Wednesday, October 02, 2013

Sekelumit Catatan dari Goethe: Akar Kekerasan



     Apakah kekerasan itu? Sejauh mana kita telah mendefinisikan apa yang dapat disebut sebagai ‘kekerasan’? Bagaimana manusia dapat hidup tanpa kekerasan? Pertanyaan itu muncul didalam benak anggota kelompok kami saat menghadiri acara diskusi mengenai perbandingan tindak kekerasan dan pencerminan kekerasan dalam seni di Goethe-Institut Jakarta, pada hari Minggu, 29 September 2013. Diskusi tersebut dipandu oleh Hilmar Farid sebagai moderator, dan Romo Franz-Magnis Suseno, SJ, Okky Madasari, dan Galuh Wandita sebagai narasumber. Sebelum diskusi dimulai, sekitar sejak sejam sebelumnya telah diputarkan dua film mengenai contoh-contoh tindak kekerasan yang telah terjadi di masa lalu, yaitu film “Spielzeugland” karya Jochen A. Freydank, yang bercerita mengenai nasib dua orang anak, yaitu Heinrich yang orang Jerman asli dengan David yang merupakan orang Yahudi, yang dibawa ke kamp konsentrasi. Sedangkan film kedua “Jembatan Bacem” bercerita mengenai nasib orang-orang yang dibantai setelah dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia di daerah Solo, Jawa Tengah pasca peristiwa G30S-PKI pada 1966-1967.
     Hilmar Farid memulai diskusi dengan pendapatnya bahwa ketika jurnalisme dibungkam, maka sastralah yang bicara. Selain itu, kesenian pun dapat memberi tanggapan yang relevan atas tindak kekerasan yang terjadi. Kedua hal tersebut (sastra dan kesenian) merupakan satu rangkaian proses yang tepat apabila diterapkan untuk meredam kekerasan, dalam batas tertentu.
     Selanjutnya Romo Magnis memaparkan uraiannya mengenai tindak kekerasan yang terjadi, baik di masa lalu maupun di masa kini. Beliau berpendapat bahwa tidak cukup kekerasan diatasi dengan sekedar mengetahui, namun juga harus ikut memikirkan solusi atas kekerasan tersebut. Satu hal yang ditekankannya di awal uraiannya adalah kata-kata yang dia ucapkan dalam Bahasa Inggris: “Our nation never learned from the past and always resort to violence to solve even the smallest kind of problem” (Bangsa kita tak pernah belajar dari masa lalu dan selalu beralih kepada kekerasan untuk menyelesaikan masalah, bahkan yang terkecil). Selanjutnya beliau memberikan contoh mengenai peristiwa kekerasan yang terjadi di masa lalu, yang menimbulkan jumlah korban yang cukup banyak: Diantaranya adalah Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, dimana diperkirakan sekitar 4.000 orang tewas. Selanjutnya adalah pembantaian yang terjadi setelah G30S-PKI terhadap anggota PKI maupun yang dicurigai sebagai simpatisan atau anggota badan-badan onderbouw PKI: Perkiraan sekitar 500.000-3.000.000 korban tewas. Bahkan di masa kini, tindak kekerasan itu pun masih berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pengeroyokan terhadap pencuri, tawuran antar pelajar dan perilaku pengendara sepeda motor yang mengambil alih lahan para pejalan kaki, menurut Romo Magnis pun sebenarnya merupakan sebuah tindak kekerasan, yang harus segera diakhiri. Selain itu Romo Magnis juga memberikan contoh lain mengenai peristiwa kekerasan yang berlangsung di Timor-Timur selama pendudukan Indonesia pada tahun 1976-1999: Sekitar seperempat rakyat Timor-Timur tewas dalam jangka waktu seperempat abad.
     Romo Magnis menjelaskan, secara psikologis seharusnya kita semua sebagai manusia pun harus menghormati harkat dan martabat manusia lain, khususnya terkait dengan hak-haknya untuk bertahan hidup yang harus dipenuhi. Selain itu, dengan melihat contoh yang telah terjadi di masa lalu, kekerasan dalam skala besar hampir selalu melibatkan otoritas yang berwenang, dalam artian bahwa pembantaian dan kekerasan yang terjadi timbul dikarenakan adanya perintah, dan dalam setiap kesempatan hampir yang selalu menjadi katalisatornya adalah Angkatan Bersenjata. Meskipun mengakui bahwa apapun bisa dilakukan kepada manusia, termasuk penyiksaan dan pembunuhan, namun sebagai makhluk yang berakal, seharusnya kita tidak melakukan hal itu dengan alasan apapun. Sebenarnya tidak perlu filsafat untuk memahami hal sesederhana ini; kita hanya perlu memeriksa diri dan hati nurani kita sendiri sebagai seorang manusia; pantaskah kita melakukan hal tersebut?
     Pembicara selanjutnya yang tampil adalah Galuh Wandita. Galuh memaparkan, bahwa diperlukan usaha-usaha tertentu di dalam bidang budaya untuk memahami dan mengatasi sepenuhnya tindak kekerasan yang terjadi. Mungkin budaya tidak dapat menyelesaikan masalah, namun budaya dapat memengaruhi manusia-manusia sehingga hanya manusialah yang dapat menghentikan kekerasan yang mereka lakukan sendiri. Meskipun demikian, tidak semua kekerasan itu dilakukan secara sadar dan penuh pertimbangan; Okky menjelaskan, seperti contohnya di Timor-Timur, ketika pendudukan Indonesia masih berlangsung, beredar secara gelap semacam narkoba yang disebut ‘Pil Anjing Gila’; yang membuat orang yang mengkonsumsinya melakukan kekerasan yang hampir tidak mungkin dilakukannya dalam kondisi sadar, seperti membunuh pastor, memperkosa biarawati, anak-anak, dan lain sebagainya. Budaya pun sebenarnya memiliki potensi untuk berubah, dan akan menjadi masalah besar apabila budaya yang berkembang diarahkan menjadi pembenaran terhadap kekerasan, seperti yang muncul pada masa Orde Baru di Indonesia. Selainj itu, Okky menetapkan pentingnya penamaan terhadap sebuah peristiwa atau kekerasan tertentu dari sudut pandang korban; sebagai contoh, pembantaian orang Yahudi di Eropa dikenal secara luas sebagai ‘Holocaust’ yang secara harafiah bermakna: ‘Pemusnahan dengan api’. Tentunya terminologi yang demikian muncul dari perspektif korban, karena jika ditinjau dari perspektif pelaku, maka terminologi yang muncul adalah: ‘Endlösung’ (Solusi Terakhir). Di Indonesia, belum terdapat penamaan yang demikian dan masih berpatok pada versi resmi yang beredar, yang belum tentu benar.
     Selain itu, Galuh memaparkan tentang hilangnya tonggak-tonggak sejarah mengenai kekerasan di Indonesia, yang tidak secara langsung mengasosiasikan sebuah benda/tempat dengan suatu peristiwa kekerasan. Seperti contohnya, di Jerman, rel kereta dan kereta uap senantiasa diasosiasikan dengan Holocaust, karena pada zaman Nazi, kereta digunakan untuk mentransportasi orang-orang Yahudi di seluruh Eropa untuk dimusnahkan di kamp-kamp konsentrasi. Sedangkan di Indonesia, tidak terdapat suatu benda yang secara langsung dan mudah diasosiasikan dengan suatu peristiwa kekerasan. Jembatan Bacem pun tidak dapat menjadi suatu pengingat bagi generasi muda yang tidak mengetahui kekerasan yang pernah terjadi di jembatan tersebut.
     Oki Madasari menjelaskan mengenai pengalamannya sebagai generasi yang tumbuh di dalam indoktrinasi Orde Baru, ketika Pancasila dan butir-butirnya harus dihafalkan, film propaganda G30S-PKI dijadikan tontonan wajib setiap tahun, yang secara langsung menggambarkan PKI sebagai antagonis yang dihancurkan oleh protagonisme Orde Baru.

