Akhirnya, saya dapat waktu luang juga, untuk kembali menulis di blog tercinta ini. Sambil mengisi waktu malam Minggu yang cerah ini, saya mau mengulas sedikit tentang bahasa Melayu Manado, bahasa nenek moyang saya. Kebetulan orang Manado (dan Minahasa) pada umumnya tidak banyak terdapat di Jabodetabek, jadi saya rasa cukup berharga untuk menuangkan pengetahuan saya sehingga pembaca dapat memahami sedikit mengenai bahasa ini.
Pertama-tama, harus
diketahui bahwa sebenarnya 'bahasa Manado' sendiri bukanlah sebuah struktur
bahasa yang terpisah dari bahasa Melayu, yang menjadi lingua franca bagi
masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Yang dikenal orang sebagai
'bahasa Manado' sendiri sebenarnya adalah sebuah variasi bahasa Melayu, yang mengalami
perubahan sesuai dengan dialek setempat. Maka, di berbagai daerah di Indonesia
kita dapat mengenal berbagai variasi dialek Melayu, seperti dialek Minangkabau,
dialek Ambon, dan dialek Papua. Dialek-dialek ini tidak memiliki banyak
perbedaan dengan bahasa Indonesia standar, yang dituturkan orang di Pulau Jawa.
Namun, perbedaannya terletak pada struktur bahasa, yang diserap dari bahasa
Belanda, dan banyak kosakata yang merupakan derivasi dari bahasa-bahasa Eropa
(Belanda, Portugis, Spanyol, dll..). Kosakata bahasa Melayu Manado sendiri
banyak mengambil kosakata bahasa Indonesia standar, seperti 'banyak' (bhs.
Indonesia) menjadi 'banya' (bhs. Melayu Manado). Akan tetapi, jauh di pedalaman
Minahasa, terdapat banyak bahasa-bahasa daerah yang berbeda-beda, seperti:
bahasa Tonsea, Totemboan, Toulour, Tondano, dan lain sebagainya.
Bahasa Melayu Manado
sendiri disebut oleh para pakar linguistik (yang sebagian besar orang Belanda)
sebagai 'Bahasa Manado Pasar', karena pada penerapannya banyak digunakan di
pasar-pasar di kota Manado meskipun kini telah menyebar luas ke seluruh kota
Manado dan sekitarnya.
Bahasa Melayu Manado
memiliki struktur kalimat yang sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia, contoh:
"Rumah saya' (bhs. Indonesia) menjadi "Kita pe rumah" (bhs.
Melayu Manado). Cara pengucapannya sendiri memiliki logat yang khas dan dijamin
sulit dimengerti oleh penutur bahasa Indonesia, meskipun kata-katanya relatif
tidak jauh berbeda. Misalnya ada wisatawan yang bertanya kepada penduduk:
"Di mana rumah ikan bakar?" Maka jawabannya: "Oh itu ada noh, na
pi lurus kong da jalang babok, cikar kanan dus na dapa lia dang itu tampa ikang
bakar di sabelah kanan jalan.." Kelihatannya mudah dimengerti, kan? Tapi
bila diucapkan oleh orang Manado yang medok sekali, pasti susah dimengerti.
Selanjutnya saya
akan membahas kata ganti orang dalam bahasa Melayu Manado. Bahasa Melayu Manado
menggunakan kata 'kita' untuk kata ganti orang pertama, yang membedakannya
dengan bahasa Melayu dialek Ambon, yang menggunakan 'beta'. Orang biasa
menganggap bahasa Melayu Manado dan Ambon itu sama, karena untuk 'kamu'
sama-sama menggunakan 'ngana', meskipun sebenarnya berbeda. Selanjutnya, untuk
menyebut 'kalian', artinya adalah 'ngoni'. Kata ganti orang dalam bahasa Melayu
Manado hanya dibedakan dari bentuk vokal, tergantung jumlahnya: Contohnya,
"kamu=ngana" dan "kalian=ngoni", sementara untuk
"kami=torang (kita orang)" dan "mereka=dorang (dia orang)".
Kata ganti untuk orang ketiga adalah 'dia', tanpa pembedaan gender.
