Sulawesi,
sebagai pulau terbesar keempat di Indonesia, pun memiliki sejarah kelam yang
terkait dengan tragedi kemanusiaan yang berlangsung setelah peristiwa G30S-PKI
pada tahun 1965. Selama ini, sejarah lebih diarahkan untuk mengenal tentang
peristiwa itu secara eksklusif hanya di Jawa dan sebagian Sumatera saja. Maka
ketika terdapat diskusi di Goethe-Institut Jakarta, pada 3 Oktober 2013,
mengenai tindak kekerasan yang terjadi di Sulawesi terkait dengan Partai
Komunis Indonesia, kami pun ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kronologis
peristiwa tersebut.
Diskusi ini dipandu oleh Putu Oka Sukanta
sebagai moderator, dan H. Rusdi Mastura
(Walikota Palu), Nurlaela Lamasituju, Hilmar Farid, Nasir (Mahasiswa
Universitas Bung Karno Jakarta), Nurhasanah dan Gagarisman sebagai narasumber.
Diskusi yang membahas mengenai buku “Sulawesi Bersaksi” ini dibuka dengan
narasi oleh Nurlaela Lamasituju tentang kisah seorang penyintas kejadian
tersebut, yang berasal dari Sulawesi Utara, bernama Yenny Oroh. Yenny adalah
seorang anggota Pemuda Rakyat (PR) yang ditahan karena keterlibatannya di dalam
organisasi onderbouw PKI, dan
mengalami tiga kali percobaan pemerkosaan dan penyiksaan oleh anggota Koramil
setempat dalam keadaan hamil. Yenny Oroh pun kemudian mendirikan sebuah program
solidaritas bagi orang-orang yang bernasib serupa di seluruh Sulawesi, yang
pertemuannya berlangsung di Palu, Sulawesi Tengah.
Buku “Sulawesi Bersaksi” sendiri telah
diluncurkan di Kantor Walikota Palu pada 2011 berkat bantuan para korban yang
tergabung di dalam program solidaritas tersebut, dimana 1.210 orang korban di
seluruh Sulawesi telah diwawancarai dan diambil 12 kisah untuk dimuat di dalam
buku tersebut. Nurlaela Lamasituju adalah salah satu peneliti dan pewawancara
yang aktif terlibat di dalam kegiatan tersebut. Rusdi Mastura, yang merupakan
walikota Palu, juga merupakan koordinator SKP HAM (Solidaritas Korban
Pelanggaran HAM) seluruh Sulawesi. Buku ini disebutkan sebagai pengungkapan
sejarah secara objektif, dan ditulis dalam tiga bagian, yaitu meninjau
peristiwa kekerasan itu dari aspek sejarah, kejadian, dan kesaksian para
penyintas. Nasir menyebutkan bahwa sejarah yang ada sekarang adalah manipulasi
dan pemerintah menolak untuk mengakui kejadian yang sebenarnya. Dalam peristiwa
tersebut, Nasir menambahkan, banyak korban yang ditangkap tidak diberi tahu apa
kesalahannya dan jarang sekali terdapat pengadilan resmi untuk mengadili
mereka. Nasir mengatakan bahwa kita harus bersama-sama memperjuangkan kebenaran
sejarah.
Gagarisman, salah seorang narasumber,
adalah penyintas yang tidak mengalami efek langsung dari peristiwa tersebut,
namun sebagai anak ketua PKI di Palu, dia turut merasakan diskriminasi dan
dehumanisasi yang diterimanya dan keluarganya sebagai keluarga Tapol (Tahanan
Politik). Ayah Gagarisman sendiri ditahan setelah kejadian G30S-PKI oleh
Koramil setempat dan dieksekusi dengan cara yang biadab. Sampai sekarang, makam
ayah Gagarisman tak pernah diketahui olehnya dan keluarganya.
Hilmar Farid yang juga merupakan salah
seorang narasumber mengatakan, bahwa pengetahuan masyarakat umum mengenai
tragedi kemanusiaan yang terkait dengan PKI di Sulawesi terlampau sedikit, dan
dia menyebutkan bahwa buku “Sulawesi Bersaksi” sendiri merupakan pengingat yang
baik kepada masyarakat mengenai kejadian tersebut. Dia menambahkan, sebenarnya
jejak-jejak peristiwa tersebut masih banyak terdapat di Sulawesi, khususnya di
kota Palu; banyak bangunan di kota tersebut dibangun oleh para Tapol yang
dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah. Orde Baru, menurutnya, telah
menghidupkan kembali sistem kerja paksa, yang sebenarnya tak pantas bagi
manusia dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Hilmar Farid sedikit
‘membocorkan’ isi buku “Sulawesi Bersaksi”, mengenai seorang anak yang mencari
ayahnya yang hilang ke kantor Koramil dan diancam akan dibunuh oleh penjaga.