     Di dalam sesi tanya dan jawab pun berlangsung diskusi antara narasumber dan audiens secara hangat. Terdapat dialog yang membangun pemahaman mengenai tindak kekerasan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya. Diantara pertanyaan yang cukup menarik adalah mengenai ideologi mana yang harus dicurigai akan melakukan tindak kekerasan. Dengan tegas, Romo Magnis menjawab bahwa semua ideologi memiliki hak yang setara untuk dicurigai, apabila memang ideologi yang demikian menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Romo Magnis juga menekankan pada pentingnya mengakui masa lalu sebagai perjalanan dan proses menuju kehidupan berbangsa yang baik, yang sampai sekarang tampaknya belum ada pemikiran dan tindakan yang serius dari pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan hal yang demikian. Kekerasan dipandang sebagai persoalan kompleks yang dapat diselesaikan dengan upaya-upaya tertentu; di tingkat dasar, terdapat kajian budaya dan kesenian, yang berfungsi ‘menyadarkan’ manusia mengenai tindak kekerasan yang telah diperbuatnya, dan diatasnya terdapat hukum yang harus tegas menindak pelaku-pelaku kekerasan. Di tingkat tertinggi, adalah ranah politik yang menjadi pemangku kebijakan secara keseluruhan, jadi dengan adanya sinergi antara ketiga bidang tersebut, kekerasan dapat diatasi dan ditemukan solusinya, serta menjadi pengingat untuk tidak lagi melakukan kekerasan sebagai cara mencapai tujuan.

No comments:

Post a Comment