Pertanyaan tentang teologi berdasarkan materi telah 'menggoda' pemikiran saya selama beberapa waktu. Sebetulnya, menurut ajaran yang dibenarkan itu apa? Teologi kemakmuran atau sebaliknya? Saya baru menemukan sebuah artikel yang menarik di situs katolisitas.org yang menjawab pertanyaan saya ini, maka saya pikir ada baiknya pula apabila saya teruskan di blog ini, sehingga Pembaca dapat mengetahui definisinya dan juga pandangan berdasarkan beberapa sudut pandang. Selamat membaca.
Teologi Kemakmuran: Ajaran Gampang Tapi Salah!
Ditulis oleh: Stefanus Tay
Stefanus Tay telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.
Stefanus Tay telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.
Berikan sumbangan, maka engkau akan menerima kembali berlipat ganda.
Seruan untuk memberikan sumbangan finansial kepada misi evangelisasi dengan iming-iming untuk mendapatkan kembali apa yang diberikan secara berlipat ganda, seperti yang sering didengungkan oleh para televangelists
yaitu para evangelis yang melakukan pewartaan melalui media televisi.
Di satu sisi, mendukung misi evangelisasi adalah baik, namun kalau
dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan kembali berlipat ganda apa
yang akan diberikan, maka motivasi ini keliru. Dalam hal ini,
seolah-olah sumbangan dilakukan bukan dengan alasan kasih, namun menjadi
suatu urusan bisnis, yang dilihat dari segi untung dan rugi. Pemikiran
seperti ini adalah suatu gambaran akan maraknya teologi kemakmuran.
Dalam artikel ini, kita akan melihat latar belakang dari teologi kemakmuran, pengaruh materialisme pada teologi kemakmuran. Lebih lanjut kita akan menelaah bahwa teologi
seperti ini justru bertentangan dengan: 1) Alkitab, 2) jemaat perdana,
3) kehidupan para santa-santo, 4) akal sehat, 5) dimensi eskatologi.
Dan pada akhirnya, kita akan melihat tentang apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan “hidup berkelimpahan“, yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang, terutama oleh penganut teologi kemakmuran.
Dengan memahami makna “hidup berkelimpahan” secara benar, maka kita
dapat menempatkan nilai-nilai kekristenan dan semangat Injil di tempat
yang semestinya. Yaitu, hidup berkelimpahan ini terutama menyangkut
hal spiritual dan mengarah pada tujuan akhir manusia, yaitu persatuan
abadi dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga, tanpa melihat apakah orang
tersebut kaya maupun miskin secara jasmani.
I. Definisi dan sejarah teologi kemakmuran
1. Latar belakang teologi kemakmuran.
Teologi kemakmuran mulai dipopulerkan di Amerika pada waktu belakangan ini, terutama dengan menjamurnya televangelist yang cukup populer, dengan gaya penginjilan yang khas dan berapi-api. Secara prinsip, teologi kemakmuran
mengajarkan bahwa Tuhan tidak hanya memberikan berkat spiritual, namun
terutama adalah berkat kesehatan dan kekayaan. Dan kerap kali
kesehatan dan kekayaan dapat diterima sebagai akibat dari tindakan
menabur (seeding), yaitu dengan memberikan perpuluhan. Bahkan
dikatakan bahwa kekayaan adalah suatu tanda bahwa akan kasih Tuhan
kepada umat-Nya.