Hilmar mengatakan, tak pantas seorang militer mengancam anak kecil dengan
pembunuhan; keadaan inilah yang disebutnya sebagai dehumanisasi. Hilmar juga
menjelaskan mengenai tabiat masyarakat Indonesia yang tidak kritis mengenai
sebuah peristiwa kekerasan, khususnya terkait dengan tragedi pembantaian eks
anggota PKI; masyarakat cenderung menganggap tindakan kekerasan adalah sesuatu
yang wajar dan dapat diterima, dimana seharusnya masyarakat bersikap menentang.
Ketika seorang audiens bertanya mengenai
kejadian tersebut dengan kaitannya dalam ideologi komunisme, Nurlaela menjawab
bahwa persoalan yang dibahas di dalam buku “Sulawesi Bersaksi” bukanlah
mengenai ideologi, melainkan mengenai permasalahan kemanusiaan dan kebangsaan
yang telah terjadi, agar kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa kekerasan
yang telah terjadi dan berusaha agar kejadian serupa tak terulang lagi.
Nurlaela menambahkan bahwa buku tersebut dibuat sebagai sebuah upaya
rekonsiliasi sejarah, dan rekonsiliasi tersebut tak selalu harus melalui
pengadilan, namun juga bisa melalui upaya-upaya preventif, seperti peluncuran
buku “Sulawesi Bersaksi” ini.
Selanjutnya, Gagarisman menceritakan
pengalamannya mengenai dehumanisasi oleh pemerintah yang diterimanya sebagai
anak seorang Tapol; ketika bekerja sebagai guru, Gaga terus mendapatkan tekanan
dari rekan sejawat dan atasannya, dan pernah sekali waktu disebut sebagai orang
yang tidak ‘bersih’.
Rusdi Mastura pun memiliki pengalamannya
sendiri sebagai salah satu saksi hidup dari peristiwa tersebut, namun ia
bukanlah salah satu korban maupun pelaku; ketika peristiwa tersebut terjadi,
Rusdi masih duduk di kelas VI SD dan bertugas menjaga eks anggota PKI yang
ditahan di sebuah bangunan di Palu. Rusdi menjelaskan bahwa sebenarnya
pemusnahan PKI dan komunisme di Indonesia tidak terkait dengan seberapa
‘berbahaya’nya partai dan ideologi tersebut, karena sebenarnya semua orang
dengan ideologi apapun berhak hidup di Indonesia. Rusdi menceritakan, bahwa
dirinya pernah berdialog dengan Buya Hamka, seorang ulama besar dan pemimpin
partai Masyumi, dan mempertanyakan mengapa dirinya berani mengajukan pengubahan
dasar negara dari Pancasila ke hukum Islam kepada Presiden Soekarno. Buya Hamka
menjawab bahwa IJ Kasimo, pemimpin Partai Katolik, yang notabene merupakan
kelompok minoritas, mengajukan agama Katolik sebagai dasar negara, juga DN
Aidit, pemimpin PKI, mengusulkan
Komunisme sebagai dasar negara, maka mengapa Masyumi sebagai representasi umat
beragama terbesar di Indonesia, tidak mengusulkan Islam sebagai dasar negara?
Kejadian itulah yang membuka mata Rusdi bahwa setiap golongan sebenarnya berhak
hidup dan tinggal di bumi Indonesia, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun,
dan prinsip itulah yang dipegangnya teguh hingga saat ini.
Di tengah acara diskusi, Nurlaela dan
Gagarisman menyanyikan lagu dalam bahasa Kaili-Ledo (Bahasa lokal di kota
Palu), yang mengisahkan nasib Gagarisman sebagai anak seorang Tapol.
Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seorang anggota
kelompok kami bertanya kepada narasumber mengenai perbedaan pola-pola kekerasan
yang terjadi terhadap para eks anggota PKI di pulau Sulawesi dengan di pulau
Jawa. Pertanyaan tersebut dijawab Nurlaela, bahwa perbedaannya adalah di
Sulawesi, anggota kelompok masyarakat tidak ikut terhasut oleh propaganda Orde
Baru dan Angkatan Bersenjata untuk men-sweeping
eks anggota PKI, sehingga tidak terdapat korban dalam jumlah besar di Sulawesi.
Di kota Palu khususnya, terdapat seorang tokoh pemimpin pesantren bernama
“Al-Khaerat” yang biasa dipanggil “Guru Tua” yang sangat disegani dan dihormati
pada waktu itu. Guru Tua menghimbau pula kepada masyarakat agar tidak melakukan
kekerasan, sehingga jumlah korban juga tidak terlalu besar di kota Palu. Lain
halnya dengan di provinsi Sulawesi Selatan, misalnya di kabupaten Bone, telah
dibunuh sekitar 1.200 orang dalam bulan-bulan pertama pasca G30S-PKI. Oleh
karena itu, Nurlaela menekankan pentingnya peran tokoh masyarakat pada waktu
itu dalam menghimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan kepada eks
anggota PKI.
