Thursday, March 14, 2013

Popular Culture as Global Culture

     Kelompok saya dalam mata kuliah Budaya Jerman Kontemporer mendapat tugas untuk mempresentasikan materi dari bab 8 yang berjudul Popular Culture as Global Culture. Karena materinya dalam bahasa Inggris, saya berusaha menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Semoga dapat menambah pengetahuan Anda, para pembaca juga.

Bab 8: Budaya Populer Sebagai Budaya Global
diterjemahkan oleh Willy Mandagi  

Globalisasi
     Globalisasi adalah nama yang diberikan kepada sebuah hubungan rumit yang menjadi ciri utama dunia di abad ke dua puluh satu. Globalisasi merujuk kepada aliran modal, komoditas, dan komunikasi secara mendunia dan terus-menerus melintasi perbatasan negara-negara yang tampaknya semakin semu. Perbatasan antar-negara menjadi semakin dan semakin tidak penting ketika perusahaan internasional, yang terdapat dimana saja, berbisnis didalam satu ekonomi global.
     Globalisasi juga menjelaskan apa yang disebut "penyempitan ruang dan waktu" (Harvey 1990:240): Sebuah keadaan dimana dunia terlihat seperti mengkerut karena dampak media elektronik yang baru, seperti TV satelit dan internet, yang membantu perluasan hubungan sosial melintasi ruang dan waktu. Ruang dan waktu tidak lagi menentukan jarak hubungan manusia. Dekat atau jauh tidak lagi menentukan dengan siapa saya berkomunikasi. Media elektronik (faksimile, telefon, e-mail, internet) memberikan saya akses ke dunia yang jauh melampaui masyarakat lokal dimana kita tinggal. Saya bisa berkomunikasi lebih banyak dengan orang di Taiwan, Australia, Jerman, Amerika Serikat, melalui e-mail, daripada dengan tetangga yang tinggal 200 meter dari rumah saya. Dalam konteks ini, hubungan manusia secara global bisa jadi lebih lokal daripada hubungan lokal yang sebenarnya. Secara bersamaan, berita di televisi memberikan saya informas dan gambar mengenai kejadian-kejadian yang terjadi ribuan mil dari tempat saya tinggal. Kecuali saya membaca koran 'lokal' atau menonton berita 'lokal', sepertinya saya akan lebih mengetahui berita yang 'global' daripada berita yang 'lokal'.
     Penyempitan ruang dan waktu mendekatkan gambar-gambar, pengertian, cara hidup, perilaku kebudayaan, yang sebetulnya terpisah secara nyata oleh ruang dan waktu tadi. Keadaan ini dapat menimbulkan pengalaman kebudayaan tertentu yang homogen atau penolakan terhadap kebudayaan global untuk mempertahankan cara hidup 'lokal' yang sebelumnya dianut, atau juga dapat menimbulkan percampuran kebudayaan, membentuk semacam bentuk 'hibridisasi' (percampuran, red.). Hibridisasi juga tidak boleh disebut sebagai nama lain dari 'mendukung imperialisme kebudayaan'; toh pada kenyataannya, masyarakat dan kebudayaan Barat juga menyerap dan mengadopsi perilaku kebudayaan dari berbagai tempat.
     Salah satu dampak globalisasi ini dapat dirasakan hanya dengan berjalan-jalan di jalanan 'lokal', dimana terdapat barang-barang 'lokal' yang dikumpulkan dari berbagai belahan dunia. Kita menghadapi kebudayaan global dalam pakaian yang kita kenakan, musik yang kita dengarkan, program televisi dan film yang kita tonton. Contohnya, keberagaman kuliner di sebagian besar kota-kota di Inggris, dimana 'fish and chips' (makanan khas Inggris, red.) bersaing dengan kari, kebab, sambal, gorengan, pizza dan pasta, adalah contoh tanda-tanda globalisasi telah menyentuh tempat tersebut. Sangat mudah untuk berargumen bahwa kita tidak diberikan akses untuk menikmati makanan yang 'asli', tetapi 'asli' atau tidak (dan seberapa jauh sebuah makanan bisa disebut asli?), makanan itu bahkan bisa dianggap sebagai makanan asli daerah lain, contohnya, India, Afrika Timur, Thailand, Turki, Meksiko, Cina, dan Italia. Keberagaman ini tentu saja telah mengubah pengalaman kebudayaan mengenai makanan (juga makanan yang takeaway/dibawa pulang, red.), sampai-sampai masakan tikka masala (yang berasal dari India, red.) sekarang dianggap sebagai masakan Inggris yang paling populer. 
     Globalisasi juga merujuk kepada perpindahan manusia secara global yang semakin meningkat intensitasnya. Globalisasi bisa memaksa pekerja untuk pindah ribuan mil untuk mencari pekerjaan. Ambillah contoh yang paling umum seperti sepakbola. Selama beberapa tahun terakhir ini, Liga Primer Inggris (sepakbola) telah menampilkan pemain-pemain profesional dari seluruh dunia: Aljazair, Argentina, Australia, Austria, Belgia, Bermuda, Bosnia, Brazil, Bulgaria, Kamerun, Kanada, Chile, Cina, Kolombia, Kongo, Kosta Rika, Kroasia, Republik Ceska, Denmark, Irlandia, Ekuador, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Belanda, Islandia, Israel, Italia, Jamaika, Jepang, Latvia, Liberia, Maroko, Nigeria, Irlandia Utara, Norwegia, Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Skotlandia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Trinidad, Turki, Ukraina, Uruguay, Amerika Serikat, Venezuela, Wales dan Yugoslavia. Pemain-pemain sepakbola profesional yang berpergian ke seluruh dunia untuk mencari pekerjaan tentu saja adalah bentuk imigran kerja yang paling makmur dan glamor, tetapi, tidak dapat dipungkiri lagi, mereka adalah bagian dari ekonomi global.