Kita dapat melihat akan beberapa pernyataan dari beberapa televangelist maupun pendeta-pendeta terkenal, salah satunya adalah Joel Osteen yang mengatakan di salah satu kotbahnya:
“Bagaimana untuk hidup dalam kemenangan total? Yesus yang mati,
telah bangkit pada hari ke-tiga. Yesus berkata “karena saya hidup, maka
engkau juga akan memperoleh kehidupan.” Diinterpretasikan bahwa Yesus
menginginkan kita semua untuk mendapatkan hidup yang berkelimpahan:
hidup yang bukan dipenuhi dengan kebiasaan buruk, bukan hidup yang
biasa-biasa saja. Bukan kemenangan setengah-setengah, di mana kita
mempunyai keluarga yang baik, kesehatan yang baik, namun senantiasa
mempunyai masalah dengan masalah keuangan. Ini bukanlah kemenangan yang
total. Kalau Tuhan melakukan sesuatu di satu area, Dia akan melakukan
juga di area yang lain. Orang yang mengalami masalah kesehatan dan
menerimanya sebagai sebuah salib, adalah tidak benar, karena Yesus
telah membayar semuanya, sehingga kita dapat bebas secara total – yang
berarti bebas dari kebiasaan buruk maupun kecanduan, bebas dari
ketakutan dan kekuatiran, bebas dari kemiskinan dan kekurangan, bebas
dari kerendahan diri. Karena Yesus telah membayar harga agar kita
bebas, maka kita harus bebas secara total. Untuk dapat bebas, maka kita
harus tahu siapa diri kita, yang adalah anak-anak Allah, yang bukan
orang-orang yang biasa, telah direncanakan oleh Allah sebagai pemenang,
yang mempunyai kesehatan yang baik, dan juga banyak uang untuk
membayar tagihan-tagihan, …”
Kalimat-kalimat di atas adalah merupakan gambaran tentang teologi kemakmuran, yang ingin mengedepankan kesuksesan dan kemakmuran
di dunia ini, seperti: relasi sesama yang baik, keluarga yang baik,
punya harga diri yang baik, kesehatan yang baik, dan juga mempunyai
kekayaan – sebagai manifestasi dari kebebasan yang total, yang seolah-olah ditawarkan
oleh Yesus, karena Yesus telah membayar lunas seluruhnya. Dikatakan,
dengan pengorbanan Kristus, maka seluruh umat Allah harus hidup dalam
kelimpahan, termasuk dalam urusan kesehatan dan kekayaan. Namun, apakah benar bahwa pesan ini adalah sesuai dengan semangat Injil?
2. Pengaruh materialisme terhadap teologi kemakmuran.
Kalau kita melihat secara lebih cermat, maka kita dapat melihat bahwa materialisme yang melanda dunia ini mempengaruhi teologi kemakmuran. Dunia yang dilanda materialisme – paham di mana kesuksesan, kehormatan dan kemampuan seseorang menjadi parameter apakah seseorang menjadi berharga atau tidak, masuk ke dalam teologi kemakmuran. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan teologi kemakmuran yang baru marak di abad ke-20 ini, di mana materialisme melanda dunia dalam segala bidang.
Materialisme – paham yang percaya bahwa yang benar-benar ada adalah
sesuatu yang bersifat materi – memberikan pengaruh kepada teologi kemakmuran.
Rahmat Allah yang terbesar – yaitu janji akan kebahagiaan Sorgawi –
direduksi menjadi kebahagiaan yang bersifat duniawi dan bersifat
material, seperti rumah, kesehatan, kekayaan. Dengan demikian, efek
dari pengorbanan Kristus di kayu salib direduksi menjadi kebahagian
semu yang ada di dunia ini. Alasan untuk mendapatkan kebahagiaan
material yang dibayar dengan pengorbanan Kristus, rasanya menjadi
terlalu murah dan terlihat menjadi kesia-siaan, karena memang Kristus
bukan datang ke dunia untuk memberikan kebahagiaan duniawi namun
kebahagiaan sorgawi. Mari kita membandingkan teologi kemakmuran dengan prinsip-prinsip Alkitab.