Salah satu ciri
bahasa Melayu Manado yang sering membuat orang yang tidak mengerti menjadi
bingung adalah kesukaan penuturnya menyingkat-nyingkat kata. Fenomena ini tidak
terbatas pada bahasa Melayu Manado saja, namun sudah merupakan fenomena yang
umum pada bahasa Melayu yang dituturkan orang Indonesia Timur. Sebagai contoh,
kata 'kita' dapat disingkat menjadi 'ta' dan 'ngana' disingkat menjadi 'na';
orang yang tidak mengerti sering mengiranya sebagai kata yang berbeda sama
sekali. Selain itu, kata lain yang sering disingkat adalah ‘saja’ menjadi ‘jo’,
‘lagi’ menjadi ‘lei’, ‘punya’ menjadi ‘pe’ (digunakan untuk menyatakan kata
ganti kepemilikan), dan 'pigi' (pergi), menjadi 'pi'. Maka, sebagai contoh:
"na pi mana?" (ngana mo pigi mana=kamu mau pergi ke mana?) menjadi
kata-kata yang sangat singkat namun padat. Maka ada sedikit joke mengenai
seorang lelaki Manado yang bertanya pada istrinya: 'na pi mana?', tapi dijawab
istrinya: 'ta pi pasar!'. Orang yang tidak mengerti pasti mengira suami istri
ini gila, masa suaminya tanya napi mana, kok dijawab tapi pasar. Tentu
joke-joke seperti ini adalah lumrah dan dikaitkan dengan orang Manado pada
umumnya di mana saja.
Selain itu, ciri
bahasa Melayu Manado adalah sedikitnya preposisi yang dimilikinya. Sebagai
contoh, tidak dikenal kata 'ke' dalam bahasa Melayu Manado; seperti contoh di
atas, subjek langsung diikuti keterangan tempat tanpa preposisi. Dalam bahasa
ini hanya dikenal tiga preposisi untuk menunjukkan waktu: ‘so’ (sudah) untuk past,
‘da’ (sedang) untuk present, dan ‘mo’ (akan) untuk future, dan satu lagi yaitu
‘dang’ (dalam kebanyakan konteks tidak memiliki arti dan digunakan seperti
‘deh’ dalam bahasa Indonesia). Maka, jika ada orang Manado berkata, “nyanda mo
lupa-lupa”, bukan berarti dia tidak mau, tetapi tidak akan melupakan.
Sekarang mengenai
kosakatanya. Seperti yang telah saya jelaskan di awal, kosakata bahasa Melayu
Manado tidak banyak berbeda dengan bahasa Indonesia standar, meskipun ada
penyesuaian di sana-sini. Selain itu, bahasa Melayu Manado mengenal kata-kata
serapan dari bahasa Belanda dan Portugis, seperti:
‘Benen’ = Binnenband (Ban dalam motor, bhs.
Belanda)
‘Beslak’ = Beslag (sita, bhs. Belanda)
‘Ovor’ = Over (berikan, bhs. Belanda)
'Keker' = Kijker (teropong, bhs. Belanda)
'Longonstekeng' = Longonsteking (radang
paru-paru, bhs. Belanda)
'Miskram' = Miskraam (keguguran, bhs.
Belanda)
'Seker' = Zeker (pasti, bhs. Belanda)
‘Slewir’ = Slewuren (melayani, bhs. Belanda)
'Horlosi' = Horloge (jam tangan, bhs. Belanda)
'Fruk' = Vroeg (terlalu pagi/kepagian, bhs. Belanda)
'Fol' = Vol (penuh, bhs. Belanda)
'Farek' = Verrek (peduli, bhs. Belanda)
'Bolsak' = Builtzaak (kasur, bhs. Belanda)
'Horlosi' = Horloge (jam tangan, bhs. Belanda)
'Fruk' = Vroeg (terlalu pagi/kepagian, bhs. Belanda)
'Fol' = Vol (penuh, bhs. Belanda)
'Farek' = Verrek (peduli, bhs. Belanda)
'Bolsak' = Builtzaak (kasur, bhs. Belanda)
‘Kapeo’ = Chapeu (topi, bhs. Portugis)
‘Kadera’ = Cadera (kursi, bhs. Portugis)
‘Lenso’ = Lenço (sapu tangan, bhs. Portugis)
‘Kawalo’ = Caballo (kuda, bhs. Spanyol)
dan masih banyak lagi.
Menurut saya, kata serapan dari bahasa-bahasa Eropa yang terdapat dalam bahasa
Melayu Manado mencapai 50%, jauh lebih banyak dari bahasa Melayu dialek daerah
lain. Penjajahan selama bertahun-tahun dan dengan penjajah yang lebih beragam
dari bagian Indonesia lainnya turut berperan dalam penambahan kosakata dalam
bahasa Melayu Manado.
Satu hal lagi yang menarik dari logat bahasa Melayu Manado adalah
penambahan bunyi ‘ɲ’ (seperti pada ‘ngana’), jadi kata-kata yang berakhiran –n
dan –m berubah, seperti ‘makan’=’makang’ dan ‘siram’=’sirang’. Konon,
penambahan ini muncul ketika masa pendudukan Jepang di Manado. Orang Jepang
yang tidak bisa melafalkan –n, memaksa penduduk Manado untuk mengucapkan –ng
dalam setiap kata berakhiran –n atau –m. Tentu saja, hal ini belum dapat
dibuktikan dan masih dalam proses penelitian.