Apakah
kekerasan itu? Sejauh mana kita telah mendefinisikan apa yang dapat disebut
sebagai ‘kekerasan’? Bagaimana manusia dapat hidup tanpa kekerasan? Pertanyaan
itu muncul didalam benak anggota kelompok kami saat menghadiri acara diskusi
mengenai perbandingan tindak kekerasan dan pencerminan kekerasan dalam seni di
Goethe-Institut Jakarta, pada hari Minggu, 29 September 2013. Diskusi tersebut
dipandu oleh Hilmar Farid sebagai moderator, dan Romo Franz-Magnis Suseno, SJ,
Okky Madasari, dan Galuh Wandita sebagai narasumber. Sebelum diskusi dimulai,
sekitar sejak sejam sebelumnya telah diputarkan dua film mengenai contoh-contoh
tindak kekerasan yang telah terjadi di masa lalu, yaitu film “Spielzeugland”
karya Jochen A. Freydank, yang bercerita mengenai nasib dua orang anak, yaitu
Heinrich yang orang Jerman asli dengan David yang merupakan orang Yahudi, yang
dibawa ke kamp konsentrasi. Sedangkan film kedua “Jembatan Bacem” bercerita
mengenai nasib orang-orang yang dibantai setelah dituduh sebagai simpatisan
Partai Komunis Indonesia di daerah Solo, Jawa Tengah pasca peristiwa G30S-PKI
pada 1966-1967.
Hilmar Farid memulai diskusi dengan
pendapatnya bahwa ketika jurnalisme dibungkam, maka sastralah yang bicara.
Selain itu, kesenian pun dapat memberi tanggapan yang relevan atas tindak
kekerasan yang terjadi. Kedua hal tersebut (sastra dan kesenian) merupakan satu
rangkaian proses yang tepat apabila diterapkan untuk meredam kekerasan, dalam
batas tertentu.
Selanjutnya Romo Magnis memaparkan
uraiannya mengenai tindak kekerasan yang terjadi, baik di masa lalu maupun di
masa kini. Beliau berpendapat bahwa tidak cukup kekerasan diatasi dengan
sekedar mengetahui, namun juga harus ikut memikirkan solusi atas kekerasan
tersebut. Satu hal yang ditekankannya di awal uraiannya adalah kata-kata yang
dia ucapkan dalam Bahasa Inggris: “Our nation never learned from the past and
always resort to violence to solve even the smallest kind of problem” (Bangsa
kita tak pernah belajar dari masa lalu dan selalu beralih kepada kekerasan
untuk menyelesaikan masalah, bahkan yang terkecil). Selanjutnya beliau
memberikan contoh mengenai peristiwa kekerasan yang terjadi di masa lalu, yang
menimbulkan jumlah korban yang cukup banyak: Diantaranya adalah Peristiwa
Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, dimana diperkirakan sekitar 4.000
orang tewas. Selanjutnya adalah pembantaian yang terjadi setelah G30S-PKI
terhadap anggota PKI maupun yang dicurigai sebagai simpatisan atau anggota
badan-badan onderbouw PKI: Perkiraan
sekitar 500.000-3.000.000 korban tewas. Bahkan di masa kini, tindak kekerasan
itu pun masih berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pengeroyokan
terhadap pencuri, tawuran antar pelajar dan perilaku pengendara sepeda motor
yang mengambil alih lahan para pejalan kaki, menurut Romo Magnis pun sebenarnya
merupakan sebuah tindak kekerasan, yang harus segera diakhiri. Selain itu Romo
Magnis juga memberikan contoh lain mengenai peristiwa kekerasan yang
berlangsung di Timor-Timur selama pendudukan Indonesia pada tahun 1976-1999:
Sekitar seperempat rakyat Timor-Timur tewas dalam jangka waktu seperempat abad.
Romo Magnis menjelaskan, secara psikologis
seharusnya kita semua sebagai manusia pun harus menghormati harkat dan martabat
manusia lain, khususnya terkait dengan hak-haknya untuk bertahan hidup yang
harus dipenuhi. Selain itu, dengan melihat contoh yang telah terjadi di masa
lalu, kekerasan dalam skala besar hampir selalu melibatkan otoritas yang
berwenang, dalam artian bahwa pembantaian dan kekerasan yang terjadi timbul
dikarenakan adanya perintah, dan dalam setiap kesempatan hampir yang selalu
menjadi katalisatornya adalah Angkatan Bersenjata. Meskipun mengakui bahwa
apapun bisa dilakukan kepada manusia, termasuk penyiksaan dan pembunuhan, namun
sebagai makhluk yang berakal, seharusnya kita tidak melakukan hal itu dengan
alasan apapun. Sebenarnya tidak perlu filsafat untuk memahami hal sesederhana
ini; kita hanya perlu memeriksa diri dan hati nurani kita sendiri sebagai
seorang manusia; pantaskah kita melakukan hal tersebut?