II. Teologi kemakmuran salah dalam menangkap pesan Alkitab dan tidak didukung oleh kesaksian jemaat perdana.
1. Teologi kemakmuran bertentangan dengan Alkitab.
a. Memang ada bagian di Alkitab yang menyatakan bahwa Tuhan akan memberikan kemakmuran bagi orang-orang pilihan-Nya. Dikatakan “Tetapi
haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang
memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud
meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek
moyangmu, seperti sekarang ini.” (Ul 8:18). Kita juga melihat bagaimana kitab Amsal mengatakan “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.” (Ams 10:22).
b. Namun di satu sisi, Alkitab juga mengatakan bahwa penderitaan –
kurangnya kekayaan dan kesehatan – bukan sebagai bukti bahwa Allah
tidak mengasihi umat-Nya. Kita melihat di kitab Ayub, di mana
diceritakan bahwa Ayub yang saleh dan jujur serta takut akan Tuhan
(lih. Ay. 1:1), tertimpa bencana. Dia kehilangan semua yang
dimilikinya, termasuk kekayaannya, ternaknya, termasuk keluarganya, dan
juga kesehatannya. Dan teman-teman Ayub mempergunakan teologi kemakmuran, dengan mengatakan “7
Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang
yang jujur dipunahkan? 8 Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang
membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga.” (Ay.
4:7-8). Teman-teman Ayub melihat bahwa kesengsaraan Ayub adalah
sebagai akibat dari dosa-dosanya, karena dalam pemikiran mereka, Allah
akan memberikan kelimpahan materi, kesehatan yang baik, serta kehidupan
keluarga yang baik, bagi orang-orang yang menjalankan perintah Allah.
Namun, pemikiran ini tidak dibenarkan oleh Allah (lih. Ay 42:7). Dari
kitab Ayub ini, kita sebetulnya melihat dimensi lain dari penderitaan,
yang bukan sebagai hukuman atas dosa, namun sebagai penderitaan yang innocent, yang selayaknya diterima sebagai suatu misteri.[1] Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Salvific Doloris, menyingkapkan penderitaan sebagai kesempatan untuk pertobatan, yang membangun kebaikan dari orang yang mengalaminya.[2] Dengan demikian, pengajaran teologi kemakmuran,
yang melihat bahwa penderitaan fisik (jasmani maupun kemiskinan)
sebagai sesuatu yang salah, seolah menutup adanya rahmat Allah yang
dapat bekerja secara istimewa kepada orang-orang yang sedang mengalami
penderitaan fisik.
Walaupun Kristus mengatakan “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mt 6:33), yang sering menjadi ayat andalan dari teologi kemakmuran, namun di ayat-ayat yang lain, Kristus juga memperingatkan para murid untuk berhati-hati terhadap bujukan mamon. Dikatakan “Tak
seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia
akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia
kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat
mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mt 6:24). Bahkan ditegaskan sekali lagi “Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
(Lk 18:25). Dengan demikian, penekanan bahwa Tuhan pasti akan
memberikan berkat-berkat material sebagai tanda kasih-Nya kepada umat
manusia, tidaklah menyampaikan kebenaran penuh akan pesan Kristus. Hal
ini bahkan dapat menyesatkan, terutama jika Kristus kemudian seolah
digambarkan sebagai tokoh semacam ‘sinterklas’ yang membagi- bagi
hadiah.
2. Teologi kemakmuran bertentangan dengan kehidupan jemaat perdana.
Kalau kita menganalisa sejarah kekristenan, maka kita akan dapat
melihat bahwa pada masa awal kekristenan, bukan kekayaan materi dan
kesehatan yang baik, yang mereka dapatkan, namun justru dikejar-kejar
oleh penguasa. Kita dapat melihat contoh mulai dari Yesus yang akhirnya
meninggal di kayu salib, para rasul yang juga menderita dan mati dalam
penganiayaan, para jemaat perdana yang juga menderita dan banyak yang
meninggal dalam mempertahankan iman mereka. Tubuh mereka bukannya
mendapat kesehatan yang baik, namun sering berakhir pada perut
singa-singa yang buas. Mereka inilah yang dengan setia memegang dan
menjalankan pengajaran Kristus sampai pada titik mengorbankan diri
mereka. Mereka mencintai kebenaran yang diwartakan oleh Kristus lebih
daripada harta kekayaan mereka, melebihi tubuh mereka dan melebihi
nyawa mereka. Bahkan dikatakan bahwa Gereja dibangun di atas darah para
martir.
