Setelah minggu-minggu akhir UAS yang melelahkan dan Natal yang sayangnya telah berlalu, baru saya sempat untuk menulis post baru. Saya ingin menyampaikan hasil renungan saya selama Natal kemarin.
Natal, seperti yang kita semua tahu, adalah peringatan kelahiran Yesus Kristus. Kejadian ini sangat dianggap penting oleh umat Kristen pada umumnya, dan Katolik pada khususnya; meskipun puncak liturgi Katolik adalah Penyaliban dan Paskah Tuhan. Ada beberapa hal yang menurut saya, sangat layak untuk direnungkan untuk memahami esensi Natal yang saya rasa tepat.
Sekarang ini (mungkin juga sudah sejak abad yang lalu) Natal selalu identik dengan cita rasa yang Eropa sekali: salju, putih, pohon cemara, Sinterklas, kado, hiasan, lampu, dan sebagainya. Memang semua ciri khas tadi adalah bawaan dari budaya yang berkembang di Eropa sana. Saya pikir, mungkin tradisi Natal harus diinkulturisasikan kedalam budaya yang dipahami orang Indonesia. Contoh: Sinterklas dengan pakaian merah yang tebal, mungkin harus diganti dengan pakaian yang tidak terlalu meriah. Begitupun pohon cemara, yang tidak tumbuh di Indonesia. Mungkin juga harus diganti dengan pohon khas Indonesia seperti pohon sawo atau yang lain.
Romo di gereja saat misa Natal kemarin mengatakan, alasan pemilihan pohon cemara sebagai pohon Natal hanya karena satu alasan: pohon itu merupakan satu-satunya pohon yang menampakkan daunnya selama musim dingin, ketika pohon-pohon lain meranggas dan menggugurkan daunnya. Pohon cemara adalah simbol harapan, "Hope" yang tak habis ditelan musim atau waktu. Evergreen sepanjang waktu.
Sebetulnya malah saya merasa risih dengan suasana menjelang Natal. Sekitar seminggu sebelum Natal, semua pusat perbelanjaan di kota tempat tinggal saya (Depok, maksudnya) tak henti-hentinya memutar lagu-lagu Natal dan semuanya memasang hiasan Natal semeriah mungkin, tentunya disertai promo-promo diskon yang menarik. Bahkan mungkin lebih meriah daripada suasana menjelang Idul Fitri. Padahal umat Kristen di Depok bukan (tepatnya: belum) menjadi mayoritas. Namun saya perhatikan, fenomena ini terjadi merata di seluruh Jabodetabek (setidaknya dari beberapa pusat perbelanjaan yang saya kunjungi selain di Kota Depok).
Apa yang salah? Bukan saya tidak senang Natal dirayakan meriah. Namun pesan yang dikandung dibalik semua hiasan itu. Orang kini cenderung menganggap Natal adalah masa berpesta, masa bersuka-ria menyambut datangnya Juruselamat. Kehadiran Juruselamat di dunia diperingati dengan hura-hura. Makan-minum berlebihan. Ketawa-ketiwi. Meskipun jujur, saya juga begitu kemarin (iyalah, kapan lagi?!) namun saya paham, pesan yang ingin disampaikan bukan itu, sebenarnya.
Natal pertama di Bethlehem adalah natalnya orang-orang termiskin. Cuma gembala yang berkumpul di sebuah kandang domba yang terpencil di luar kota, menemani Ibu Maria dan suaminya Yosef yang menantikan Anak mereka. Lenguhan domba dan jerami yang hangat menjadi pelengkap suasana kedatangan sang Penebus. Tak ada lampu, hiasan, dan segala macam ornamen Natal. Bahkan iringan musik organ pun tak ada. Cuma seorang Bayi mungil yang lahir, terbungkus lampin yang hangat. Tak lama datang Tiga Orang Majus (Caspar, Melkior dan Balthasar) membawa emas, kemenyan dan mur bagi sang Raja yang telah turun.
Natal harusnya menjadi momen yang baik untuk berefleksi. Betapa kehadiran sang Juruselamat telah menjadi sukacita bagi kita untuk mengenang momen pembebasan manusia dari jerat dosa. Sesuai dengan motto resmi PGI dan KWI untuk Natal tahun ini: "Allah telah mengasihi kita" (1 Yoh 4:19), Allah telah menunjukkan belas kasih-Nya yang tertinggi dengan menjelmakan diri-Nya dalam rupa insan, guna menebus dosa kita manusia yang luar biasa banyak, yang telah diwariskan turun-temurun sejak zaman Adam. Allah kita bukan Allah yang gengsi, yang tidak berbuat sesuatu apapun untuk menyelamatkan anak-anak-Nya yang Ia kasihi. Ia sendiri rela turun ke dunia. Kurang luar biasa apa?
Natal juga hendaknya menjadi momen untuk memikirkan kembali: pantaskah kita untuk merayakan datangnya sang Juruselamat? Memang kita adalah manusia, yang cenderung jatuh ke dalam dosa, tapi ya setidaknya, bisa berbuat yang baik, lebih banyak dari dosa yang kita perbuat. Satu contoh yang berharga, yang saya alami tepat setelah misa Natal kemarin, ketika saya pulang naik motor dari gereja. Di jalan, saya hampir menabrak orang yang sepertinya tidak melihat dulu sebelum menyebrang. Bukannya minta maaf (atau setidaknya jalan terus) dia malah memaki saya, dengan kata yang tidak pantas. Kalau dalam keadaan normal, akan saya ladeni itu orang. Namun berhubung saya baru berdoa "..Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.." saya tersenyum saja kepadanya, dan melanjutkan perjalanan. Saya kira pengalaman sehari-hari seperti ini sangat berharga untuk mengetes iman kita, dan penghayatan kita akan doa-doa yang sehari-hari kita ucapkan.
Akhir kata, Natal memang momen yang tepat untuk dirayakan, tapi tetap memperhatikan kesederhanaan, itu yang penting. Selamat Natal!
Wednesday, December 26, 2012
Thursday, December 13, 2012
Pemilihan Koorfak Kuksa FIB UI 2013
Dalam post saya yang terakhir, saya janji menulis post baru dalam empat atau lima hari. Namun, mohon maaf apabila janji tinggal janji. Intensitas kesibukan dan pekerjaan yang tinggi dan sempat dirawat minggu lalu menyebabkan tertundanya penulisan post baru. Sekarang, ditemani sebatang Marlboro dan Big Cola, saya mau bercerita tentang keadaan kampus dan kehidupan hari-hari ini.
Di bulan Desember ini, semua sibuk. Terutama di kampus, selain menyiapkan diri menghadapi UAS dan segala hal yang menyertainya, adalah persiapan berbagai organisasi kampus yang sebentar lagi akan mengalami pergantian pengurus. Nyaris semua organisasi, seperti BEM, DPM, ISJ (Ikatan Studi Jerman) dll mengalami pergantian. Buat kami angkatan 2011 yang sudah setahun malang-melintang di kampus, tentu biasa saja menghadapinya. Namun dalam kesempatan ini saya ingin menggaris bawahi beberapa organisasi yang punya makna spesial dalam kehidupan saya.
Kuksa FIB UI adalah organisasi yang paling saya ikuti terus perkembangannya. Berhubung saya menjadi salah satu staff yang bertugas menyiapkan acara, sekarang adalah saatnya bagi kami angkatan 2011 untuk 'naik pangkat' menjadi pengurus teras. Karena akan diadakan pergantian koorfak (koordinator fakultas) untuk tahun 2013, maka saya mengajukan diri menjadi salah satu calon. Diantara calon lain terdapat Camil, Echa dari Sastra Prancis, Inggit dari Sastra Jepang, Marlina dari Sastra Inggris, dan Sisca dari Sastra Belanda.
Kalau saya boleh pikir, keputusan saya mencalonkan diri sebenarnya didasari oleh rasa peduli terhadap organisasi ini. Sebagai tempat untuk mencurahkan dan memenuhi kebutuhan spiritual saya, sepertinya saya merasa terpanggil untuk turut membantu mengembangkan dan mempertahankan entitas organisasi ini, agar dapat tetap eksis dan diterima dalam dinamika kehidupan kampus. Saya merasa khawatir, apakah saya pantas mencalonkan diri, mengingat beberapa keadaan yang 'sepertinya' belum saya penuhi demi mencapai hal itu; biarpun demikian, saya merasa, biar saja, yang penting calonkan diri dulu.
Saya belum pernah terlibat jauh dalam sebuah organisasi seperti yang saya lakukan dalam Kuksa FIB ini. Sejak awal keterlibatan saya dalam Weekend tahun lalu, semakin jauh saya berusaha memahami dan mendalami artinya, apa yang saya sudah kerjakan selama ini. Walaupun taruhannya berat, tapi saya yakin dan percaya semua baik adanya dan Tuhan mau menjaga saya, semua hal yang saya kerjakan.
Peluang untuk terpilih sebagai koorfak sendiri rupanya cukup terbagi merata. Sejak awal, saya merasa bahwa yang akan dicalonkan sebagai koorfak ada tiga: saya sendiri, Sisca dan Marlina. Sisca dengan jaringan pertemanannya yang luas di berbagai organisasi kampus dan Marlina dengan skill organisasinya yang memadai, membuat saya lebih memilih mereka berdua, sebenarnya, sebagai koorfak. Namun setelah mendengar sharing dari koorfak-koorfak sebelumnya bahwa sebetulnya tidak diperlukan orang yang 'sempurna' untuk jabatan ini, maka saya berpikir, ya sudah. Saya juga mau mengabdikan diri.