Berdagang Komoditas Kebudayaan Didalam "Desa Global Amerika"
     Satu pandangan dominan terhadap globalisasi adalah pandangan yang menganggapnya sebagai sebuah proses homogenisasi, sampai seluruh dunia akan menjadi sebuah "Desa Global Amerika" (McLuhan 1967), dimana semua orang akan berbahasa Inggris, dengan aksen Amerika, mengenakan jeans Levi dan kemeja Wrangler, minum Coca-Cola, makan di McDonald, menjelajah Internet dengan komputer yang dipenuhi perangkat lunak Microsoft, mendengarkan musik rock atau country, dan menyaksikan program televisi campuran antara MTV, siaran berita CNN, film-film Hollywood, tayangan ulang Dallas (serial bersambung yang tayang di Amerika, red.), dan mendiskusikan sambil meramal World Series (kejuaraan baseball Amerika, red), sementara minum sebotol Budweiser atau Miller (merek bir, red.) dan merokok Marlboro. Dalam skenario seperti ini, globalisasi dipandang sebagai Amerikanisasi yang sukses secara global, dimana didalamnya kesuksesan ekonomi kapitalisme Amerika didukung oleh karya-karya ideologis, bahwa komoditas Amerika dianggap telah sukses merusak kebudayaan lokal dan memaksakan cara hidup khas Amerika pada penduduk 'lokal'.
     Sosiolog Amerika Herbert Schiller (1979) contohnya, mengklaim bahwa kemampuan perusahaan-perusahaan internasional asal Amerika mengekspor komoditasnya secara sukses ke seluruh dunia telah menimbulkan sebuah kebudayaan global kapitalis Amerika. Peran media, menurutnya, adalah untuk membuat program-program yang 'menyajikan dalam penggambaran dan pesan-pesan yang ditampilkan, kepercayaan dan perspektif yang dipaksakan terhadap penontonnya, yang mempengaruhi pandangan mereka dalam sebuah sistem secara keseluruhan' (30). Dalam konteks komoditas apa saja yang beredar di seluruh dunia dan menjadi bagian dari kebudayaan dunia, tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar komoditas tersebut berasal dari Amerika. Meskipun keadaan ini menunjukkan kekuatan ekonomi Amerika, tetapi tidak dapat membuktikan bahwa kebudayaan global adalah semata-mata kebudayaan Amerika.
     Terdapat masalah yang mendasar dengan pendapat yang menyatakan bahwa keberagaman kebudayaan dunia secara perlahan telah menyempit menjadi sebuah kebudayaan "Desa global" yang khas Amerika. Contohnya, globalisasi yang dianggap sebagai Amerikanisasi disebutkan memiliki pengaruh yang lebih besar dari yang sesungguhnya terjadi. Globalisasi hanya menimbulkan asumsi bahwa memang dimungkinkan untuk menerapkan kebudayaan yang dominan dan mendunia kedalam kebudayaan lokal yang lemah dan, dengan hal itu, kebudayaan yang didominasi tadi akan membentuk sebuah replika kebudayaan yang mendominasinya. Sekarang memang benar apabila dikatakan bahwa globalisasi adalah cara yang ampuh untuk mengendalikan dunia dalam hal ekonomi dan jumlah komoditas, namun menyatakan bahwa globalisasi menimbulkan satu kebudayaan global yang terhomogenisasi adalah hal yang sama sekali berbeda. Kebudayaan global yang terhomogenisasi hanya dapat terwujud apabila Anda beranggapan bahwa komoditas (barang-barang materil yang konkrit) dapat disamakan dengan kebudayaan (yang seringkali bersifat abstrak).