Rusdi menjelaskan bahwa sejarah sebenarnya
harus diluruskan agar di masa depan tidak menjadi beban. Contohnya, Rusdi
menjelaskan fakta mengenai DN Aidit, Ketua PKI, yang secara umum digambarkan
sebagai seorang komunis sejati yang bengis dan sadis oleh propaganda Orde Baru,
sebenarnya sangat dekat dengan kelompok-kelompok Islam; misalnya, ketika dia
berkunjung ke Sukabumi, dia hanya mau menginap di rumah Kyai Anshori, seorang
ulama besar di Sukabumi dan juga merupakan ketua partai Masyumi cabang Sukabumi
dan juga ketua front anti-komunis di Sukabumi. Menurut Rusdi, kekeliruan
sejarah seperti inilah yang harus diluruskan, agar kita tak memandang sejarah
hanya dari satu perspektif saja. Rusdi mengatakan bahwa dia tak pernah memusuhi
golongan manapun dan menjelaskan bahwa sebenarnya anggota PKI telah dilanggar
hak kebebasan berpolitiknya.
Nasir juga menambahkan perbedaan antara
kekerasan yang terjadi di pulau Sulawesi dan pulau Jawa, mengapa jumlah korban
di Sulawesi lebih sedikit. Nasir menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan PKI
di seluruh Indonesia sebagian besar terkait dengan sengketa tanah dan
pengambil-alihan tanah oleh organisasi onderbouw
PKI secara sepihak, yang disebut BTI (Barisan Tani Indonesia). Ketika kebijakan
land reform itu telah dilaksanakan secara
ekstensif di pulau Jawa, di Sulawesi belum terlalu banyak tanah yang direbut
oleh BTI, sehingga ketika G30S-PKI meletus, tidak terlalu banyak aksi balas
dendam dan perebutan kembali tanah yang diduduki oleh BTI, yang juga turut
berperan dalam mengurangi jumlah korban di Sulawesi.
Ketika Nurlaela sebagai seorang aktivis
dan koordinator penelitian terhadap korban dehumanisasi eks anggota PKI di
Sulawesi oleh rezim Orde Baru, Nurlaela telah mendengar dari banyak korban,
bahwa mereka tak ingin lagi mengungkit masa lalu; yang mereka inginkan kini
hanyalah pengakuan dari pemerintah atas kenyataan pahit yang telah mereka
terima. Hilmar Farid mengatakan, bahwa untuk mengetahui kenyataan yang terjadi
mengenai kekerasan terhadap eks anggota PKI pada tahun 1966-1967 tidaklah harus
melalui penelitian; namun bisa pula dengan bertanya kepada kerabat dan anggota
keluarga yang hidup pada masa itu, sehingga kejadian dapat dipahami secara
lebih nyata. Hilmar Farid juga mengatakan bahwa sejarah telah dimanipulasi dan
kenyataan yang ada telah dibangun di atas kepalsuan, sehingga pemerintah
Indonesia takut terhadap fantasi yang dibuatnya sendiri hingga saat ini. Korban
harus berani mengakui dirinya sebagai ‘korban’ dan dengan demikian dia akan
mengetahui hak-haknya sebagai korban, yang seharusnya mendapat pengakuan dan
permintaan maaf secara resmi dari pemerintah, yang sayangnya hingga hari ini
hal itu belum dilakukan. Hilmar Farid juga menjelaskan mengenai ketimpangan hak
dan kewajiban antara buruh dan pemilik modal yang bergeser sebelum dan sesudah
peristiwa G30S-PKI; jika sebelum kejadian tersebut buruh memiliki posisi yang
lebih kuat karena pengaruh PKI, maka setelah kejadian posisi pemilik modal
lebih kuat, karena banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia sejak Orde
Baru berkuasa. Jika ingin menyalahkan sebuah pihak mengenai ketimpangan dan
ketidakberdayaan ekonomi Indonesia, maka Hilmar Farid mengatakan, salahkanlah
Orde Baru yang terlalu banyak menarik investor asing masuk ke Indonesia. Maka,
sebagai penutup, Putu Oka Sukanta sebagai moderator mengatakan bahwa audiens
yang hadir di dalam acara diskusi tersebut harus mengetahui dan peduli mengenai
sejarah, sehingga dapat mengambil pelajaran agar di masa depan kekerasan tidak
terulang lagi.
No comments:
Post a Comment