Pemilihan akan dilaksanakan pada hari Jumat, 21 Desember. Semoga Tuhan berkenan memilih diantara kami, yang terbaik dan terpantas.
Di bulan Desember ini, semua sibuk. Terutama di kampus, selain menyiapkan diri menghadapi UAS dan segala hal yang menyertainya, adalah persiapan berbagai organisasi kampus yang sebentar lagi akan mengalami pergantian pengurus. Nyaris semua organisasi, seperti BEM, DPM, ISJ (Ikatan Studi Jerman) dll mengalami pergantian. Buat kami angkatan 2011 yang sudah setahun malang-melintang di kampus, tentu biasa saja menghadapinya. Namun dalam kesempatan ini saya ingin menggaris bawahi beberapa organisasi yang punya makna spesial dalam kehidupan saya.
Kuksa FIB UI adalah organisasi yang paling saya ikuti terus perkembangannya. Berhubung saya menjadi salah satu staff yang bertugas menyiapkan acara, sekarang adalah saatnya bagi kami angkatan 2011 untuk 'naik pangkat' menjadi pengurus teras. Karena akan diadakan pergantian koorfak (koordinator fakultas) untuk tahun 2013, maka saya mengajukan diri menjadi salah satu calon. Diantara calon lain terdapat Camil, Echa dari Sastra Prancis, Inggit dari Sastra Jepang, Marlina dari Sastra Inggris, dan Sisca dari Sastra Belanda.
Kalau saya boleh pikir, keputusan saya mencalonkan diri sebenarnya didasari oleh rasa peduli terhadap organisasi ini. Sebagai tempat untuk mencurahkan dan memenuhi kebutuhan spiritual saya, sepertinya saya merasa terpanggil untuk turut membantu mengembangkan dan mempertahankan entitas organisasi ini, agar dapat tetap eksis dan diterima dalam dinamika kehidupan kampus. Saya merasa khawatir, apakah saya pantas mencalonkan diri, mengingat beberapa keadaan yang 'sepertinya' belum saya penuhi demi mencapai hal itu; biarpun demikian, saya merasa, biar saja, yang penting calonkan diri dulu.
Saya belum pernah terlibat jauh dalam sebuah organisasi seperti yang saya lakukan dalam Kuksa FIB ini. Sejak awal keterlibatan saya dalam Weekend tahun lalu, semakin jauh saya berusaha memahami dan mendalami artinya, apa yang saya sudah kerjakan selama ini. Walaupun taruhannya berat, tapi saya yakin dan percaya semua baik adanya dan Tuhan mau menjaga saya, semua hal yang saya kerjakan.
Peluang untuk terpilih sebagai koorfak sendiri rupanya cukup terbagi merata. Sejak awal, saya merasa bahwa yang akan dicalonkan sebagai koorfak ada tiga: saya sendiri, Sisca dan Marlina. Sisca dengan jaringan pertemanannya yang luas di berbagai organisasi kampus dan Marlina dengan skill organisasinya yang memadai, membuat saya lebih memilih mereka berdua, sebenarnya, sebagai koorfak. Namun setelah mendengar sharing dari koorfak-koorfak sebelumnya bahwa sebetulnya tidak diperlukan orang yang 'sempurna' untuk jabatan ini, maka saya berpikir, ya sudah. Saya juga mau mengabdikan diri.
Pemilihan akan dilaksanakan pada hari Jumat, 21 Desember. Semoga Tuhan berkenan memilih diantara kami, yang terbaik dan terpantas.
Thursday, November 08, 2012
So lama nyanda baku dapa!
Abis lima bulang nya' batulis pa kita pe blog, ini hari kita so kase tulis ulang. Kita piki, kita pe blog ini so batimpas karna so lama nya' babuka. Mar untung se bisa. Kita se nintau mo tulis apa, kong kita musti ada isi vor bekeng ulang kwa. Kita so rindu pa bobengka, panada, woku, laeng makang, so lama nya' lia itu. Momase' sandiri nintau deng nimbisa. Kong pemana? Kita se cari itu makang, mar se ada laeng tempo..
Oya, kita mo bacirita vor kita pe lege lei, kong kita so lama nya' kase bale ka Wenang. Ni ati so bapica, batunggu pa ari, mar bulung ada kase tau. Mungkin musti baafsprak dulu kwa. Kita somo bekeng laeng tulisan dalang ampa deng lima ari. Baku dapa ulang dang..
Friday, June 15, 2012
Teologi Kemakmuran
Pertanyaan tentang teologi berdasarkan materi telah 'menggoda' pemikiran saya selama beberapa waktu. Sebetulnya, menurut ajaran yang dibenarkan itu apa? Teologi kemakmuran atau sebaliknya? Saya baru menemukan sebuah artikel yang menarik di situs katolisitas.org yang menjawab pertanyaan saya ini, maka saya pikir ada baiknya pula apabila saya teruskan di blog ini, sehingga Pembaca dapat mengetahui definisinya dan juga pandangan berdasarkan beberapa sudut pandang. Selamat membaca.
Teologi Kemakmuran: Ajaran Gampang Tapi Salah!
Ditulis oleh: Stefanus Tay
Stefanus Tay telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.
Stefanus Tay telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.
Berikan sumbangan, maka engkau akan menerima kembali berlipat ganda.
Seruan untuk memberikan sumbangan finansial kepada misi evangelisasi dengan iming-iming untuk mendapatkan kembali apa yang diberikan secara berlipat ganda, seperti yang sering didengungkan oleh para televangelists
yaitu para evangelis yang melakukan pewartaan melalui media televisi.
Di satu sisi, mendukung misi evangelisasi adalah baik, namun kalau
dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan kembali berlipat ganda apa
yang akan diberikan, maka motivasi ini keliru. Dalam hal ini,
seolah-olah sumbangan dilakukan bukan dengan alasan kasih, namun menjadi
suatu urusan bisnis, yang dilihat dari segi untung dan rugi. Pemikiran
seperti ini adalah suatu gambaran akan maraknya teologi kemakmuran.
Dalam artikel ini, kita akan melihat latar belakang dari teologi kemakmuran, pengaruh materialisme pada teologi kemakmuran. Lebih lanjut kita akan menelaah bahwa teologi
seperti ini justru bertentangan dengan: 1) Alkitab, 2) jemaat perdana,
3) kehidupan para santa-santo, 4) akal sehat, 5) dimensi eskatologi.
Dan pada akhirnya, kita akan melihat tentang apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan “hidup berkelimpahan“, yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang, terutama oleh penganut teologi kemakmuran.
Dengan memahami makna “hidup berkelimpahan” secara benar, maka kita
dapat menempatkan nilai-nilai kekristenan dan semangat Injil di tempat
yang semestinya. Yaitu, hidup berkelimpahan ini terutama menyangkut
hal spiritual dan mengarah pada tujuan akhir manusia, yaitu persatuan
abadi dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga, tanpa melihat apakah orang
tersebut kaya maupun miskin secara jasmani.
I. Definisi dan sejarah teologi kemakmuran
1. Latar belakang teologi kemakmuran.
Teologi kemakmuran mulai dipopulerkan di Amerika pada waktu belakangan ini, terutama dengan menjamurnya televangelist yang cukup populer, dengan gaya penginjilan yang khas dan berapi-api. Secara prinsip, teologi kemakmuran
mengajarkan bahwa Tuhan tidak hanya memberikan berkat spiritual, namun
terutama adalah berkat kesehatan dan kekayaan. Dan kerap kali
kesehatan dan kekayaan dapat diterima sebagai akibat dari tindakan
menabur (seeding), yaitu dengan memberikan perpuluhan. Bahkan
dikatakan bahwa kekayaan adalah suatu tanda bahwa akan kasih Tuhan
kepada umat-Nya.
Kita dapat melihat akan beberapa pernyataan dari beberapa televangelist maupun pendeta-pendeta terkenal, salah satunya adalah Joel Osteen yang mengatakan di salah satu kotbahnya:
“Bagaimana untuk hidup dalam kemenangan total? Yesus yang mati,
telah bangkit pada hari ke-tiga. Yesus berkata “karena saya hidup, maka
engkau juga akan memperoleh kehidupan.” Diinterpretasikan bahwa Yesus
menginginkan kita semua untuk mendapatkan hidup yang berkelimpahan:
hidup yang bukan dipenuhi dengan kebiasaan buruk, bukan hidup yang
biasa-biasa saja. Bukan kemenangan setengah-setengah, di mana kita
mempunyai keluarga yang baik, kesehatan yang baik, namun senantiasa
mempunyai masalah dengan masalah keuangan. Ini bukanlah kemenangan yang
total. Kalau Tuhan melakukan sesuatu di satu area, Dia akan melakukan
juga di area yang lain. Orang yang mengalami masalah kesehatan dan
menerimanya sebagai sebuah salib, adalah tidak benar, karena Yesus
telah membayar semuanya, sehingga kita dapat bebas secara total – yang
berarti bebas dari kebiasaan buruk maupun kecanduan, bebas dari
ketakutan dan kekuatiran, bebas dari kemiskinan dan kekurangan, bebas
dari kerendahan diri. Karena Yesus telah membayar harga agar kita
bebas, maka kita harus bebas secara total. Untuk dapat bebas, maka kita
harus tahu siapa diri kita, yang adalah anak-anak Allah, yang bukan
orang-orang yang biasa, telah direncanakan oleh Allah sebagai pemenang,
yang mempunyai kesehatan yang baik, dan juga banyak uang untuk
membayar tagihan-tagihan, …”
Kalimat-kalimat di atas adalah merupakan gambaran tentang teologi kemakmuran, yang ingin mengedepankan kesuksesan dan kemakmuran
di dunia ini, seperti: relasi sesama yang baik, keluarga yang baik,
punya harga diri yang baik, kesehatan yang baik, dan juga mempunyai
kekayaan – sebagai manifestasi dari kebebasan yang total, yang seolah-olah ditawarkan
oleh Yesus, karena Yesus telah membayar lunas seluruhnya. Dikatakan,
dengan pengorbanan Kristus, maka seluruh umat Allah harus hidup dalam
kelimpahan, termasuk dalam urusan kesehatan dan kekayaan. Namun, apakah benar bahwa pesan ini adalah sesuai dengan semangat Injil?