     Globalisasi sebagai Amerikanisasi dapat dibatasi dalam aspek-aspek tertentu bahwa kesuksesan ekonomi diasumsikan setara dengan pengaruh kebudayaan: pengakuan akan kesuksesan perusahaan-perusahaan internasional asal Amerika dalam hal mengekspor barang produksi mereka ke berbagai pasar di penjuru dunia dapat dikatakan juga sebagai kesuksesan ideologi yang telah terbukti. Kesuksesan dalam bidang ekonomi setara dengan kesuksesan di bidang kebudayaan; dengan cara ini, kebudayaan di'rendah'kan menjadi sesuatu yang ekonomis, seolah-olah kebudayaan adalah tidak lebih dari manifestasi teori ekonomi yang selalu dapat diandalkan. Globalisasi sebagai Amerikanisasi mengedepankan asumsi bahwa komoditas ekonomi tidak berbeda dengan kebudayaan; hadirkan komoditas dan Anda dapat memprediksi sebuah kebudayaan. Tetapi seperti yang dikatakan John Tomlinson (1999:83), "jika kita berasumsi bahwa keberadaan barang-barang materil belaka adalah tanda-tanda penyatuan dunia kedalam sebuah kebudayaan tunggal yang kapitalis, kita kemungkinan telah mendukung dan memperkuat konsep kebudayaan yang sebenarnya keliru - konsep yang menyamakan kebudayaan dengan barang-barang material". Dalam beberapa kasus, mungkin telah terjadi penggunaan komditas-komoditas tertentu, yang kemudian dianggap bernilai lebih, dan komoditas itu dihargai sebagai cara kapitalisme menjadi sebuah gaya hidup, tetapi tidak dapat diasumsikan semata-mata kesuksesan ekonomi sama dengan kesuksesan ideologi. Klaim-klaim seperti itu bergantung pada argumen yang menekankan bahwa komoditas materil memiliki nilai dan pengertian yang terkandung di dalamnya yang dipaksakan kepada konsumer yang pasif. Tapi jika kebudayaan adalah pembentukan dan penyampaian sebuah pengertian didalam konteks-konteks tertentu, sulit untuk menerapkan sebuah pengertian dalam berbagai konteks yang berbeda-beda.
     Masalah lainnya dengan asumsi bahwa globalisasi sama dengan Amerikanisasi, adalah bahwa globalisasi itu bekerja dalam bentuk-bentuk konsumsi yang sangat sederhana. Diasumsikan juga bahwa manusia adalah konsumer pasif dari pengertian-pengertian kebudayaan yang muncul secara langsung dan tanpa hambatan dari barang-barang yang mereka konsumsi. Hegemoni, adalah sebuah proses yang rumit dan kontradiktif: hegemoni tidak sama dengan menanamkan "kesadaran palsu/false consciousness" kepada konsumen. Hegemoni juga jelas-jelas tidak dijelaskan oleh asumsi yang menyatakan bahwa "hegemoni dikemas di Los Angeles, dikirimkan ke seluruh dunia, dan dibuka oleh pikiran-pikiran yang tidak berdosa (maksudnya disini, tidak memiliki asumsi apa-apa akan 'hegemoni' tersebut) (Liebes dan Katz 1993: xi). Apa peran kita dalam kesuksesan "hip hop" secara global? Apakah rapper Afrika Selatan, Prancis atau Inggris merupakan korban dari imperialisme Amerika, korban kebudayaan dari industri musik internasional? Asumsi seperti ini agaknya sulit dipertahankan. Pendekatan yang lebih menarik mengenai hal ini adalah untuk meneliti bagaimana pemuda Afrika Selatan, Prancis atau Inggris telah menyesuaikan hip-hop kedalam kebutuhan dan keinginan mereka.