3. Teologi kemakmuran bertentangan dengan kehidupan para santa-santo.
Kalau kita mempelajari kehidupan para santa-santo, maka kita melihat
bahwa mereka adalah orang-orang yang dipakai oleh Tuhan dengan begitu
luar biasa. Mereka senantiasa bekerjasama dengan rahmat Tuhan, sehingga
menghasilkan buah-buah yang limpah, dalam membawa banyak orang kepada
Tuhan, melalui doa- doa dan karya kerasulan mereka. Namun, apakah
mereka mempunyai kesehatan yang baik serta kekayaan yang berlimpah?
Mayoritas dari kehidupan para santa-santo diwarnai dengan begitu banyak
penderitaan. Namun demikian mereka tetap memiliki keberanian untuk
mengasihi Kristus dalam kondisi tersulit apapun. Kita melihat Santo
Fransiskus dari Asisi, yang meninggalkan kekayaannya demi untuk
mengikuti Kristus secara lebih total. Dia menjadi santo yang besar
dalam sejarah Gereja, bukan karena kekayaannya, namun karena
keberaniannya dalam mengikuti Kristus, termasuk dalam hal kemiskinan,
kemurnian dan ketaatan. Lihatlah kehidupan Santo Thomas Moore dari
Inggris, yang memilih kehilangan keluarga, kekayaan dan jiwanya untuk
tetap setia pada Kristus dengan setia terhadap pengajaran Gereja
Katolik.
4. Teologi kemakmuran bertentangan dengan akal sehat.
Kalau kasih Kristus kepada umat-Nya diukur dari seberapa banyak
umat-Nya menerima berkat finansial, maka sungguh sangat disayangkan,
dan bahkan tidak sesuai dengan akal sehat. Bayangkan nasib dari begitu
banyak penduduk miskin di dunia. Menurut data tahun 2001, ada 1,1
milyar orang masuk dalam garis kemiskinan yang ekstrim dan 2,7 milyar
masuk dalam garis kemiskinan, yang hidup kurang dari US$ 2 (Rp 18,000)
per hari. Ini berarti ada sekitar 40% dari populasi dunia berada di
bawah garis kemiskinan. Bahkan dikatakan bahwa 6 juta anak-anak
meninggal setiap tahun atau sekitar 17,000 meninggal setiap hari. Kalau
kekayaan material adalah identik dengan kasih Tuhan, maka bagaimana
mungkin, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak mengasihi orang-orang
miskin dan anak-anak yang meninggal setiap hari karena kemiskinan?
Bagaimana mungkin bahwa Tuhan pilih kasih dan memberikan hukuman kepada
mereka yang hidup dalam kemiskinan, dan sebagian bukanlah akibat
kesalahan mereka sendiri…
5. Teologi kemakmuran menghilangkan dimensi eskatologi.
Dengan memberikan penekanan pada kemakmuran material di dunia ini, maka teologi kemakmuran
secara tidak langsung mengaburkan dimensi eskatologi – yaitu yang
berhubungan dengan akhir zaman. Penekanan yang terlalu banyak akan
kebahagiaan material dari teologi kemakmuran
membuat seseorang berfokus pada apa yang terjadi di dunia ini dan
mengaburkan apa yang menjadi tujuan akhir dari seorang Kristen, yaitu
berkumpul bersama dengan Allah untuk selamanya di dalam Kerajaan Sorga.
Kita tahu bahwa seorang Kristen hidup di dunia ini, namun bukan dari
dunia ini. Seorang Kristen harus mempunyai kesadaran bahwa apa yang
dialami di dunia ini hanyalah bersifat sementara, karena pada saatnya
nanti ketika kemah kita di dunia ini dibongkar, maka Allah telah
menyediakan tempat kediaman abadi di Sorga (lih. 2Kor 5:1). Seorang
Kristen harus tahu bahwa kebahagiaan sejati bukanlah kebahagiaan
material, namun kebahagiaan spiritual, yang akan diterima dan dialami
secara penuh pada saat kita masuk dalam Kerajaan Sorga.