2. Pengaruh materialisme terhadap teologi kemakmuran.
Kalau kita melihat secara lebih cermat, maka kita dapat melihat bahwa materialisme yang melanda dunia ini mempengaruhi teologi kemakmuran. Dunia yang dilanda materialisme – paham di mana kesuksesan, kehormatan dan kemampuan seseorang menjadi parameter apakah seseorang menjadi berharga atau tidak, masuk ke dalam teologi kemakmuran. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan teologi kemakmuran yang baru marak di abad ke-20 ini, di mana materialisme melanda dunia dalam segala bidang.
Materialisme – paham yang percaya bahwa yang benar-benar ada adalah
sesuatu yang bersifat materi – memberikan pengaruh kepada teologi kemakmuran.
Rahmat Allah yang terbesar – yaitu janji akan kebahagiaan Sorgawi –
direduksi menjadi kebahagiaan yang bersifat duniawi dan bersifat
material, seperti rumah, kesehatan, kekayaan. Dengan demikian, efek
dari pengorbanan Kristus di kayu salib direduksi menjadi kebahagian
semu yang ada di dunia ini. Alasan untuk mendapatkan kebahagiaan
material yang dibayar dengan pengorbanan Kristus, rasanya menjadi
terlalu murah dan terlihat menjadi kesia-siaan, karena memang Kristus
bukan datang ke dunia untuk memberikan kebahagiaan duniawi namun
kebahagiaan sorgawi. Mari kita membandingkan teologi kemakmuran dengan prinsip-prinsip Alkitab.
II. Teologi kemakmuran salah dalam menangkap pesan Alkitab dan tidak didukung oleh kesaksian jemaat perdana.
1. Teologi kemakmuran bertentangan dengan Alkitab.
a. Memang ada bagian di Alkitab yang menyatakan bahwa Tuhan akan memberikan kemakmuran bagi orang-orang pilihan-Nya. Dikatakan “Tetapi
haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang
memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud
meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek
moyangmu, seperti sekarang ini.” (Ul 8:18). Kita juga melihat bagaimana kitab Amsal mengatakan “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.” (Ams 10:22).
b. Namun di satu sisi, Alkitab juga mengatakan bahwa penderitaan –
kurangnya kekayaan dan kesehatan – bukan sebagai bukti bahwa Allah
tidak mengasihi umat-Nya. Kita melihat di kitab Ayub, di mana
diceritakan bahwa Ayub yang saleh dan jujur serta takut akan Tuhan
(lih. Ay. 1:1), tertimpa bencana. Dia kehilangan semua yang
dimilikinya, termasuk kekayaannya, ternaknya, termasuk keluarganya, dan
juga kesehatannya. Dan teman-teman Ayub mempergunakan teologi kemakmuran, dengan mengatakan “7
Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang
yang jujur dipunahkan? 8 Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang
membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga.” (Ay.
4:7-8). Teman-teman Ayub melihat bahwa kesengsaraan Ayub adalah
sebagai akibat dari dosa-dosanya, karena dalam pemikiran mereka, Allah
akan memberikan kelimpahan materi, kesehatan yang baik, serta kehidupan
keluarga yang baik, bagi orang-orang yang menjalankan perintah Allah.
Namun, pemikiran ini tidak dibenarkan oleh Allah (lih. Ay 42:7). Dari
kitab Ayub ini, kita sebetulnya melihat dimensi lain dari penderitaan,
yang bukan sebagai hukuman atas dosa, namun sebagai penderitaan yang innocent, yang selayaknya diterima sebagai suatu misteri.[1] Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Salvific Doloris, menyingkapkan penderitaan sebagai kesempatan untuk pertobatan, yang membangun kebaikan dari orang yang mengalaminya.[2] Dengan demikian, pengajaran teologi kemakmuran,
yang melihat bahwa penderitaan fisik (jasmani maupun kemiskinan)
sebagai sesuatu yang salah, seolah menutup adanya rahmat Allah yang
dapat bekerja secara istimewa kepada orang-orang yang sedang mengalami
penderitaan fisik.
Walaupun Kristus mengatakan “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mt 6:33), yang sering menjadi ayat andalan dari teologi kemakmuran, namun di ayat-ayat yang lain, Kristus juga memperingatkan para murid untuk berhati-hati terhadap bujukan mamon. Dikatakan “Tak
seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia
akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia
kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat
mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mt 6:24). Bahkan ditegaskan sekali lagi “Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
(Lk 18:25). Dengan demikian, penekanan bahwa Tuhan pasti akan
memberikan berkat-berkat material sebagai tanda kasih-Nya kepada umat
manusia, tidaklah menyampaikan kebenaran penuh akan pesan Kristus. Hal
ini bahkan dapat menyesatkan, terutama jika Kristus kemudian seolah
digambarkan sebagai tokoh semacam ‘sinterklas’ yang membagi- bagi
hadiah.
2. Teologi kemakmuran bertentangan dengan kehidupan jemaat perdana.
Kalau kita menganalisa sejarah kekristenan, maka kita akan dapat
melihat bahwa pada masa awal kekristenan, bukan kekayaan materi dan
kesehatan yang baik, yang mereka dapatkan, namun justru dikejar-kejar
oleh penguasa. Kita dapat melihat contoh mulai dari Yesus yang akhirnya
meninggal di kayu salib, para rasul yang juga menderita dan mati dalam
penganiayaan, para jemaat perdana yang juga menderita dan banyak yang
meninggal dalam mempertahankan iman mereka. Tubuh mereka bukannya
mendapat kesehatan yang baik, namun sering berakhir pada perut
singa-singa yang buas. Mereka inilah yang dengan setia memegang dan
menjalankan pengajaran Kristus sampai pada titik mengorbankan diri
mereka. Mereka mencintai kebenaran yang diwartakan oleh Kristus lebih
daripada harta kekayaan mereka, melebihi tubuh mereka dan melebihi
nyawa mereka. Bahkan dikatakan bahwa Gereja dibangun di atas darah para
martir.
3. Teologi kemakmuran bertentangan dengan kehidupan para santa-santo.
Kalau kita mempelajari kehidupan para santa-santo, maka kita melihat
bahwa mereka adalah orang-orang yang dipakai oleh Tuhan dengan begitu
luar biasa. Mereka senantiasa bekerjasama dengan rahmat Tuhan, sehingga
menghasilkan buah-buah yang limpah, dalam membawa banyak orang kepada
Tuhan, melalui doa- doa dan karya kerasulan mereka. Namun, apakah
mereka mempunyai kesehatan yang baik serta kekayaan yang berlimpah?
Mayoritas dari kehidupan para santa-santo diwarnai dengan begitu banyak
penderitaan. Namun demikian mereka tetap memiliki keberanian untuk
mengasihi Kristus dalam kondisi tersulit apapun. Kita melihat Santo
Fransiskus dari Asisi, yang meninggalkan kekayaannya demi untuk
mengikuti Kristus secara lebih total. Dia menjadi santo yang besar
dalam sejarah Gereja, bukan karena kekayaannya, namun karena
keberaniannya dalam mengikuti Kristus, termasuk dalam hal kemiskinan,
kemurnian dan ketaatan. Lihatlah kehidupan Santo Thomas Moore dari
Inggris, yang memilih kehilangan keluarga, kekayaan dan jiwanya untuk
tetap setia pada Kristus dengan setia terhadap pengajaran Gereja
Katolik.
4. Teologi kemakmuran bertentangan dengan akal sehat.
Kalau kasih Kristus kepada umat-Nya diukur dari seberapa banyak
umat-Nya menerima berkat finansial, maka sungguh sangat disayangkan,
dan bahkan tidak sesuai dengan akal sehat. Bayangkan nasib dari begitu
banyak penduduk miskin di dunia. Menurut data tahun 2001, ada 1,1
milyar orang masuk dalam garis kemiskinan yang ekstrim dan 2,7 milyar
masuk dalam garis kemiskinan, yang hidup kurang dari US$ 2 (Rp 18,000)
per hari. Ini berarti ada sekitar 40% dari populasi dunia berada di
bawah garis kemiskinan. Bahkan dikatakan bahwa 6 juta anak-anak
meninggal setiap tahun atau sekitar 17,000 meninggal setiap hari. Kalau
kekayaan material adalah identik dengan kasih Tuhan, maka bagaimana
mungkin, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak mengasihi orang-orang
miskin dan anak-anak yang meninggal setiap hari karena kemiskinan?