     Pendapat diatas bukanlah untuk menyangkal bahwa kapitalisme telah berhasil - pada kenyataannya kapitalisme memang berhasil, menjual barang, meraih keuntungan - tetapi untuk menyangkal asumsi yang menyatakan bahwa kesuksesan kapitalisme adalah hasil dari pemikiran orang-orang yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa apabila mereka meminum Coca-Cola dan mengenakan jeans Levi, kebudayaan mereka sendiri akan musnah dan mereka akan menjadi ter-Amerikanisasi. Cara yang lebih baik untuk memahami proses globalisasi adalah dengan meneliti bukan hanya kekuatan global, namun juga kekuatan lokal. Pendapat ini bukan untuk menyangkal kekuasaan, tetapi untuk menekankan bahwa politik, yang didalamnya orang biasa dianggap bisu dan juga merupakan korban pasif dari sebuah proses yang tidak akan pernah mereka mengerti, politik yang juga menolak perwakilan dari kelompok mayoritas (atau setidaknya hanya mengakui aktivitas-aktivitas tertentu sebagai tanda-tanda perwakilan), adalah politik yang tetap dapat eksis tanpa betul-betul menimbulkan masalah terhadap struktur kekuasaan global yang berkuasa.
     Sekarang, memang benar bahwa apabila kita bepergian keliling dunia, kita tidak akan pernah jauh dari setidaknya satu tanda keberadaan barang materil asal Amerika. Yang tidak benar adalah bahwa barang materil, yang tersebar di seluruh dunia itu, sama dengan kebudayaan. Globalisasi bukan semata-mata merupakan proses produksi sebuah "desa global Amerika", dimana hal-hal yang bersifat khusus digabungkan kedalam satu hal yang bersifat universal. Proses globalisasi adalah jauh lebih rumit dan kontradiktif, yang mengikutsertakan kekuatan-kekuatan pemersatu dan pemisah, dan penyamaan esensi antara kebudayaan 'global' dan 'lokal' untuk menghasilkan sebuah budaya campuran (hybrid). Roland Robertson (1995) menggunakan istilah "glokalisasi" (istilah yang dipinjamnya dari dunia bisnis Jepang) untuk menjelaskan globalisasi sebagai interpretasi hal-hal yang sifatnya global dan lokal secara terus-menerus. Dengan kata lain, barang yang diekspor selalu terdapat dalam konteks dari barang-barang yang terlebih dahulu ada; sehingga, barang-barang ekspor selalu menjadi barang-barang impor juga, ketika mereka diserap kedalam kebudayaan lokal.
     Untuk memandang globalisasi sebagai Amerikanisasi adalah mengulangi banyak cara berpikir yang kita hadapi dalam diskusi kebudayaan populer sebagai kebudayaan massal (lihat bab 2). Pada dasarnya, cara pandang yang demikian adalah sebuah metode analisis yang menganggap bahwa komoditas budaya membawa pesan yang manipulatif, dengan mudah dapat dipaksakan kepada masyarakat, dan kemudian membawa masyarakat kedalam jaringan produsen yang telah mendunia. Untungnya, konsumsi tidak semudah itu: Produksi global yang dihasilkan sebuah industri kebudayaan selalu dikonsumsi oleh orang-orang yang tergabung dalam komunitas-komunitas lokal. Dengan demikian, konsumsi adalah selalu mengenai pertemuan antara materialitas sebuah komoditas kebudayaan dengan bentuk-bentuk kebudayaan yang dimiliki seorang konsumen, yang terjadi dalam konteks tertentu. Apakah hasilnya adalah penerimaan secara manipulatif atau penolakan, atau campuran yang rumit antara keduanya, adalah sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab sebelum terjadi pertemuan yang nyata antara keduanya.
     Globalisasi sebagai Amerikanisasi juga berasumsi bahwa kebudayaan dapat dihitung sebagai entitas usang yang berbeda-beda, terpisah secara absolut satu sama lain sampai munculnya kebudayaan global yang mempersatukan. Untuk menentang pandangan seperti itu, Ien Ang (1996:153) menekankan bahwa:


Hal-hal global dan lokal tidak dapat dianggap sebagai dua kenyataan yang berbeda dan saling bertentangan, tetapi sebagai dua kenyataan yang diterjemahkan secara rumit dan saling melengkapi. Pengaruh global hanya efektif dalam lingkungan lokal tertentu; kenyataan lokal sekarang tidak dapat lagi dianggap berada diluar pengaruh global, baik atau buruk.

     Jan Nederveen Pieterse (1995:45) juga melontarkan pendapat yang sama: dia berpendapat bahwa globalisasi sebaiknya dipahami sebagai "sebuah proses hibridisasi (pencampuran) yang memunculkan sebuah campuran global." Dia merujuk kepada fenomena-fenomena seperti "Tinju khas Thailand yang diperagakan gadis-gadis Maroko di Amsterdam, rap Asia di London, roti bagel khas Irlandia, taco China dan orang India yang merayakan Mardi Gras di Amerika, atau anak sekolah Meksiko berpakaian toga khas Yunani menari dengan gaya Isadora Duncan" (53). Memandang globalisasi sebagai sebuah proses transfer persamaan adalah sama dengan mengacuhkan banyak hal yang menyertainya.


Hal itu (globalisasi sebagai homogenisasi) mengacuhkan arus baliknya - pengaruh yang ditimbulkan kebudayaan non-Barat kepada kebudayaan Barat. Pendapat itu mengacuhkan dua perasaan yang bertentangan dari momentum globalisasi yang sedang berlangsung dan juga mengacuhkan peran penerimaan lokal terhadap kebudayaan Barat - contohnya, lokalisasi terhadap elemen-elemen kebudayaan barat. Pendapat itu juga gagal menyadari bagaimana kebudayaan non-Barat telah saling mempengaruhi. Pendapat itu tidak memberi ruang kepada kebudayaan campuran - seperti dalam perkembangan 'kebudayaan dunia ketiga' seperti musik dunia. Pendapat itu melebih-lebihkan homogenitas kebudayaan Barat dan mengacuhkan fakta bahwa banyak standar-standar yang diekspor oleh kebudayaan Barat dan industri kebudayaannya ternyata merupakan sebuah standar yang merupakan campuran dari berbagai kebudayaan jika kita meneliti asal-usulnya.

     Globalisasi sebagai Amerikanisasi juga bekerja dengan gagasan yang sangat terbatas mengenai apa yang dapat dianggap 'asing'. Apa yang asing selalu dianggap sebagai masalah perbedaan kebangsaan. Tetapi, sebenarnya hal-hal yang asing itu juga dapat dibagi berdasarkan kelas, etnis, gender, jenis kelamin, atau kriteria-kriteria pembeda sosial lainnya. Kata 'asing' yang terdapat di level nasional mungkin pada kenyataannya menyembunyikan perpecahan didalam bangsa itu sendiri. Dengan kata lain, apa yang dapat disebut 'asing' di level nasional mungkin tidak berarti 'asing' sama sekali menurut kelas atau generasi. Dengan cara ini, apa yang asing yang diimpor dari negara lain bisa jadi 'kurang' asing dari perbedaan yang telah dibentuk oleh kelas atau generasi tertentu. Lebih jauh lagi, barang-barang asing yang diimpor ini dapat digunakan untuk "mengacaukan hirarki selera dan kekuasaan lokal" (Morley 1996:331). Oleh karena itu, globalisasi dapat digunakan untuk menegaskan dan mengacaukan kebudayaan lokal; globalisasi dapat menjaga kebudayaan lokal untuk dapat tetap bertahan atau bisa menghapusnya secara tiba-tiba. Contohnya, pada 1946, berbicara dalam sebuah konferensi rohaniwan Spanyol, Uskup Agung Toledo membayangkan 'bagaimana caranya untuk menangani' apa yang dia sebut:


Demoralisasi diantara wanita yang semakin bertumbuh - yang sebagian besar ditimbulkan oleh adat Amerika yang diperkenalkan oleh cinematograph (semacam bioskop), membuat perempuan-perempuan muda menjadi independen, menghancurkan keluarga, melumpuhkan dan mencela pasangannya di masa depan dan menjadi seorang ibu dengan tindakan-tindakan eksotis yang membuat dirinya menjadi kurang 'wanita' dan mengacaukan rumahnya. (dikutip dalam Tomlinson 1997:123)
     Wanita Spanyol bisa jadi memiliki pandangan yang sama sekali berbeda.
     Ang (1996) memberikan contoh film-film Kung Fu berbahasa Canton yang menghidupkan kembali industri film Hong Kong yang sempat merosot. Film-film ini merupakan gabungan dari cerita 'Barat' yang digabungkan dengan nilai-nilai khas Canton. Seperti yang dia jelaskan:

Berbicara dalam konteks budaya, adalah sulit untuk membedakan disini antara 'asing' dan 'asli', 'imperialis' dan 'otentik': apa yang muncul adalah sebuah bentuk kebudayaan campuran yang sangat berbeda dan sangat menguntungkan secara ekonomis dimana elemen-elemen global dan lokal digabungkan secara erat, yang pada gilirannya membawa kearah semangat modernisasi sebuah kebudayaan yang terus dianggap dan secara luas diakui sebagai "Kebudayaan Canton". Dengan kata lain, apa yang dapat disebut sebagai 'lokal dan 'otentik' bukanlah sebuah materi yang telah secara absolut ditetapkan, namun juga merupakan pelaku perubahan dan modifikasi sebagai hasil domestifikasi kebudayaan asing yang diimpor.

