua. Salah satu wisdom yang cukup terkenal adalah istilah yang sering terdengar di masa Orde Baru yaitu Mulat Sariro Hangrosowani. Pada artikel ini saya akan mengulas mengenai frase tersebut.

     Mulat Sariro Hangrosowani sebenarnya adalah bagian dari trilogi ungkapan yang pada awalnya digunakan dalam konteks pembelaan negara, yaitu:

(1) Rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki)
(2) Rumangsa wajib hangrungkebi (merasa wajib membela)
(3) Mulat Sariro Hangrosowani (mawas diri)

     Dua ungkapan pertama saya pikir tak perlu dijelaskan lagi, sehingga menyisakan ungkapan ketiga. Apakah yang disebut mawas diri itu? Mawas diri dapat dikatakan juga adalah introspeksi, apakah dalam kehidupan kita pernah melakukan kesalahan, sehingga melalui introspeksi itu kita dapat mengetahui apa yang masih kurang di dalam diri kita dan dapat memperbaikinya. Mawas diri juga dapat diartikan sebagai tahu diri, agar kita dapat mengukur kemampuan diri sendiri dan tidak melakukan hal-hal yang di luar kemampuan.

     Ajaran untuk mawas diri ini saya rasa bersifat universal, seperti misalnya dalam agama (Islam) dikenal yang namanya muhasabah, yang tujuannya kurang lebih sama yaitu introspeksi diri.

    Lalu, saya mengangkat topik ini karena merasa, bahwa manusia di zaman modern ini semakin meninggalkan ajaran ini, sehingga banyak yang lupa pada kemampuan diri sendiri sehingga melakukan hal-hal yang di luar batas kemampuannya. Hal ini tentu tidak baik bagi perkembangan kehidupan diri orang itu sendiri maupun orang di sekitarnya, karena cenderung memaksakan diri untuk mencapai target dan melupakan hal lain yang sebenarnya juga penting.

      Berikut contoh yang saya ajukan sebagai perilaku orang-orang yang kurang berhasil dalam menerapkan ajaran Mulat Sariro Hangrosowani ini:

Contoh 1:
      Presiden A adalah presiden yang berkuasa di sebuah negara yaitu negara X. Sebagai seorang presiden, ia juga merupakan seorang ketua dewan pembina dari sebuah partai besar yang turut ia dirikan dan besarkan hingga menjadi partai penguasa. Jabatan ketua dewan pembina pada umumnya bersifat simbolis sehingga tidak mengganggu tugas dan fungsi jabatannya sebagai Presiden dan Kepala Negara. Suatu hari, karena terjadi konflik internal di partainya, ketua umum yang menjabat di partai terpaksa mundur dan terjadi kekosongan kepemimpinan. Kader-kader partai meminta sang presiden untuk 'turun gelanggang' dan bersedia menjabat sebagai ketua umum untuk 'menyelamatkan' partai. Beliau bersedia dan akhirnya dilantik menjadi ketua umum partai tersebut. Dalam perjalanannya, beliau kesulitan untuk membagi waktu antara tugas sebagai Presiden dan ketua partai, sehingga terjadi masalah dalam pemerintahan dan kinerja partai. Dalam hal ini, sang Presiden A telah gagal dalam mengukur kemampuan dirinya, yang pada akhirnya membuatnya kesulitan untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan.
 
Contoh 2:
      B adalah seorang staf marketing di sebuah perusahaan kecil di kota J. B adalah seorang karyawan yang fokus dan berdedikasi penuh kepada perusahaan sehingga atasannya memiliki penilaian baik terhadap dirinya dan mempercayakan kepada B untuk mewakili perusahaan untuk menjamu klien penting dari negara asing. Tak mau gagal dalam menjamu klien, B menghabiskan setengah gajinya untuk menjamu klien tersebut di sebuah restoran mewah di pusat kota. Sayang seribu sayang, karena proposal yang diajukan kurang menarik, sang klien memutuskan untuk tidak memberikan kontrak kepada perusahaan tersebut, yang berarti kegagalan bagi B. B disini telah gagal dalam mengukur kemampuan finansialnya, yang memaksanya berhutang kepada teman satu kosnya untuk menutupi biaya hidupnya sampai akhir bulan.

Contoh 3:
     C adalah seorang mahasiswa yang berkuliah pada semester akhir pada universitas I. C berniat untuk menambah pengalaman kerjanya sehingga ia melamar pada sebuah perusahaan sebagai seorang trainee. Dalam masa kerjanya, ia juga sambil mengerjakan tugas akhir sehingga perusahaan memberi kelonggaran untuk mengambil satu hari libur di hari kerja untuk menemui dosen pembimbing dan mengurus skripsinya. Dalam perjalanannya, pada hari pertemuan dengan dosen pembimbing yang telah ditentukan, atasannya memintanya untuk menghadiri sebuah rapat yang sangat penting. Dihadapkan pada dua pilihan yang sama pentingnya, C terpaksa mengundurkan pertemuannya dengan dosen pembimbing, yang berakibat tertundanya penyelesaian tugas akhir hingga ia gagal menyelesaikan tugas akhir sampai batas waktu yang ditentukan. C telah gagal mengukur kemampuan dirinya untuk membagi waktu, sehingga ia terpaksa mengorbankan tugas akhirnya demi statusnya sebagai karyawan trainee.

Demikian adalah tiga contoh dari manusia yang kurang bisa menerapkan ajaran Mulat Sariro Hangrosowani dalam kehidupannya. Bukannya saya mengajarkan agar orang tidak berusaha semaksimal mungkin dalam usahanya, namun dalam usaha itu harus dibarengi dengan berintrospeksi sehingga kita mengetahui batas kemampuan diri kita sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang melampaui batas. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari contoh yang ada.