Bagaimana mungkin bahwa Tuhan pilih kasih dan memberikan hukuman kepada
mereka yang hidup dalam kemiskinan, dan sebagian bukanlah akibat
kesalahan mereka sendiri…
5. Teologi kemakmuran menghilangkan dimensi eskatologi.
Dengan memberikan penekanan pada kemakmuran material di dunia ini, maka teologi kemakmuran
secara tidak langsung mengaburkan dimensi eskatologi – yaitu yang
berhubungan dengan akhir zaman. Penekanan yang terlalu banyak akan
kebahagiaan material dari teologi kemakmuran
membuat seseorang berfokus pada apa yang terjadi di dunia ini dan
mengaburkan apa yang menjadi tujuan akhir dari seorang Kristen, yaitu
berkumpul bersama dengan Allah untuk selamanya di dalam Kerajaan Sorga.
Kita tahu bahwa seorang Kristen hidup di dunia ini, namun bukan dari
dunia ini. Seorang Kristen harus mempunyai kesadaran bahwa apa yang
dialami di dunia ini hanyalah bersifat sementara, karena pada saatnya
nanti ketika kemah kita di dunia ini dibongkar, maka Allah telah
menyediakan tempat kediaman abadi di Sorga (lih. 2Kor 5:1). Seorang
Kristen harus tahu bahwa kebahagiaan sejati bukanlah kebahagiaan
material, namun kebahagiaan spiritual, yang akan diterima dan dialami
secara penuh pada saat kita masuk dalam Kerajaan Sorga.
III. Arti yang sesungguhnya dari “hidup berkelimpahan“.
Kalau teologi kemakmuran menekankan kemakmuran material, maka sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata “kemakmuran“, namun yang menjadi masalah adalah penekanan kemakmuran
pada hal-hal yang bersifat material. Berjuang untuk memperbaiki taraf
hidup, tentu merupakan sesuatu yang baik. Namun tentang hasilnya,
apakah kita menjadi kelimpahan atau tidak secara duniawi, bukanlah
yang menjadi fokus utama dalam kehidupan umat beriman. Sebab bukan itu
yang menjadi janji Tuhan yang terutama. Kalau Tuhan memberi rejeki
duniawi berkelimpahan, puji Tuhan. Kalau tidak, juga tetap puji Tuhan!
Tuhan mengetahui yang terbaik bagi kita. Tuhan memang tidak melarang,
bahkan mengajarkan kita untuk memohon rejeki/ makanan secukupnya
setiap hari, dan ini kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami. Janji inilah
yang ditepati-Nya pada orang-orang yang percaya kepada-Nya. Namun
Tuhan tidak menjanjikan kelimpahan materi kepada setiap orang. Memang
Yesus mengatakan “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
(Yoh 10:10). Rasul Paulus juga menekankan hidup yang berkelimpahan,
namun bukan berkelimpahan dari sisi material, namun berkelimpahan dalam
kasih karunia (lih. Rm 5:20; Ef 2:7) dan oleh kekuatan Roh Kudus, kita
dapat hidup berlimpah-limpah dalam pengharapan (lih. Rm 15:13), serta
kelimpahan akan iman, kebajikan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan,
kasih (lih. 2Pet 1:6-8).
Dengan demikian, kita melihat bahwa kasih karunia Allah dicurahkan
secara melimpah kepada umat yang terus bekerjasama dengan rahmat Allah.
Namun, Yesus sendiri tidak pernah menjanjikan kelimpahan material,
walaupun Dia juga akan memberikan rejeki kepada orang-orang yang mencari
Kerajaan Allah dan bertanggung jawab terhadap panggilan hidupnya. Dia
mengatakan kepada para murid yang telah meninggalkan segala sesuatu
untuk mengikuti Yesus “Dan setiap orang yang karena nama-Ku
meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan,
bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali
seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” (Mt 19:29). Apakah “seratus kali lipat”
adalah merupakan janji untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat
material (harta, kedudukan, kesehatan, dll) ataukah sesuatu yang
bersifat spiritual? Untuk melihat ini, maka kita dapat melihat apa yang
terjadi pada para rasul. Apakah para rasul mendapatkan kekayaan? Tidak
sama sekali. Bahkan, semua rasul mendapatkan penderitaan dan kematian
karena mengikuti dan mengajarkan kebenaran Kristus. Namun, di
tengah-tengah penderitaan mereka, mereka tetap menerima rahmat yang
berkelimpahan, yaitu rahmat spiritual – kegembiraan dalam menghadapi
penderitaan dan rahmat pengharapan yang tak pernah surut, karena
percaya akan janji Kristus.
Dengan demikian, makna dari hidup berkelimpahan sebagai rahmat yang
mengalir sebagai orang yang percaya dan senantiasa bekerjasama dengan
rahmat Allah adalah senantiasa bermakna spiritual, entah orang tersebut
kaya maupun miskin. Atau kita harus menyetujui bahwa rahmat spiritual
adalah lebih penting daripada rahmat material, karena spiritual adalah
lebih utama dan kekal daripada material yang bersifat hanya sementara.
Dengan demikian, hidup berkelimpahan terbuka bagi siapa saja, baik bagi
yang kaya maupun yang miskin, yang berarti Tuhan memberikan kesempatan
yang sama bagi semua orang. Bahkan orang-orang yang miskin mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan hidup yang berkelimpahan,
karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengandalkan belas
kasih Tuhan. Dikatakan “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”
(Mt 5:3) Dengan memberikan penekanan bahwa keutamaan hidup
berkelimpahan adalah sesuatu yang bersifat spiritual, maka umat Allah
akan senantiasa berfokus pada sesuatu yang spiritual dan mengarahkan
pandangan pada tujuan akhir, yaitu persatuan abadi dengan Allah di
dalam Kerajaan Sorga tanpa juga melupakan kebaikan badan yang harus
dipenuhi selama kita berada di dunia ini.
Kesimpulan:
Dari pemaparan di atas, maka terlihat bahwa teologi kemakmuran adalah
teologi yang berfokus pada sesuatu yang bersifat material dan
sementara, yang bertentangan dengan pesan Kristus sendiri – yang
senantiasa mengutamakan rahmat spiritual dan tujuan akhir dari manusia,
yaitu persekutuan abadi dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga. Dengan
demikian, teologi kemakmuran terlalu menyederhanakan – mungkin lebih tepatnya membelokkan – pesan Injil. Teologi kemakmuran
menjadi sangat berbahaya di tengah-tengah kehidupan yang didominasi
oleh materialisme, karena seolah-olah mereka mendapatkan pembenaran
dari orientasi mereka ke hal-hal yang bersifat material.
Para Bapa Gereja dan jemaat Kristen awal, tidak pernah mengajarkan tentang penekanan terhadap kemakmuran
jasmani. Sebaliknya, yang diajarkan mereka adalah untuk menunjukkan
kasih kita kepada Tuhan sampai ke titik darah penghabisan: menyebarkan
Injil meski di dalam keadaan kekurangan dan penganiayaan, dan bahkan
berani menyerahkan nyawa demi mempertahankan iman.
Sesuatu yang perlu direnungkan adalah buah- buah dari pengajaran
Teologi sukses itu. Apakah umat jadi mau prihatin dan lebih berbelas
kasih kepada sesama, atau malah cenderung menjadi sombong, dan
menganggap bahwa orang miskin itu ‘layak’ miskin karena dosa mereka,
sehingga mereka tidak diberkati? Bukankah ini namanya menghakimi?
Hubungannya dengan Tuhan bisa seperti hubungan ‘dagang’, seolah mau
memberi sekian persen penghasilan dengan harapan menerima berlipat ganda
dari Tuhan, semacam investasi saja. Belum lagi kalau Teologi
ini membuat umat menjadi terikat dengan kenikmatan materi, dan ini
sudah pasti tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci, sebab malah
dikatakan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (1 Tim
6:10); atau bahkan Tuhan Yesus mengajarkan agar menjadi sempurna
seseorang dipanggil untuk memberikan semua harta miliknya kepada orang
miskin dan kemudian mengikuti Dia (Mat 19:21).
Selayaknya kita mengingat bahwa Tuhan Yesus sendiri memilih untuk
lahir sebagai orang miskin, untuk mengajarkan kepada kita untuk hidup
‘miskin di hadapan Allah’ (Mat 5:3). Semoga kita sebagai murid- murid
Kristus dapat diberi kebijaksanaan untuk menilai mana ajaran yang
berasal dari Tuhan, dan mana yang bukan. Dan agar jangan sampai kita
memilih- milih ajaran, yang mudah dan enak didengar kita terima, tetapi
yang sulit kita tolak. Kita harus berdoa agar kita dimampukan oleh
Tuhan untuk melaksanakan “segala sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya”
(lih, Mat 28:20) dan bukan untuk memilih- milih ajaran sesuai dengan
kehendak sendiri.
CATATAN KAKI:
Wednesday, May 23, 2012
Tahun 70-an: Kemenangan Musik
Setelah berbulan-bulan 'libur' mengisi blog ini, akhirnya saya punya passion lagi untuk menulis. Tadinya sih mau menulis hal-hal serius, seperti misalnya 'Perbandingan Presiden Indonesia Dari Pak Karno Sampai SBY' tapi kok rasanya malas sekali ya meneruskan, alhasil tulisan saya itu baru sampai Gus Dur, hehe.. Terus saya sepertinya lebih enjoy menulis dalam Bahasa Indonesia saja deh, soalnya kemampuan berbahasa Inggris saya sepertinya sudah jauh berkurang, bukan karena belajar bahasa Jerman terus sih, cuma saya saja kurang practice, hehe..