III. Arti yang sesungguhnya dari “hidup berkelimpahan“.
Kalau teologi kemakmuran menekankan kemakmuran material, maka sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata “kemakmuran“, namun yang menjadi masalah adalah penekanan kemakmuran
pada hal-hal yang bersifat material. Berjuang untuk memperbaiki taraf
hidup, tentu merupakan sesuatu yang baik. Namun tentang hasilnya,
apakah kita menjadi kelimpahan atau tidak secara duniawi, bukanlah
yang menjadi fokus utama dalam kehidupan umat beriman. Sebab bukan itu
yang menjadi janji Tuhan yang terutama. Kalau Tuhan memberi rejeki
duniawi berkelimpahan, puji Tuhan. Kalau tidak, juga tetap puji Tuhan!
Tuhan mengetahui yang terbaik bagi kita. Tuhan memang tidak melarang,
bahkan mengajarkan kita untuk memohon rejeki/ makanan secukupnya
setiap hari, dan ini kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami. Janji inilah
yang ditepati-Nya pada orang-orang yang percaya kepada-Nya. Namun
Tuhan tidak menjanjikan kelimpahan materi kepada setiap orang. Memang
Yesus mengatakan “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
(Yoh 10:10). Rasul Paulus juga menekankan hidup yang berkelimpahan,
namun bukan berkelimpahan dari sisi material, namun berkelimpahan dalam
kasih karunia (lih. Rm 5:20; Ef 2:7) dan oleh kekuatan Roh Kudus, kita
dapat hidup berlimpah-limpah dalam pengharapan (lih. Rm 15:13), serta
kelimpahan akan iman, kebajikan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan,
kasih (lih. 2Pet 1:6-8).
Dengan demikian, kita melihat bahwa kasih karunia Allah dicurahkan
secara melimpah kepada umat yang terus bekerjasama dengan rahmat Allah.
Namun, Yesus sendiri tidak pernah menjanjikan kelimpahan material,
walaupun Dia juga akan memberikan rejeki kepada orang-orang yang mencari
Kerajaan Allah dan bertanggung jawab terhadap panggilan hidupnya. Dia
mengatakan kepada para murid yang telah meninggalkan segala sesuatu
untuk mengikuti Yesus “Dan setiap orang yang karena nama-Ku
meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan,
bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali
seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” (Mt 19:29). Apakah “seratus kali lipat”
adalah merupakan janji untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat
material (harta, kedudukan, kesehatan, dll) ataukah sesuatu yang
bersifat spiritual? Untuk melihat ini, maka kita dapat melihat apa yang
terjadi pada para rasul. Apakah para rasul mendapatkan kekayaan? Tidak
sama sekali. Bahkan, semua rasul mendapatkan penderitaan dan kematian
karena mengikuti dan mengajarkan kebenaran Kristus. Namun, di
tengah-tengah penderitaan mereka, mereka tetap menerima rahmat yang
berkelimpahan, yaitu rahmat spiritual – kegembiraan dalam menghadapi
penderitaan dan rahmat pengharapan yang tak pernah surut, karena
percaya akan janji Kristus.
Dengan demikian, makna dari hidup berkelimpahan sebagai rahmat yang
mengalir sebagai orang yang percaya dan senantiasa bekerjasama dengan
rahmat Allah adalah senantiasa bermakna spiritual, entah orang tersebut
kaya maupun miskin. Atau kita harus menyetujui bahwa rahmat spiritual
adalah lebih penting daripada rahmat material, karena spiritual adalah
lebih utama dan kekal daripada material yang bersifat hanya sementara.