     Globalisasi membawa dua dampak yang saling bertentangan, yaitu persamaan dan perbedaan - sebuah perasaan bahwa dunia menjadi semakin homogen ketika dunia terlihat menyempit seiring ruang dan waktu yang turut menyempit, tapi juga bahwa globalisasi memiliki ciri-ciri dimana setiap orang semakin sadar akan perbedaan-perbedaan diantara mereka. Apa yang di permukaan tampak sebagai sebuah ekspor persamaan selalu melibatkan unsur-unsur global yang diterjemahkan kedalam konsep lokal, dan dalam prosesnya harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan tradisi lokal. Lebih jauh, proses persamaan juga dapat menimbulkan perbedaan. Globalisasi membuat dunia semakin sempit, menciptakan sebuah bentuk kebudayaan campuran baru, tetapi juga membawa cara-cara yang berbeda untuk membuat dunia menjadi jahat, yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Sementara sejumlah orang merayakan pembukaan jalur global baru, orang lain dapat menentang globalisasi atas nama budaya lokal. Penentangan terhadap bentuk-bentuk penerapan unsur-unsur global terhadap budaya global dapat terlihat dari meningkatnya fundamentalisme agama (contohnya dapat ditemukan dalam Kekristenan, Hindu, Islam, dan Yudaisme) dan kebangkitan kembali nasionalisme (baru-baru ini terjadi di bekas Uni Soviet dan bekas Yugoslavia).
     Menolak klaim bahwa globalisasi adalah sama dengan Amerikanisasi secara tersembunyi tidak sama dengan menyatakan bahwa globalisasi muncul tanpa hubungan kekuasaan. Dunia ini telah mengalami banyak pergeseran pusat kekuasaan. Oleh karenanya, aliran kebudayaan tidak lagi dapat dianggap bergerak dari pusat imperialisme Amerika ke satuan-satuan kolonial (dalam hal ini negara-negara dunia ketiga). Meskipun hal ini menyatakan bahwa globalisasi tidak memiliki pusat yang nyata, globalisasi masih memiliki apa yang disebut oleh Doreen Massey (1994:149) sebagai 'geometri kekuasaan'. Beberapa orang bepergian, beberapa lagi tidak, dan lainnya bepergian karena mereka terpaksa pindah untuk mencari pekerjaan atau karena tekanan politik. Secara bersamaan, beberapa orang memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu, sementara orang lainnya sepertinya selalu menjadi objek dari hal-hal yang dilakukan oleh kelompok pertama, kehidupan mereka secara perlahan-lahan dibentuk dan dirancang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal yang melakukan tindakan-tindakan yang kuat dari sebuah tempat yang jauh.
     Massey membuat pendapat yang cukup perseptif bahwa banyak kecemasan yang terungkap mengenai ruang dan waktu - penyempitan ruang dapat menunjukkan pemahaman tertentu mengenai dunia secara politis: sebuah pandangan dari Barat, secara tidak sadar merindukan masa-masa kolonialisme, yang menurut mereka jauh lebih 'sederhana'. Seperti yang dia jelaskan, "Ada semacam perasaan tidak diterima yang dirasakan beberapa orang di jalan lokal yang dulu sangat mereka kenal, yang sekarang telah digantikan oleh serangkaian hasil impor kebudayaan - restoran pizza, restoran kebab, cabang sebuah bank asal Timur Tengah - pasti telah dirasakan selama berabad-abad... oleh orang-orang yang dikolonisasi di seluruh dunia" (147) sementara mereka menyaksikan impor, yang pertama institusi dan barang-barang materil Inggris, yang kemudian digantikan oleh Amerika. Dia mengeluh, yang cukup tepat saya rasa, mengenai fakta bahwa sebagian besar tulisan ini dihasilkan 'dari sudut pandang dari golongan yang (relatif) elit'. Mereka yang pada hari ini mengkhawatirkan perasaan disorientasi dan kehilangan kendali pasti pernah merasa mereka benar-benar mengenali dan mengetahui dimana mereka berada, dan bahwa mereka dapat mengendalikan perasaan tersebut." (165). Lagi, dia menyadari sebuah perspektif yang "didominasi orang berkulit putih/Dunia Pertama" mengenai pertanyaan dampak buruk yang dihasilkan kebudayaan global terhadap kebudayaan lokal. Perspektif ini khususnya merupakan asumsi mengenai penyerapan batasan-batasan budaya lokal adalah sesuatu yang baru muncul akhir-akhir ini. Memikirkan tentang hal ini (batasan-batasan budaya lokal) adalah sama saja membaca sejarah dari perspektif Dunia Pertama yang mengkolonialisasi:


Keamanan perbatasan sebuah tempat yang dianggap sebagai 'rumah' pasti telah musnah sejak dahulu, dan koherensi kebudayaan lokal telah berada dibawah ancaman kebudayaan asing sejak dahulu, di bagian-bagian dunia dimana sebagian besar populasinya tinggal. Di bagian-bagian dunia tersebut, sudah berabad-abad telah berlalu sejak jarak dan waktu memberikan perlindungan yang nyata dari dunia luar. (165-6)