Nah, dalam tulisan terbaru ini saya mau mengangkat sedikit tentang zaman favorit saya dalam dunia permusikan; tahun 70-an. Kenapa saya bilang tahun 70-an itu hebat? Karena penyanyi atau band yang muncul di dekade itu biasanya menjadi legend dan lagu-lagunya abadi, contohlah Bee Gees atau Wings di Barat dan Koes Plus, The Mercy's atau God Bless di Indonesia. Mungkin bagi anak muda sekarang, mendengarkan musik lawas seperti 'haram' hukumnya, apalagi kalau sampai ketahuan teman-teman sebaya, bisa dibilang jadul lah, antik lah, padahal belum tentu, hehe..
Saya akan mengkhususkan tulisan ini untuk band Barat. Masa 70-an ini ditandai dengan bubarnya band legendaris The Beatles yang juga merupakan band favorit saya (mereka malah sudah mencuat di 60-an) dan personelnya bersolo karir, seperti Sir Paul McCartney yang mendirikan Wings (band favorit kedua saya) dan John Lennon dengan Plastic Ono Band-nya.
The Beatles; abadi, bahkan fans club-nya eksis di Indonesia. |
Wings, digawangi Sir Paul McCartney. |
Plastic Ono Band, digawangi John Lennon dan Yoko Ono. |
Zaman ini juga jadi awal munculnya grup Queen yang beranggotakan Freddie Mercury (yang terkenal dengan falsetto-nya), Brian May, Roger Taylor dan John Deacon. Grup ini sangat legendaris dan merupakan ikon kebudayaan di Eropa dan Amerika pada saat itu, status legendaris band ini turut disertai hits-hits mereka seperti Bohemian Rhapsody, Don't Stop Me Now, Somebody to Love, Under Pressure, dan masih banyak lagi.
Queen, di tahun 70-an banyak menelurkan hits legendaris. |
Selain itu, masih ada band asal Australia yang diawaki Gibbs bersaudara: Barry, Maurice dan Robin yang wafat Senin lalu. Pembaca mungkin asing dengan nama ini; yap, mereka adalah Bee Gees. Band ini pada awalnya beraliran pop sebelum beralih menjadi disko pada paruh kedua 70-an. Kini dari ketiga personel band ini hanya Barry Gibb seorang yang masih hidup setelah kematian Robin dan juga Maurice yang wafat pada 2003 silam. Lagu-lagu mereka yang masih menjadi kesukaan banyak orang misalnya How Deep Is Your Love (yang kerap dinyanyikan ulang oleh banyak penyanyi zaman sekarang), Massachussets, Staying Alive, First of May, dan masih banyak lagi.
Bee Gees, kini hanya Barry (tengah) yang tersisa. |
Nah, kini tiba saatnya untuk membahas band favorit saya dari tahun 70-an; Wings. Band yang dipimpin oleh Sir Paul McCartney (idola saya) dan istrinya Linda, gitaris Denny Laine, basis Jimmy McCulloch, dan drummer Joe English telah menarik perhatian saya selama bertahun-tahun. Bukan hanya karena genre musik mereka yang pop rock (sebagian besar konser mereka diadakan di stadion), tapi juga karena merupakan pionir dari genre stadium rock, yaitu jenis musik rock yang didesain khusus untuk dimainkan di stadion sehingga gemanya sangat terasa dan menggetarkan hati. Banyak sekali hits band ini yang nempel di hati saya, seperti nomor medley legendaris Venus and Mars/Rock Show, Mull of Kintyre, Goodnight Tonight, sampai lagu favorit saya sepanjang masa Band on the Run. Popularitas mereka begitu menonjol selama tahun 70-an, khususnya setelah tur Wings Over the World yang ambisius itu. Sayangnya band super ini bubar tahun 1981, tapi Sir Paul masih meneruskan menelurkan karya emas hingga sekarang. Hidup Sir Paul!
Wings di puncak kejayaannya, mereka bahkan punya pesawat sendiri! |
Selain band-band legendaris yang disebut diatas, masih ada beberapa band kesukaan saya seperti ABBA, The Doors dan lain-lain. Tetapi di bagian penyanyi solo pun tak kalah hebatnya. Artis solo paling legendaris di tahun 70-an adalah Elvis Presley, the King of Rock n' Roll, yang kematiannya yang mendadak di tahun 1977 menyentak seluruh dunia. Elvis, meskipun sangat ketergantungan pada obat-obatan, masih mengadakan sejumlah konser besar di tahun 70-an termasuk yang paling ikonik Aloha from Hawaii dan Rock Las Vegas.
Elvis dengan kostum khasnya, saat tampil pada konser Aloha from Hawaii. |
Selain itu, masih ada penyanyi solo yang mencuat pada tahun 70-an, seperti Bob Marley (yang dijuluki the King of Reggae), serta raja gitar Eric Patrick Clapton yang dijuluki Slowhand. Pengaruh mereka dalam musik modern masih terasa, bahkan sampai sekarang dijadikan role model oleh penyanyi seperti Shakira, Jason Mraz dan lain-lain.
Nah, demikian kira-kira yang dapat saya sarikan dari rasa ketertarikan saya pada musik tahun 70-an. Meskipun jadul, namun sejujurnya musik dari zaman inilah yang abadi dan bertahan lama, karena aspek musikalitasnya yang luar biasa dan inovasi-inovasinya dalam bermusik. Saya sangat terbuka dan welcome kepada pembaca yang ingin mengobrol soal band-band ini. Apa band/penyanyi 70-an favorit Anda?
Sunday, March 18, 2012
Napoleonic Germany and the Revolution of 1848 (translated)
NAPOLEONIC GERMANY AND THE REVOLUTION OF 1848
as edited, reviewed and corrected by
Willy Carolus Wardhana
Revolution of 1848
Revolusi pada bulan Maret 1848 pada intinya adalah pertentangan antara paham absolutisme dengan radikalisme, liberalisme dan nasionalisme, yang menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di banyak kota di Jerman. Enam dekade sebelumnya, sebuah kejadian penting telah terjadi di Eropa, yang dimulai dengan kekalutan dan teror dalam Revolusi Prancis, semua itu menginspirasikan pencerahan untuk merobohkan monarki Prancis pada tahun 1792. Semangat revolusi mengubah Prancis, membawa Eropa kedalam perang yang dikobarkan oleh Napoleon, mengguncang kestabilan politik dan sosial di Eropa sampai ke pusatnya dan membangkitkan semangat nasionalisme di Jerman yang terjadi setelah bubarnya Kekaisaran Romawi Suci. Setelah mengalahkan Napoleon (1769-1821) pada tahun 1815, harapan kaum revolusioner Eropa pupus ketika “Great Powers” (Negara-negara yang bersekutu melawan Prancis yang terdiri dari Austria, Prusia, Rusia, Inggris dan Hungaria) bertemu di Vienna dan kemudian dikenal dengan nama “Concert of Europe”, yaitu sebuah persekutuan negara-negara monarki yang didirikan untuk menciptakan keseimbangan politik dan menghentikan agitasi politik liberal. Pada musim semi 1848, hasil kongres ini mengakibatkan pecahnya kemarahan rakyat dan pada akhirnya, sebagai bentuk nyata, masyarakat turun ke jalan, dan mereka menginginkan perubahan sistem politik untuk berubah dari monarki ke sistem politik yang bersifat liberal-radikal. Perubahan politik yang radikal di Eropa mempengaruhi seluruh Eropa, khususnya Jerman, yang pada awalnya terjadi karena pengaruh Revolusi Prancis pada tahun 1789 dan diikuti dengan keruntuhan Kekaisaran Romawi Suci pada tahun 1806.
Di Dresden (ibukota kerajaan Saxon/Sachsen) revolusi dimulai dengan cukup tenang. Konfederasi Jerman menyetujui pemilihan umum untuk memilih anggota delegasi parlemen (semacam DPR, ed.) yang akan bertemu di Frankfurt untuk merancang sebuah konstitusi, namun demikian suasana berubah seketika. Pada bulan April 1848, sebuah organisasi politik nasional yang dikenal sebagai Asosiasi Patrotik (Patriotic Association, PA) didirikan dan calon dari asosiasi tersebut memenangkan semua kursi, kecuali satu, di parlemen Frankfurt. Asosiasi itu dipimpin oleh kaum intelek yang borjuis, yang merasa tidak puas dengan konstitusi negara monarki, tetapi kebanyakan massa pendukungnya terdiri dari kelompok buruh yang lebih radikal yang ingin mendirikan sebuah republik. Koran radikal seperti Volksblätter yang diterbitkan oleh seorang komponis Dresden, Agustus Röckel (1814-1876), mengobarkan semangat masyarakat dan membantu PA memperoleh anggota baru. Dengan terpilihnya banyak anggota PA menjadi anggota parlemen kerajaan Sachsen, Dresden menjadi pusat kegiatan radikal yang ingin menjatuhkan monarki.
Pada musim dingin tahun 1849, Dresden telah menjadi tempat sempurna bagi perkembangan politik radikal dan kader-kader revolusioner memulai sebuah rencana untuk menumbangkan monarki Sachsen. Para konspirator mencakup seorang tokoh pro-Republik, Samuel Edman Tzschirner (1812-1870), penerbit August Röckel dan Ludwig Wittig (1815-1874) dan juga revolusioner Rusia, Mikhail Bakunin (1814-1876). Khawatir dengan perkembangan politik radikal di Dresden, pada 28 April 1849 raja Friedrich August II (1797-1854) menolak untuk mengesahkan konstitusi liberal yang diajukan Parlemen dan sebaliknya malah membekukan Parlemen. Tindakan ini memicu kemarahan rakyat dan di tengah kekacauan itu, Prussia menawarkan bantuan militer kepada kerajaan Sachsen untuk meredakan kerurusuhan. Sebagai bentuk ketidakpuasan, demonstran yang tumpah ke jalan-jalan Dresden berbaris menuju gudang persenjataan negara, dan pada tanggal 3 Mei mereka menjarah senjata untuk mempertahankan diri mereka dari tentara Prussia yang menuju Dresden. Ketika aparat Sachsen ragu untuk menahan demonstran, kerusuhan mulai terjadi dan barikade mulai dipasang di jalan-jalan kota Dresden. Pemberontakan 1849 telah dimulai. Terdapat dua pihak yang saling bertentangan, yaitu pihak yang ingin mewujudkan sebuah negara republik dan sebaliknya pihak yang menginginkan negara monarki, akan tetapi Raja menolak untuk menerima usulan konstitusi liberal yang diajukan Parlemen.