Dengan demikian, hidup berkelimpahan terbuka bagi siapa saja, baik bagi
yang kaya maupun yang miskin, yang berarti Tuhan memberikan kesempatan
yang sama bagi semua orang. Bahkan orang-orang yang miskin mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan hidup yang berkelimpahan,
karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengandalkan belas
kasih Tuhan. Dikatakan “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”
(Mt 5:3) Dengan memberikan penekanan bahwa keutamaan hidup
berkelimpahan adalah sesuatu yang bersifat spiritual, maka umat Allah
akan senantiasa berfokus pada sesuatu yang spiritual dan mengarahkan
pandangan pada tujuan akhir, yaitu persatuan abadi dengan Allah di
dalam Kerajaan Sorga tanpa juga melupakan kebaikan badan yang harus
dipenuhi selama kita berada di dunia ini.
Kesimpulan:
Dari pemaparan di atas, maka terlihat bahwa teologi kemakmuran adalah
teologi yang berfokus pada sesuatu yang bersifat material dan
sementara, yang bertentangan dengan pesan Kristus sendiri – yang
senantiasa mengutamakan rahmat spiritual dan tujuan akhir dari manusia,
yaitu persekutuan abadi dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga. Dengan
demikian, teologi kemakmuran terlalu menyederhanakan – mungkin lebih tepatnya membelokkan – pesan Injil. Teologi kemakmuran
menjadi sangat berbahaya di tengah-tengah kehidupan yang didominasi
oleh materialisme, karena seolah-olah mereka mendapatkan pembenaran
dari orientasi mereka ke hal-hal yang bersifat material.
Para Bapa Gereja dan jemaat Kristen awal, tidak pernah mengajarkan tentang penekanan terhadap kemakmuran
jasmani. Sebaliknya, yang diajarkan mereka adalah untuk menunjukkan
kasih kita kepada Tuhan sampai ke titik darah penghabisan: menyebarkan
Injil meski di dalam keadaan kekurangan dan penganiayaan, dan bahkan
berani menyerahkan nyawa demi mempertahankan iman.
Sesuatu yang perlu direnungkan adalah buah- buah dari pengajaran
Teologi sukses itu. Apakah umat jadi mau prihatin dan lebih berbelas
kasih kepada sesama, atau malah cenderung menjadi sombong, dan
menganggap bahwa orang miskin itu ‘layak’ miskin karena dosa mereka,
sehingga mereka tidak diberkati? Bukankah ini namanya menghakimi?
Hubungannya dengan Tuhan bisa seperti hubungan ‘dagang’, seolah mau
memberi sekian persen penghasilan dengan harapan menerima berlipat ganda
dari Tuhan, semacam investasi saja. Belum lagi kalau Teologi
ini membuat umat menjadi terikat dengan kenikmatan materi, dan ini
sudah pasti tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci, sebab malah
dikatakan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (1 Tim
6:10); atau bahkan Tuhan Yesus mengajarkan agar menjadi sempurna
seseorang dipanggil untuk memberikan semua harta miliknya kepada orang
miskin dan kemudian mengikuti Dia (Mat 19:21).
Selayaknya kita mengingat bahwa Tuhan Yesus sendiri memilih untuk
lahir sebagai orang miskin, untuk mengajarkan kepada kita untuk hidup
‘miskin di hadapan Allah’ (Mat 5:3). Semoga kita sebagai murid- murid
Kristus dapat diberi kebijaksanaan untuk menilai mana ajaran yang
berasal dari Tuhan, dan mana yang bukan. Dan agar jangan sampai kita
memilih- milih ajaran, yang mudah dan enak didengar kita terima, tetapi
yang sulit kita tolak. Kita harus berdoa agar kita dimampukan oleh
Tuhan untuk melaksanakan “segala sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya”
(lih, Mat 28:20) dan bukan untuk memilih- milih ajaran sesuai dengan
kehendak sendiri.
CATATAN KAKI:
No comments:
Post a Comment