Kebudayaan "Lokal" Sebagai Kebudayaan Rakyat Baru'
      Ada godaan yang besar untuk menganggap kebudayaan lokal sebagai 'otentik' dan kebudayaan global sebagai sesuatu yang tidak 'otentik'. Saya berpendapat, kita harus lebih berhati-hati untuk menghindari romantisasi kebudayaan lokal sebagai ekspresi organik dari   cara hidup yang "nyata". Jika kita mendengarkan secara seksama, kemungkinan kita akan mendengarnya didalam debat mengenai dampak budaya global terhadap budaya lokal, pertanyaan-pertanyaan dari debat sebelumnya mengenai kebudayaan rakyat yang tergusur oleh industrialisme dan urbanisme. Seolah-oleh kebudayaan lokal adalah kebudayaan rakyat yang otentik dan kebudayaan global adalah kebudayaan massal yang terhomogenisasi. Tetapi, kenyataannya selalu jauh lebih rumit daripada itu: kebudayaan global selalu menjadi bagian dari kebudayaan lokal; kebudayaan lokal sebenarnya menentang kebudayaan global. Seperti yang diungkapkan Edward Said (1993: xxix), "Semua kebudayaan pada dasarnya saling terlibat satu sama lain; tidak ada yang tunggal dan betul-betul murni, semua merupakan campuran, heterogen, luar biasa berbeda, dan tidak usang".


Tidak ada seorangpun sekarang yang hanya memiliki satu identitas. Label seperti seorang India, atau seorang wanita, atau seorang Muslim, atau seorang Amerika sekarang tidak lebih dari sekedar titik awal, yang jika diterjemahkan kedalam pengalaman nyata sebentar, dengan cepat hilang kembali. Imperialisme menyatukan sekumpulan kebudayaan dan identitas dalam tingkat global. Tetapi dampak yang terburuk dan paling paradoksal dari globalisasi adalah membiarkan orang mempercayai bahwa mereka hanya semata-mata merupakan, orang kulit putih, atau kulit hitam, atau orang Barat, atau orang Timur. (407-8)

     Globalisasi menawarkan kemungkinan percampuran kebudayaan dalam skala yang belum pernah diketahui sebelumnya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan perlawanan terhadap perbedaan, tetapi juga dapat menghasilkan penggabungan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dan menciptakan bentuk kebudayaan campuran yang baru dan menarik.
     Globalisasi mungkin adalah pengungkapan terakhir ide bahwa apabila sebuah kebudayaan populer ingin disebut sebagai betul-betul otentik, kebudayaan populer tersebut harus secara murni dipadukan dengan sebuah kebudayaan lokal, contohnya kebudayaan Yorkshire atau California. Kebudayaan yang terglobalisasi secara jelas merusak apa yang menjadi aspek kunci dalam diskusi intelektual mengenai kebudayaan rakyat, yang tertanam dalam ruang tertentu - yaitu ruang pedesaan - terpisah secara ruang dan waktu dari perkembangan kehidupan industri perkotaan-urban menjamin 'otensitas' itu. Pergerakan orang dan barang materil ke seluruh dunia, membawa kebudayaan global ke dalam kebudayaan lokal, secara jelas bertentangan dengan ide bahwa lokalitas dapat menetapkan batas-batas sebuah kebudayaan. Sifat kebudayaan global yang nomaden ini membuat kita dapat menyaksikan perubahan dalam hal bagaimana kita memandang kebudayaan, pergeseran dari pandangan akan kebudayaan sebagai 'akar' menjadi kebudayaan sebagai 'jalan'.
     Mendukung percampuran dan menghiraukan mengenai hubungan kekuasaan global akan membuat kita melewatkan lebih banyak hal daripada mereka yang memandang globalisasi sebagai homogenisasi. Percampuran kebudayaan tidak terjadi tanpa hubungan kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Nederveen Pieterse (1995:57), "Percampuran menimbulkan pertanyaan mengenai bentuk campuran itu sendiri dan keadaan campurannya." Dia berpendapat bahwa faktor kunci dalam globalisasi sebagai sebuah bentuk kebudayaan campuran adalah kenyataan bahwa kebudayaan teritorial telah dibayang-bayangi secara perlahan oleh kebudayaan translokal (lihat tabel 8.1).
     Apa yang menurut saya menarik dari klasifikasi menurut Nederveen Pieterse adalah bagaimana kriteria-kriteria itu dapat begitu mudah dibagi berdasarkan perbedaan yang kita temui di bagian pertama buku ini - yaitu perbedaan diantara kebudayaan rakyat dan kebudayaan massal. Tetapi, seperti yang dia ungkapkan juga, "kebudayaan telah menjadi sebuah campuran sejak dulu, sebagai hasilnya, percampuran adalah hasil tautologi: globalisasi yang dipercepat secara kontemporer berarti merupakan percampuran dari kebudayaan-kebudayaan campuran." (64). Dia berpendapat bahwa "Percampuran mengguncang konsep kebudayaan yang terisolasi yang didalamnya termasuk nasionalisme yang romantis, rasisme, etnosisme, kebangkitan religiositas, chauvinisme kewarganegaraan, dan esensialisme kebudayaan". Lebih jauh, "proses percampuran yang sebenarnya, mengguncang pandangan yang tertutup, dan berdasarkan hal tersebut, percampuran pada akhirnya bermuara pada pasca-percampuran, atau perpaduan transbudaya". Bentang budaya juga berubah sebagai akibatnya:


Dalam hubungannya dengan keadaan manusia yang tidak setara di dunia, perspektif percampuran ini melepaskan refleksi dan penggabungan dari batas-batas kebangsaan, komunitas, etnis, atau kelas. Kepastian telah menjadi kepingan, sementara pengalaman-pengalaman kolektif telah bekerja. Percampuran itu telah terjadi sejak dahulu dan kepastian kebangsaan, komunitas, etnis dan kelas telah menjadi kisi-kisi yang tunduk dibawah pengalaman yang lebih rumit dan halus daripada yang bisa diakomodasi refleksifitas dan organisasi manusia.

     Meskipun benar bahwa globalisasi dicirikan oleh pergerakan fisik yang semakin intensif, baik terpaksa maupun tidak, aspeknya yang paling signifikan, dalam konteks kebudayaan, adalah cara bagaimana hubungan-hubungan globalisasi yang komoplek membentuk sebuah lokalitas:

Dengan melibatkan penyerapan dunia lokal secara simultan oleh kekuasaan yang berada jauh di sana, dan perubahan arti-arti yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dari "jangkar" mereka didalam lingkungan lokal. Kekuatan dan perwujudan dari keadaan-keadaan materil membuat kebanyakan dari kita, dalam sebagian besar waktu, terpisah, kecuali di tempat-tempat yang berubah di sekitar kita secara perlahan, secara halus, kehilangan kekuatan mereka untuk menetapkan syarat-syarat keberadaan kita. (Tomlinson 1999:29)
     Meskipun globalisasi merubah atau bahkan merusak kondisi yang telah cocok dengan kebudayaan sebelumnya, globalisasi juga menyediakan sumber-sumber baru untuk bentuk-bentuk kebudayaan baru. Untuk memandangnya sebagai perkembangan kebudayaan yang signifikan tidak berarti bahwa kita pertama-tama harus mempercayai mitos dari kebudayaan rakyat dan memandang kebudayaan lokal sebelumnya telah berada dalam isolasi dari kebudayaan lainnya, secara global atau sebaliknya. Seperti yang kita lihat di bab 1, tidak ada kebudayaan seperti itu: Semua kebudayaan telah dipantaskan dari apa yang sebelumnya 'asing', yang secara bertahap diserap sebagai 'sifat alami yang kedua'.
     Mungkin tidak akan pernah ada kebudayaan global yang dimiliki secara horizontal oleh semua orang di bumi ini; keadaan lokal, termasuk tradisi lokal, akan selalu membayanginya. Tetapi apakah sebuah kebudayaan global benar-benar pantas untuk diperjuangkan? Saya pikir, lebih baik jangan membangun sebuah kebudayaan dunia yang tidak tunggal, yang hanya dibedakan oleh perbedaan-perbedaan hirarkis, namun sebuah sebuah kebudayaan dunia yang menghargai perbedaan, dimana keberagaman dan perbedaan muncul dalam hubungan horizontal, sama dihargai sebagai cara yang dibenarkan untuk menjalani hubungan kita dengan alam (termasuk asal-usul manusiawi kita) dan, mungkin lebih penting, cara kita menjalani kehidupan kita bersama-sama orang lain. Kita semua akan menjadi orang-orang yang kosmopolitan, penduduk dunia. Dan seperti yang dijelaskan John Tomlinson (1999:194), "Ciri utama kosmopolitanisme.. adalah sebuah pandangan yang tajam mengenai dunia yang terglobalisasi sebagai dunia yang tunggal dimana 'tidak ada orang lain'." Hal ini bukanlah penyangkalan akan perbedaan, tetapi sebuah ketegasan untuk memandang perbedaan didalam konteks kemanusiaan bersama: pada akhirnya, pandangan ini berguna untuk hidup didalam kebudayaan lokal maupun global dan berbagi sebuah kebudayaan yang telah di'glokalisasi'. Keadaan ini akan benar-benar menjadi kebudayaan populer yang sesungguhnya.