Sementara Raja Friedrich August terus menolak, kaum revolusioner membentuk pemerintahan yang demokratis yang sifatnya sementara, yang dipimpin oleh Tzschirner. Para revolusioner berharap bahwa raja akan menyerah terhadap revolusi dan menerima konstitusi liberal, tetapi ia bersembunyi istananya yang terpencil di Königstein. Sementara pemerintah revolusioner mencoba untuk menempuh solusi diplomatik, pemimpin militer Dresden mengerahkan militer Sachsen dan menunggu kedatangan infantri Prussia untuk memadamkan pemberontakan. Karena para revolusioner tidak mampu meyakinkan warga Sachsen untuk memberikan pertolongan atau meyakinkan militer Sachsen untuk mendukung revolusi, kaum revolusioner menyiapkan barikade dan menunggu dengan cemas datangnya tentara penyerbu. Peperangan dimulai pada tengah hari tanggal 5 Mei dan 5.000 prajurit pro-Monarki mengalahkan sekitar 3.000 demonstran dan kaum revolusioner yang kekurangan persenjataan. Paling tidak 250 orang revolusioner tewas dan ratusan lainnya terluka dalam peperangan tersebut. Pada tanggal 9 Mei, pemberontakan secara resmi telah berakhir dan revolusioner yang selamat melarikan diri ke pengasingan di Swiss seperti komposer terkenal Richard Wagner (1813-1883), atau ke Amerika Serikat, sementara yang lainnya tertangkap dan dihukum penjara untuk waktu yang lama.
Pemberontakan Mei di Dresden merupakan episode terdarah dalam gelombang revolusi yang menyapu Jerman pada tahun 1848-1849. Pemberontakan pecah di semua kota besar kekaisaran: Berlin, Vienna, Dresden, Frankfurt, Stuttgart dan semua itu mengubah sejarah Jerman, untuk selamanya.
The French Revolution and Germany
Revolusi Prancis pada 1789-1799 menghapuskan monarki di Prancis dan mengubah keadaan di sana untuk selamanya. Dipicu oleh ketidakpuasan dengan ketidaksetaraan sosial dan terinspirasi oleh prinsip Aufklärung, semangat revolusi ini tidak hanya mengubah kehidupan di Prancis, namun juga di seluruh Eropa. Revolusi Prancis mengubah Eropa, menghapuskan sisa-sisa sistem feodal dan membawa politik radikal dan juga perubahan sosial dan ekonomi. Didirikan dengan prinsip progresif (mengikuti zaman, ed.), revolusi berubah menjadi kekerasan dan penindasan, yang memicu pertumpahan darah di benua Eropa. Tidak satu daerah pun di Eropa lebih terpengaruh revolusi Prancis dibandingkan Jerman, dimana revolusi yang berkobar mengakhiri sebuah sistem politik yang telah ada sejak 1000 tahun sebelumnya; Kekaisaran Romawi Suci. Revolusi Prancis menjadi inspirasi bagi banyak negara termasuk Jerman, menyingkirkan segala sesuatu yang bersifat feodal dan membawa perubahan sosial, politik dan ekonomi yang radikal. Terinspirasi oleh semangat Aufklärung, mereka sadar sistem politik yang ada pada masa itu telah menyimpang dan mereka ingin memperbaikinya, lalu kemudian kaum intelek memelopori penyerbuan ke penjara Bastille. Pada awalnya, para revolusioner hanya ingin memperbaiki sistem politik yang ada, namun dibalas dengan kekerasan oleh Monarki yang mengesankan seolah-olah tidak ada hukum di Prancis. Kemudian muncullah Napoleon, yang terkenal akan kejeniusan kemiliteran (strategi perang) yang bisa mengalahkan musuh sangat banyak dengan jumlah pasukan yang lebih sedikit. Kedatangan Napoleon ke Jerman mengubah sejarah Jerman karena dia mendirikan sebuah negara boneka yang tunduk sepenuhnya kepadanya, yang kemudian memicu serangkaian konflik dan peperangan yang dikenal sebagai “perang Napoleon” (Napoleonic Wars). Ia menerapkan kebijakan membentuk negara boneka di daerah-daerah yang sudah ia taklukkan, dan salah satunya adalah Jerman.
Pada awalnya, Revolusi Prancis disebabkan adanya ketidakpuasan rakyat karena raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoinétte menggunakan kas negara untuk berfoya-foya (penyalahgunaan kekuasaan). Pada awal revolusi Prancis, negara tetangga Prancis seperti Prussia dan Austria enggan untuk ikut campur. Meskipun secara naluriah seorang aristokrat seperti raja Leopold II tidak senang akan adanya sebuah pemberontakan, beliau melakukan pendekatan secara hati-hati. Leopold II mencoba memanfaatkan kerusuhan politik internal Prancis menjadi keuntungannya dalam kaitannya dengan konflik lama antara Dinasti Habsburg (dinasti yang memerintah Austria serta beberapa negara lainnya, ed.) dan Kerajaan Prancis. Sementara itu, melihat peluang untuk mengambil-alih lebih banyak wilayah Polandia yang tidak berdaya, Prussia pun turut mengamati situasi dalam negeri Prancis dengan baik. Pada tahun 1791, Leopold II semakin berusaha ikut campur dalam kekacauan di Prancis, salah satunya adalah karena ia adalah saudara dari permaisuri Louis XVI, Marie Antoinétte (1775-1793). Pada bulan Agustus tahun yang sama, Leopold meminta musuh Austria, yaitu Prussia, untuk bekerja sama mencanangkan Deklarasi Pilnitz. Dalam deklarasi ini, Leopold II dan Friedrich Wilhelm II (raja Prussia, ed.) memperingatkan para revolusioner di Prancis akan resiko apabila mereka sampai menyakiti keluarga kerajaan. Deklarasi Pillnitz, yang juga didukung oleh sekelompok bangsawan Prancis yang melarikan diri ke Austria dan Prussia setelah Revolusi, memicu ketegangan antara Pemerintah Revolusioner Prancis dan Kerajaan Austria.
Prancis menyerang terlebih dulu, dan pada bulan April 1792, Dewan Revolusioner (Semacam parlemen di Prancis yang didirikan setelah Revolusi, ed.) menyetujui usul pemerintah Prancis untuk menyatakan perang terhadap Austria dan memulai persiapan unuk invasi ke Belanda yang pada saat itu diduduki Austria. Prancis berharap rakyat Belanda untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah Austria dan memegang erat semangat kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Akan tetapi, tentara Prancis gagal melakukan tugasnya, karena para revolusioner Prancis telah menyapu bersih korps perwira yang kebanyakan terdiri dari kaum aristokrat (bangsawan). Disiplin telah hancur di seluruh kesatuan dan dalam semua pangkat ketentaraan. Seringkali, segera setelah sampai di medan perang, tentara Prancis melarikan diri (desersi). Sementara pemerintah Prancis berjuang untuk membangun kembali tentaranya, sebuah pasukan koalisi yang dipimpin oleh Duke of Brunswick, yang terdiri dari tentara Prussia yang meskipun berjumlah sedikit namun profesional, menyerbu Prancis pada bulan Juni 1792. Mereka dengan cepat menduduki sejumlah benteng Prancis, termasuk Verdun (benteng yang terbesar, ed.). Duke of Brunswick menyatakan sebuah deklarasi yang disebut “Brunswick Manifesto” yang ditujukan kepada pemerintah Prancis. Bukannya menghancurkan semangat revolusioner, deklarasi ini menyatakan bahwa tentara Koalisi berniat mengembalikan Raja Prancis ke tahtanya dan membunuh setiap pemberontak yang tersisa, yang sebaliknya malah membahayakan keluarga kerajaan dan membawa rakyat Prancis kedalam pemerintahan baru yang sama rapuhnya, jadi deklarasi ini bisa disebut gagal.
Pada tanggal 21 Januari 1793, sebagai respon atas Deklarasi Pilnitz dan Brunswick Manifesto, pemerintah Prancis menghukum mati Louis XVI dan Marie Antoinétte, dan tentara Prancis yang telah diperbarui maju ke medan perang. Pemerintah Prancis yang putus asa bergantung pada wajib militer massal untuk membentuk sebuah tentara yang berjumlah besar yang ditujukan untuk mengalahkan tentara Prussia yang meskipun berjumlah lebih sedikit namun profesional. Eksekusi Louis XVI memaksa Spanyol dan Portugal untk bergabung dalam Koalisi melawan Prancis, dan pada bulan Februari 1793, Prancis menyatakan perang kepada Inggris dan Republik Belanda. Sebuah medan perang telah disiapkan untuk pertempuran berdarah yang akan mengubah Eropa, yang dikenal sebagai Perang Revolusioner Prancis (French Revolutionary Wars).
