Wednesday, December 26, 2012

Natal 2012: Refleksi dan Renungan

     Setelah minggu-minggu akhir UAS yang melelahkan dan Natal yang sayangnya telah berlalu, baru saya sempat untuk menulis post baru. Saya ingin menyampaikan hasil renungan saya selama Natal kemarin.
     
     Natal, seperti yang kita semua tahu, adalah peringatan kelahiran Yesus Kristus. Kejadian ini sangat dianggap penting oleh umat Kristen pada umumnya, dan Katolik pada khususnya; meskipun puncak liturgi Katolik adalah Penyaliban dan Paskah Tuhan. Ada beberapa hal yang menurut saya, sangat layak untuk direnungkan untuk memahami esensi Natal yang saya rasa tepat.
     
     Sekarang ini (mungkin juga sudah sejak abad yang lalu) Natal selalu identik dengan cita rasa yang Eropa sekali: salju, putih, pohon cemara, Sinterklas, kado, hiasan, lampu, dan sebagainya. Memang semua ciri khas tadi adalah bawaan dari budaya yang berkembang di Eropa sana. Saya pikir, mungkin tradisi Natal harus diinkulturisasikan kedalam budaya yang dipahami orang Indonesia. Contoh: Sinterklas dengan pakaian merah yang tebal, mungkin harus diganti dengan pakaian yang tidak terlalu meriah. Begitupun pohon cemara, yang tidak tumbuh di Indonesia. Mungkin juga harus diganti dengan pohon khas Indonesia seperti pohon sawo atau yang lain.
     
     Romo di gereja saat misa Natal kemarin mengatakan, alasan pemilihan pohon cemara sebagai pohon Natal hanya karena satu alasan: pohon itu merupakan satu-satunya pohon yang menampakkan daunnya selama musim dingin, ketika pohon-pohon lain meranggas dan menggugurkan daunnya. Pohon cemara adalah simbol harapan, "Hope" yang tak habis ditelan musim atau waktu. Evergreen sepanjang waktu.
     
     Sebetulnya malah saya merasa risih dengan suasana menjelang Natal. Sekitar seminggu sebelum Natal, semua pusat perbelanjaan di kota tempat tinggal saya (Depok, maksudnya) tak henti-hentinya memutar lagu-lagu Natal dan semuanya memasang hiasan Natal semeriah mungkin, tentunya disertai promo-promo diskon yang menarik. Bahkan mungkin lebih meriah daripada suasana menjelang Idul Fitri. Padahal umat Kristen di Depok bukan (tepatnya: belum) menjadi mayoritas. Namun saya perhatikan, fenomena ini terjadi merata di seluruh Jabodetabek (setidaknya dari beberapa pusat perbelanjaan yang saya kunjungi selain di Kota Depok).
     
     Apa yang salah? Bukan saya tidak senang Natal dirayakan meriah. Namun pesan yang dikandung dibalik semua hiasan itu. Orang kini cenderung menganggap Natal adalah masa berpesta, masa bersuka-ria menyambut datangnya Juruselamat. Kehadiran Juruselamat di dunia diperingati dengan hura-hura. Makan-minum berlebihan. Ketawa-ketiwi. Meskipun jujur, saya juga begitu kemarin (iyalah, kapan lagi?!) namun saya paham, pesan yang ingin disampaikan bukan itu, sebenarnya.
     
     Natal pertama di Bethlehem adalah natalnya orang-orang termiskin. Cuma gembala yang berkumpul di sebuah kandang domba yang terpencil di luar kota, menemani Ibu Maria dan suaminya Yosef yang menantikan Anak mereka. Lenguhan domba dan jerami yang hangat menjadi pelengkap suasana kedatangan sang Penebus. Tak ada lampu, hiasan, dan segala macam ornamen Natal. Bahkan iringan musik organ pun tak ada. Cuma seorang Bayi mungil yang lahir, terbungkus lampin yang hangat. Tak lama datang Tiga Orang Majus (Caspar, Melkior dan Balthasar) membawa emas, kemenyan dan mur bagi sang Raja yang telah turun.
     
     Natal harusnya menjadi momen yang baik untuk berefleksi. Betapa kehadiran sang Juruselamat telah menjadi sukacita bagi kita untuk mengenang momen pembebasan manusia dari jerat dosa. Sesuai dengan motto resmi PGI dan KWI untuk Natal tahun ini: "Allah telah mengasihi kita" (1 Yoh 4:19), Allah telah menunjukkan belas kasih-Nya yang tertinggi dengan menjelmakan diri-Nya dalam rupa insan, guna menebus dosa kita manusia yang luar biasa banyak, yang telah diwariskan turun-temurun sejak zaman Adam. Allah kita bukan Allah yang gengsi, yang tidak berbuat sesuatu apapun untuk menyelamatkan anak-anak-Nya yang Ia kasihi. Ia sendiri rela turun ke dunia. Kurang luar biasa apa?
     
     Natal juga hendaknya menjadi momen untuk memikirkan kembali: pantaskah kita untuk merayakan datangnya sang Juruselamat? Memang kita adalah manusia, yang cenderung jatuh ke dalam dosa, tapi ya setidaknya, bisa berbuat yang baik, lebih banyak dari dosa yang kita perbuat. Satu contoh yang berharga, yang saya alami tepat setelah misa Natal kemarin, ketika saya pulang naik motor dari gereja. Di jalan, saya hampir menabrak orang yang sepertinya tidak melihat dulu sebelum menyebrang. Bukannya minta maaf (atau setidaknya jalan terus) dia malah memaki saya, dengan kata yang tidak pantas. Kalau dalam keadaan normal, akan saya ladeni itu orang. Namun berhubung saya baru berdoa "..Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.." saya tersenyum saja kepadanya, dan melanjutkan perjalanan. Saya kira pengalaman sehari-hari seperti ini sangat berharga untuk mengetes iman kita, dan penghayatan kita akan doa-doa yang sehari-hari kita ucapkan.
     
     Akhir kata, Natal memang momen yang tepat untuk dirayakan, tapi tetap memperhatikan kesederhanaan, itu yang penting. Selamat Natal!      

No comments:

Post a Comment