Pembicara selanjutnya yang tampil adalah
Galuh Wandita. Galuh memaparkan, bahwa diperlukan usaha-usaha tertentu di dalam
bidang budaya untuk memahami dan mengatasi sepenuhnya tindak kekerasan yang
terjadi. Mungkin budaya tidak dapat menyelesaikan masalah, namun budaya dapat
memengaruhi manusia-manusia sehingga hanya manusialah yang dapat menghentikan
kekerasan yang mereka lakukan sendiri. Meskipun demikian, tidak semua kekerasan
itu dilakukan secara sadar dan penuh pertimbangan; Okky menjelaskan, seperti
contohnya di Timor-Timur, ketika pendudukan Indonesia masih berlangsung,
beredar secara gelap semacam narkoba yang disebut ‘Pil Anjing Gila’; yang
membuat orang yang mengkonsumsinya melakukan kekerasan yang hampir tidak
mungkin dilakukannya dalam kondisi sadar, seperti membunuh pastor, memperkosa
biarawati, anak-anak, dan lain sebagainya. Budaya pun sebenarnya memiliki
potensi untuk berubah, dan akan menjadi masalah besar apabila budaya yang
berkembang diarahkan menjadi pembenaran terhadap kekerasan, seperti yang muncul
pada masa Orde Baru di Indonesia. Selainj itu, Okky menetapkan pentingnya penamaan
terhadap sebuah peristiwa atau kekerasan tertentu dari sudut pandang korban;
sebagai contoh, pembantaian orang Yahudi di Eropa dikenal secara luas sebagai
‘Holocaust’ yang secara harafiah bermakna: ‘Pemusnahan dengan api’. Tentunya
terminologi yang demikian muncul dari perspektif korban, karena jika ditinjau
dari perspektif pelaku, maka terminologi yang muncul adalah: ‘Endlösung’
(Solusi Terakhir). Di Indonesia, belum terdapat penamaan yang demikian dan
masih berpatok pada versi resmi yang beredar, yang belum tentu benar.
Selain itu, Galuh memaparkan tentang
hilangnya tonggak-tonggak sejarah mengenai kekerasan di Indonesia, yang tidak
secara langsung mengasosiasikan sebuah benda/tempat dengan suatu peristiwa
kekerasan. Seperti contohnya, di Jerman, rel kereta dan kereta uap senantiasa
diasosiasikan dengan Holocaust,
karena pada zaman Nazi, kereta digunakan untuk mentransportasi orang-orang
Yahudi di seluruh Eropa untuk dimusnahkan di kamp-kamp konsentrasi. Sedangkan
di Indonesia, tidak terdapat suatu benda yang secara langsung dan mudah
diasosiasikan dengan suatu peristiwa kekerasan. Jembatan Bacem pun tidak dapat
menjadi suatu pengingat bagi generasi muda yang tidak mengetahui kekerasan yang
pernah terjadi di jembatan tersebut.
Oki Madasari menjelaskan mengenai
pengalamannya sebagai generasi yang tumbuh di dalam indoktrinasi Orde Baru,
ketika Pancasila dan butir-butirnya harus dihafalkan, film propaganda G30S-PKI
dijadikan tontonan wajib setiap tahun, yang secara langsung menggambarkan PKI
sebagai antagonis yang dihancurkan oleh protagonisme Orde Baru.
Di dalam sesi tanya dan jawab pun
berlangsung diskusi antara narasumber dan audiens secara hangat. Terdapat
dialog yang membangun pemahaman mengenai tindak kekerasan dan upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mencegahnya. Diantara pertanyaan yang cukup menarik
adalah mengenai ideologi mana yang harus dicurigai akan melakukan tindak
kekerasan. Dengan tegas, Romo Magnis menjawab bahwa semua ideologi memiliki hak
yang setara untuk dicurigai, apabila memang ideologi yang demikian menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuannya. Romo Magnis juga menekankan pada
pentingnya mengakui masa lalu sebagai perjalanan dan proses menuju kehidupan
berbangsa yang baik, yang sampai sekarang tampaknya belum ada pemikiran dan
tindakan yang serius dari pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan
hal yang demikian. Kekerasan dipandang sebagai persoalan kompleks yang dapat
diselesaikan dengan upaya-upaya tertentu; di tingkat dasar, terdapat kajian
budaya dan kesenian, yang berfungsi ‘menyadarkan’ manusia mengenai tindak
kekerasan yang telah diperbuatnya, dan diatasnya terdapat hukum yang harus
tegas menindak pelaku-pelaku kekerasan. Di tingkat tertinggi, adalah ranah
politik yang menjadi pemangku kebijakan secara keseluruhan, jadi dengan adanya
sinergi antara ketiga bidang tersebut, kekerasan dapat diatasi dan ditemukan
solusinya, serta menjadi pengingat untuk tidak lagi melakukan kekerasan sebagai
cara mencapai tujuan.
No comments:
Post a Comment