Tentara Prancis segera menyadari bahwa mereka kalah kelas melawan musuh mereka yang lebih profesional, dan dalam pertempuran-pertempuran awal pada tahun 1793 mereka menderita kekalahan besar, yang memicu pemberontakan menentang pemerintah di pedesaan Prancis. Meskipun begitu, pada akhir tahun itu, belajar dari kekalahan-kekalahan yang penting ini, tentara Prancis yang berjumlah jauh lebih besar mulai membalikkan keadaan, mengalahkan tentara Koalisi, mengusir mereka dari wilayah Prancis dan membebaskan sejumlah provinsi Prancis yang diduduki Koalisi. Pada tahun 1794, tentara Prancis berbalik menyerang, dan mereka menduduki Italia dan Spanyol dan menaklukkan Belgia dan Rhineland. Pada tahun berikutnya, tentara Prancis mengalahkan Belanda, dan disana Prancis mendirikan sebuah negara boneka yang disebut Republik Batavia, yang menjadi awal keterlibatan Prancis dalam sistem politik Jerman satu dekade kemudian dibawah Napoleon. Menyaksikan kemenangan Prancis yang dramatis, Portugal dan Prussia menarik diri dari Koalisi. Pemerintah revolusioner Prancis telah menghindari kegagalan dan menjaga perbatasan negara baru mereka dengan aman.
Pada tahun 1796, tentara Prancis melancarkan serangan tiga arah terhadap Austria yang telah diperlemah dengan keluarnya Portugal dan Prussia dari Koalisi. Dua kesatuan tentara Prancis menyeberangi sungai Rhein, dan yang ketiga dibawah seorang perwira muda bernama Napoleon Bonaparté bergerak memasuki Italia. Ketiga kesatuan ini memiliki tujuan yang sama: mereka harus bertemu kembali di tanah Austria dan merebut Vienna, ibukota Austria, tempat kedudukan resmi Dinasti Habsburg. Setalah serangkaian kemenangan di Jerman, dua kesatuan tentara Prancis yang masuk dari arah utara maju ke arah Bavaria dan masuk ke daerah Tyrol, sebelum dikalahkan oleh tentara Austria yang dipimpin oleh Archduke Charles. Ketika dua kesatuan Prancis itu harus mundur ke seberang sungai Rhein, kesatuan ketiga yang dipimpin oleh Napoleon sendiri bernasib lebih baik di Italia dan mereka berhasil mengalahkan tentara Austria disana dan mengepung kota Mantua. Setelah kota Mantua menyerah dan 18.000 lebih tentara Austria menyerah, daerah Tyrol terbuka untuk tentara Napoleon, dan Austria kemudian memohon perdamaian, dan mereka terpaksa menandatangani perjanjian yang memalukan. Dalam Traktat Campo Formio, yang ditandatangani pada bulan Oktober 1797, Austria harus menyerahkan Belgia kepada Prancis dan mengakui penguasaan Prancis atas Rhineland dan Italia utara. Lebih jauh, Prancis dan Austria membagi wilayah Republik Venesia. Meskipun traktat ini menandai hancurnya Koalisi Pertama melawan Prancis, hal itu tidak mengakhiri permusuhan dalam jangka waktu yang lama, dan Austria bersiap untuk berperang lagi.
Pada tahun 1798, Napoleon meluncurkan ekspedisinya ke Mesir yang jauh dari Eropa, yang melegakan pemerintah Prancis yang senang apabila jenderal (Napoleon) yang ambisius itu jauh dari pusat kekuasaan. Dalam ketidakhadirannya, Prancis ikut campur dalam persoalan dalam negeri Swiss yang memang sudah memburuk sebelumnya, dan mendirikan negara boneka lainnya yang dinamai Republik Helvetica. Prancis menganeksasi (mengakui sebagai wilayah dalam negerinya, ed.) kota Jenewa (Geneva), dan mencoba mengubah keadaan di Roma, dengan mencoba menjatuhkan Paus Pius VI (1717-1799), sebelum mendirikan sebuah republik pro- Prancis di Kota Abadi (The Eternal City, julukan untuk kota Roma, ed.). Resah melihat perkembangan ini, dan khawatir akan campur tangan Prancis terhadap urusan dalam negeri Prussia, Austria membentuk Koalisi Kedua yang lebih kuat melawan Prancis pada bulan Juni 1798. Koalisi Kedua terdiri dari Austria, Prussia dan Inggris, yang diperkuat lagi dengan bergabungnya sekutu baru yaitu Kekaisaran Rusia. Koalisi Kedua ini menyerbu Prancis dari beberapa arah pada tahun 1799.
Di Italia, Rusia memenangkan beberapa pertempuran penting, yang mengusir tentara Prancis kembali ke Pegunungan Alpen. Sementara itu, Prancis juga bertempur melawan Inggris di Belanda dan melawan Rusia di Swiss. Archduke Charles, pemimpin militer Austria yang cemerlang, memaksa tentara Prancis di Jerman untuk mundur kembali ke seberang sungai Rhein. Segala aspek dalam peperangan terlihat suram untuk Prancis, sampai terjadi perselisihan didalam Koalisi Kedua yang terjadi karena Rusia menarik diri dari Koalisi. Sementara itu, pada akhir tahun 1799, Napoleon kembali dari petualangannya yang gagal di Mesir, dan dia mengambil-alih kekuasaan militer, sekaligus merebut kekuasaan di Prancis. Napoleon segera mengangkat dirinya sebagai Konsul Pertama, yaitu pemimpin tertinggi Prancis, dan dia segera kembali ke garis depan pertempuran sebagai komandan militer.
Pada tahun 1800, tentara Prancis yang dipimpin oleh Napoleon sendiri membalikkan peruntungan Austria di Italia, mengalahkan tentara Austria dalam pertempuran Marengo dan mengusir tentara Austria kembali ke Pegunungan Alpen. Setelah kemenangan besar Prancis lainnya di Jerman, di Hohenlinden, dekat München, Napoleon segera berada di gerbang kota Vienna. Keadaan ini mengacaukan Koalisi Kedua dan memaksa Austria untuk menyerah sekali lagi. Dalam Traktat Lunéville, yang ditandatangani pada bulan Februari 1801, Austria harus mengakui pendudukan Prancis terhadap wilayah di sekitar sungai Rhein dan mengakui negara boneka Prancis di Belanda dan Italia. Setelah Austria menyerah, Inggris pun terpaksa menyerah.
Napoleon and the Dissolution of Holy Roman Empire
Meraih kemenangan demi kemenangan dalam waktu singkat, Napoleon membubarkan Pemerintah Revolusioner pada bulan Mei 1804. Pada bulan Desember tahun yang sama, ia mengangkat dirinya sendiri sebagai Kaisar Prancis, dengan persetujuan Senat. Bukannya mendamaikan Eropa yang sedang “panas” saat itu, ambisi Kaisar Prancis telah menimbulkan kekerasan yang semakin meningkat, yang menghancurkan Eropa pada dekade yang sama. Konflik ini dikenal sebagai Perang Napoleon (Napoleonic Wars), yang mengubah Jerman selamanya.
Pada tahun sebelumnya, 1803, telah terjadi sebuah kejadian penting di Jerman. Sebagai akibat langsung dari pendudukan Napoleon, batas-batas antar negara kecil didalam Kekaisaran Romawi Suci menjadi tidak jelas, dan Kaisar Romawi Suci yang berkuasa (Francis II) mengesahkan salah satu undang-undang resmi terakhir yang diciptakan Kekaisaran Romawi Suci, The Recess of Imperial Delegation. Pembuatan undang-undang ini melambangkan sebuah usaha untuk mengakhiri kekejaman yang diawali oleh Traktat Lunéville pada tahun 1801 yang menyerahkan seluruh daerah Kekaisaran Romawi Suci di sebelah barat sungai Rhein kepada Prancis. Kaisar Francis II (1768-1835), Kaisar Romawi Suci terakhir yang bertahta setelah kematian Joseph II pada tahun 1790, menugaskan sebuah komisi untuk mengatur pemberian kompensasi untuk para bangsawan Rhineland yang kehilangan kekuasaannya ketika Prancis menduduki tanah warisan mereka. Pada bulan Februari 1803, Komisi memberikan kompensasi terhadap pangeran-pangeran sekuler berupa daerah baru yang diambil dari wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah kota-kota kekaisaran dan tanah milik Gereja. Ketika semua kompensasi telah dibayarkan, hanya enam dari 48 kota besar kekaisaran yang tersisa dan semua, kecuali tiga, pemimpin Gereja disingkirkan. Akibatnya, tindakan Komisi tersebut mempengaruhi perubahan batas-batas daerah, perubahan afiliasi politik dan sumber daya ekonomi di dalam kekaisaran. Membatalkan status quo dan menghilangkan kegelisahan, hal itu bahkan mengobarkan semangat para revolusioner untuk membubarkan Kekaisaran Romawi Suci.
Pada tahun sebelumnya (1804), beberapa negara bagian Kekaisaran Romawi Suci, seperti Bavaria, Württemberg dan Baden, bahkan membentuk sebuah aliansi terpisah dengan Prancis. Kekaisaran Romawi Suci runtuh dengan cepat. Merasa terancam oleh situasi ini, Austria, Portugal dan Rusia bergabung dengan Inggris membentuk Koalisi Ketiga melawan Prancis pada tahun 1805. Koalisi ini terbukti tidak lebih sukses dibandingkan dua pendahulunya, terbukti dengan kekalahan besar mereka dalam sejumlah pertempuran di tangan Napoleon dan jenderal-jenderalnya. Sementara Inggris mencegah kemungkinan invasi Prancis dengan kemenangan besar angkatan lautnya di Trafalgar, di Jerman, Prancis mengalahkan mereka dalam pertempuran di daratan. Dalam sebuah serangan kilat di kota Ulm, di Jerman selatan, tentara Prancis yang dipimpin Napoleon mengalahkan tentara Austria sebelum menghancurkan tentara gabungan Rusia-Autria di Austerlitz pada awal bulan Desember. Kekalahan dalam pertempuran di Austerlitz menandai kekalahan Austria yang ketiga. Kemudian, Austria terpaksa untuk sekali lagi menyerah melalui Traktat Pressburg yang pahit yang ditandatangani pada tanggal 26 Desember 1805. Traktat ini menegaskan kembali syarat-syarat Traktat Lunéville, ditambah kewajiban Austria untuk menyerahkan sejumlah daerah di Jerman kepada Prancis dan membayar kerugian yang dialami Prancis akibat peperangan. Pertempuran Austerlitz juga menjadi lonceng kematian bagi Kekaisaran Romawi Suci, sebuah institusi yang telah memerintah Jerman selama 1.000 tahun.
Pukulan pertama bagi eksistensi Kekaisaran Romawi Suci datang pada tanggal 12 Juli 1806, ketika Prancis menyetujui pembentukan sebuah aliansi dengan 16 negara kecil di Jerman, termasuk Baden, Bavaria, Hesse-Darmstadt, Sachsen dan WĂĽrttemberg. Dengan menyetujui perjanjian ini, 16 negara tersebut secara resmi menarik diri dari aliansi dengan Kekaisaran Romawi Suci dan membentuk koalisi yang dikenal dengan nama Konfederasi Rhein (Rhinebund), sebuah negara penyangga yang didirikan untuk mengamankan perbatasan timur Prancis. Utamanya ditujukan sebagai sebuah aliansi militer, Konfederasi Rhein secara resmi bergabung dengan Kekaisaran Prancis segera setelah pembentukannya. Kemudian, negara-negara yang telah menjadi anggota Rheinbund diperbolehkan untuk menduduki sejumlah daerah yang telah direbut Prancis dengan persetujuan Prancis. Pemimpin-pemimpin dari keenam-belas negara itupun secara resmi disetujui dan diangkat oleh Prancis. Menghadapi situasi yang traumatis ini, dan ditambah lagi dengan ultimatum dari Napoleon, pada tanggal 6 Agustus 1806, Francis II secara resmi turun tahta sebagai Kaisar Romawi Suci dan mengumumkan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci. Dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci dan hilangnya perlindungan bagi sejumlah negara kecil yang masih tetap setia pada Kekaiasaran Romawi Suci, negara-negara kecil yang tersisa itupun segera bergabung dengan Konfederasi Rhein. Pada akhirnya, hanya Rusia, Austria, Prussia, Denmark-Holstein dan Swedia-Pomerania negara yang tersisa di Eropa daratan yang menentang Napoleon.
Prancis mengalahkan Koalisi Keempat yang dibentuk untuk mencegah dominasi Prancis di Eropa pada tahun 1806-1807. Dalam Koalisi Keempat, Prussia bergabung dengan Inggris, Rusia, Sachsen dan Swedia. Dinasti Hohenzollern yang memerintah Prussia khawatir akan Prancis yang semakin ambisius dan menentang pembentukan Konfederasi Rhein yang merupakan ancaman bagi dominasi dan pengaruh mereka di Jerman. Pada akhirnya, bahkan militer Prussia yang diatas kertas lebih kuat hanya berakhir sia-sia, ketika Napoleon memenangkan sebuah pertempuran besar melawan Koalisi Keempat, dengan cara mengalahkan tentara Prussia di Jena-Auerstedt pada bulan Oktober tahun 1806. Prancis berhasil menduduki Berlin dan menguasai Prussia Timur. Dengan meluncurkan sebuah serangan besar terhadap Rusia dari daerah Prussia yang berhasil mereka duduki, Prancis memaksa Rusia dan seluruh Koalisi Keempat untuk menyerah pada bulan Juni 1807. Perjanjian yang diadakan setelahnya, traktat Tilsit, memiliki akibat yang besar untuk jerman. Berdasarkan isi Traktat tersebut, Prancis menerima sebagian wilayah Prussia, yang dibentuk ulang oleh Napoleon sebagai Kerajaan Westphalia. Kerajaan ini adalah sebuah negara boneka Prancis, yang tahtanya diberikan kepada saudara kandung Napoleon, Jerome Bonaparte (1784-1860). Setelah diangkat sebagai raja, ia segera bergabung dengan Konfederasi Rhein dan memberlakukan sejumlah reformasi sosial, ekonomi dan hukum yang didasarkan kepada model Prancis.
Pada tahun 1809, Kekaisaran Austria, yang telah memodernisasi taktik, peralatan dan organisasi militernya yang dipelopori oleh Archduke Charles, bergabung dengan Inggris dan membentuk Koalisi Kelima melawan Prancis. Napoleon menerima bantuan terbesar dari Kerajaan Bavaria, sebelumnya merupakan bagian Kekaisaran Romawi Suci yang bersekutu dengan Prancis. Setelah perang berdarah melawan Austria dan Inggris di Eropa Tengah, Prancis memperoleh kemenangan yang menentukan dalam pertempuran Wagram di luar Vienna, dimana 300.000 tentara dari kedua belah pihak terlibat. Dengan Prancis yang sekali lagi berada di gerbang kota Vienna, Austria untuk kelima kalinya terpaksa menyerah melalui sebuah perjanjian yang memalukan, yaitu Traktat Schönbrunn. Sebagai tebusan atas eksistensi Kekaisaran Austria dan Dinasti Habsburg, Austria menyerahkan sejumlah daerahnya yang paling bernilai untuk Prancis dan sekutunya, termasuk Carinthia, dan Carniola Singkat kata, Austria kehilangan lebih dari 3 juta rakyat dengan hilangnya daerah-daerah ini. Lebih jauh lagi, Kekaisaran Austria diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas kerugian perang dalam jumlah besar kepada Prancis, mengakui Jerome Bonaparté sebagai Raja Spanyol, dan mengembargo Inggris dalam kaitannya dengan perang melawan Prancis.
Sementara orang-orang Jerman yang bertempur demi Kerajaan Prussia, Austria, Bavaria dan banyak negara-negara kecil lainnya telah bertempur dalam sisi yang berlawanan selama perang Napoleon, masa ini juga menjadi masa yang revolusioner dan memajukan teknik kemiliteran. Disamping runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci, masa ini juga menjadi tonggak kebangkitan nasional Jerman. Meskipun tentara Prancis menang dalam pertempuran di wilayah Jerman, mereka gagal memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah pendudukan, terutama daerah Kerajaan Westphalia dan daerah Austria disekitar Tyrol sebagai akibat rakyat yang kesal akibat dominasi Prancis. Pada tahun 1812, Rakyat Jerman semakin menunjukkan sifatnya yang menentang.
Pada masa ini, bangsa Jerman belum memiliki kesadaran nasionalisme karena perang masih terjadi sesama orang Jerman (yang berperang atas nama Kerajaan Prussia, Bavaria, Sachsen, dan banyak negara lainnya). Perang Napoleon berakhir pada bulan Oktober 1813 dalam Pertempuran Leipzig, sebuah pertempuran yang dianggap paling besar sebelum Perang Dunia Pertama dan dijuluki Pertempuran Bangsa-Bangsa (Battle of the Nations). Setelah itu, terjadi sebuah usaha untuk merestorasi Eropa untuk mengembalikan keadaan politik, ekonomi dan sosial di Eropa melalui Kongres Vienna yang dipelopori oleh Menlu Austria, Klemens Wenzel yang bertujuan untuk mendefinisikan ulang batas-batas negara Eropa yang telah berubah banyak selama Perang Napoleon, menyelesaikan konflik politis yang muncul akibat perang selama ¼ abad, dan juga mengatasi ketidakstabilan di daerah Eropa Tengah yang disebabkan tidak adanya lagi Kekaisaran Romawi Suci.
Keputusan Kongres Wina terhadap wilayah Jerman adalah terbentuknya Konfederasi Jerman, yaitu konfederasi yang menggabungkan 38 daerah di Jerman yang bertujuan untuk mencegah semangat radikal yang dicetuskan oleh Napoleon, mencegah negara-negara Eropa untuk tidak mengalami revolusi seperti Revolusi Prancis, dan juga mengambil alih pemerintahan yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Romawi Suci. Tindakan awal yang dilakukan Konfederasi Jerman adalah mengupayakan pertumbuhan ekonomi di Jerman dan memperbaiki perekonomian pasca Perang Napoleon, dengan cara mengadopsi mata uang dan sistem ukur yang sama bagi semua anggota konfederasi, dan juga meniadakan pajak retribusi.
Konfederasi Jerman yang baru dibentuk ini mengalami keberhasilan dalam bidang ekonomi, karena Jerman dapat menghasilkan produk-produk yang dapat mensejahterakan rakyatnya, sedangkan masalah yang harus dihadapi oleh Konfederasi juga terjadi pada bidang ekonomi, yaitu pertumbuhan kelas menengah sehingga menghasilkan kesejahteraan sosial yang tidak merata. Apabila dilihat dalam konteks Revolusi Prancis, Konfederasi Jerman tidak sesuai dengan semangat Revolusi karena Konfederasi ini membatasi ruang gerak kaum radikal yang revolusioner dan melindungi kepentingan kaum nasionalis yang konservatif.
Subscribe to:
Posts (Atom)